Saksi Akui Sofyan Basir Abaikan Syarat Demi Percepat Pembangunan
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Direktur Utama PT Pembangkitan Jawa Bali Iwan Agung Firstantara mengakui bahwa terdakwa Sofyan Basir melewati beberapa persyaratan demi mempercepat proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1. Sofyan dinilai melewati beberapa persyaratan awal namun tetap menandatangani power purchasing agreement.
“Arahan terdakwa (Sofyan Basir) menjalankan ini sesuai tata kelola perusahaan yang baik, tapi ternyata ada beberapa persyaratan yang dilewati, malah kemudian power purchasing agreement (PPA) ditandatangani,” ujar Iwan dalam sidang perkara suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (15/7/2019). Sidang atas terdakwa Direktur Utama PT PLN (Persero) nonaktif Sofyan Basir tersebut beragendakan pemeriksaan saksi.
Selain Iwan, saksi lain yang diperiksa, antara lain, Direktur Utama PT Samantaka Batubara AM Rudi Herlambang, Direktur Operasi PT Pembangkitan Jawa Bali Dwi Hartono, dan Kepala Divisi Regional Sulawesi PLN Suwarno.
Secara umum, proses dalam rangka kesepakatan proyek pembangunan PLTU Riau-1 diawali dari pemilihan mitra dan pimpinan proyek. Setelah itu, ada head of agreement (HOA) yang merupakan perjanjian induk.
Kemudian dilanjutkan dengan perjanjian konsorsium, yang dalam hal ini adalah PT Pembangkit Jawa Bali (PJB) menugaskan PT PJB Investasi untuk membuat proposal kepala PLN untuk diklarifikasi dan dinegosiasikan.
“Kalau sudah sesuai dan sepakat, maka baru dibuat LOI dari PLN kepada konsorsium. Setelah LOI (surat penunjukan kepada konsorsium yang akan melaksanakan) dibuat, maka baru ada penandatanganan PPA,” kata Iwan.
Dalam hal ini, PPA ditandatangani oleh Direktur Utama PLN Persero Sofyan Basir. Selain itu, ditandatangani juga oleh konsorsium yang ditunjuk dalam LOI.
Namun, PPA baru dapat dikatakan efektif apabila memenuhi profil perusahaan. Iwan menyampaikan, persyaratan ini belum dipenuhi oleh PLN. Dengan ditandatanganinya PPA, berarti sudah ada kontrak yang dibuat dalam mencari pendanaan untuk konstruksi.
“Saya sebagai yang ditugasi, maka selaku Direktur Utama PJB sudah beberapa kali melaporkan pada Direktur Utama PLN mengenai proses yang harus dipenuhi sebelum penandatanganan PPA,” kata Iwan.
Tak hanya Iwan, Dwi Hartono menyampaikan, posisi PJB sebagai anak usaha PLN tidak dapat berbuat banyak dan hanya dapat menuruti arahan. Meskipun mereka menyadari bahwa ada persyaratan yang dilewati.
“Saya tidak tahu prosesnya, tapi setahu saya belum ada pembahasan tarif listrik. Tapi tetap saja saya tidak bisa menolak untuk tidak menandatangani. Proses seperti ini baru pertama kali terjadi,” kata Dwi.
Teknis dan nonteknis
Saksi lain, Rudi Herlambang mengaku, dirinya diminta menangani urusan teknis dalam proyek pembangunan PLTU Riau-1. Sementara pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo menangani urusan nonteknis.
“Pada Oktober 2015, PT Samantaka Batubara mengajukan permohonan untuk masuk dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) di lingkungan PLN, tertujunya Sofyan Basir,” ujar Rudi.
Namun, kata Rudi, permohonan tersebut baru mendapatkan respons pada 2016. Saat mendapatkan respons, Rudi diminta oleh Kotjo untuk mengurus persoalan teknis, sementara Kotjo sendiri mengurus persoalan nonteknis.
“Setelah laporan teknis nonteknis, saya hanya diminta menunggu instruksi dari beliau (Kotjo). Kemudian, per 2016 di RUPTL keluar bahwa di Riau ada proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU MT) Riau-1,” kata Rudi.
Pemasok batubara
Lebih lanjut, Rudi menyampaikan bahwa pada November 2016 dirinya dipanggil Kotjo untuk menyiapkan dokumen menyangkut aspek teknis, legal, administrasi, dan keuangan. Saat itu, Kotjo juga menyatakan, proyek PLTU Riau-1 sudah menjadi milik Samantika Batubara.
“Namun, belum ada surat penunjukkan. Saya tidak tahu kenapa karena job saya teknis, jadi yang saya perdalam adalah urusan teknis di lapangannya,” tutur Rudi.
Selain itu, Rudi mengaku tidak mengetahui apa alasan dari diterimanya permohonan Samantaka Batubara menjadi pemasok batubara dalam proyek PLTU Riau-1. Sebab, Samantaka tidak dilibatkan dalam rapat dan proses negosiasi bersama mitra, yakni China Huadian Engineering.
Samantaka Batubara merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan batubara. Perusahaan ini memiliki izin tambang di Peranap, Riau, seluas sekitar 15.000 hektar dengan kapasitas produksi hingga 60.000 metrik ton per bulan.
Mayoritas saham Samantaka Batubara (95 persen) dimiliki Blackgold Natural Resources Ltd. Sementara Kotjo merupakan salah satu pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd sebesar 4,3 persen.
Dalam perkara ini, Kotjo dinilai memberikan uang sejumlah Rp 4,7 miliar kepada mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih dan mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham. Pemberian suap bertujuan untuk mempercepat ptoses kesepakatan proyek Independent Power Producer (IPP) PLTU Riau-1.
Sementara terdakwa Sofyan Basir merupakan Direktur Utama PT PLN (Persero) nonaktif yang telah membantu terjadinya suap proyek PLTU Riau-1 antara Kotjo dan Eni. Sofyan dinilai membantu Eni menerima suap dari proyek senilai 900 juta dollar AS atau setara Rp 12,7 triliun.
Atas kasus ini, Sofyan dijerat dengan dua dakwaan alternatif. Pertama, Pasal 12 Huruf a juncto Pasal 15 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 56 Ke-2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Kedua, Pasal 11 juncto Pasal 15 UU Tipikor juncto Pasal 56 Ke-2 KUHP.