JAKARTA, KOMPAS—Dinamika politik yang berkembang dalam dua tahun terakhir, "memaksa" Kepolisian RI menegakkan hukum yang diboncengi kepentingan politis. Hal itu membuat polisi rentan dituduh melakukan kriminalisasi atau keberpihakan terhadap salah satu kubu tertentu.
Dalam batas tertentu, hal itu telah sedikit keluar dari tugas sejati mereka sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Oleh sebab itu, Kepolisian RI (Polri) diminta kembali pada tugasnya yang sejati.
Kepala Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran Muradi menyatakan hal itu dalam diskusi yang digelar Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Senin (15/7/2019), di Jakarta. Diskusi bertema Tantangan Polri dalam Mewujudkan Rekonsiliasi Bangsa Pasca Pemilu 2019” dihadiri pula Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo dan Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden Ifdhal Kasim.
Muradi mengatakan, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia memungkinkan Polri untuk lebih lincah menjalankan peran sebagai penjaga keamanan dan ketertiban. Namun, tindakan Polri yang berhubungan dengan peristiwa politik dalam dua tahun terakhir, rentan dicap sebagai tindakan kriminalisasi atau keberpihakan terhadap salah satu kubu yang bertikai.
Muradi mencontohkan, menjelang Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2017, salah satu kandidat, Basuki Tjahaja Purnama tersangkut kasus penodaan agama. Publik bereaksi keras terhadap kasus itu dan Polri mendapat banyak tekanan.
“Kasus seperti penodaaan agama atau yang berhubungan dengan suku, agama, ras, dan antargolongan, merupakan kasus yang tidak disukai polisi di banyak negara. Ini membuat mereka berada dalam posisi yang sulit,” katanya.
Selain itu, lanjut Muradi, dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2019, polisi dianggap aktif menangkap oknum pengkritik pemerintah. Misalnya ada individu yang menyebut pemerintah sebagai representasi dari Partai Komunis Indonesia (PKI).
“Itu kan kritik yang terlalu vulgar. Polri punya dua opsi, mengambil inisiatif pengamanan atau membiarkan atau menunggu hingga ada laporan. Jika dibiarkan, isunya akan semakin melebar ke mana-mana. Tetapi kalau aktif, dapat dianggap melakukan kriminalisasi,” kata dia.
Dalam Pemilu 2019, Polri juga berhadapan dengan purnawirawan militer yang diduga makar. Kerusuhan 21-22 Mei turut menyeret dua petinggi militer, yakni Mayor Jenderal Purnawirawan (purn) Kivlan Zen dan mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus Mayor Jenderal (purn) Soenarko.
Muradi menilai, Polri sebenarnya tidak begitu nyaman dengan kasus seperti ini. Namun kasus tersebut tetap ditangani polisi.
Netralitas
Muradi berharap Polri tidak terlalu diseret menangani kasus yang kental kepentingan politisnya. Untuk rekonsiliasi pasca-Pemilu 2019, ada baiknya Polri bersifat menunggu instruksi pemerintah.
“Per Agustus ini, lebih baik Polri kembali ke tugas sejatinya, yaitu menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Polri juga perlu berfokus memperbaiki sumber daya manusia,” katanya.
Muradi menambahkan, Polri tidak memiliki pengalaman politik, terutama menyakut politik praktis. Oleh sebab itu, tuduhan yang menyatakan Polri tidak netral dinilai berlebihan.
“Memang ada dinamika di tingkat bawah. Tetapi tuduhan netralitas itu tidak relevan untuk situasi saat ini,” katanya.
Sementara, Dedi Prasetyo mengemukakan, politik Polri adalah politik negara. Dalam konteks penegakan hukum, Polri tetap berpatokan kepada tiga hal, yakni asas kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum.
Dalam menangani kasus yang berkaitan dengan purnawirawan militer, pimpinan Polri tetap berkomunikasi dengan para senior TNI. Tujuannya adalah memastikan terpenuhinya ketiga hal dalam penegakan hukum, terutama asas kemanfaatan hukum.
“Komunikasi itu juga penting agar tidak terjadi kegaduhan nasional,” katanya.
Dalam konteks penegakan hukum, Polri tetap berpatokan kepada tiga hal, yakni asas kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum.
Ifdhal Kasim menilai, Polri sudah berada di jalur yang benar dalam menangani kasus yang berhubungan dengan kontestasi politik. “Sepanjang yang saya amati, Polri masih berada di garis hukum dan perintah. Kontestasi pemilu memang memerlukan law and order. Ini tidak perlu dibaca sebagai keberpihakan,” katanya.