Upaya pengendalian penyakit tidak menular harus lebih intensif dan serius untuk dilakukan oleh semua lintas sektor. Tanpa upaya pengendalian yang berarti, defisit BPJS Kesehatan bisa mencapai Rp 33 triliun per tahun karena besarnya biaya untuk penyakit katastropik yang dialami masyarakat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Ancaman penyakit tidak menular semakin nyata mengintai masyarakat. Indeks penyakit tidak menular di seluruh Indonesia menunjukkan nilai yang semakin buruk. Perubahan perilaku masyarakat mutlak dibutuhkan, namun koordinasi dan komitmen lintas sektor juga penting untuk memastikan implementasi program dan kebijakan tepat sasaran.
Dalam Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat 2018 yang baru diluncurkan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan di Jakarta, Senin (15/7/2019), menunjukkan nilai sub-indeks penyakit tidak menular (PTM) di 34 provinsi di Indonesia menurun. Penurunan nilai paling tinggi terjadi di Papua Barat (26,28 persen), kemudian Kalimantan Barat (25,48 persen), Riau (25,33 persen), Banten (23,59 persen), dan Kalimantan Timur (23,27 persen).
“Ini (indeks PTM memburuk) menjadi bukti kenapa kita perlu masukkan PTM ke dalam prioritas utama Kemenkes. Kalau kita tidak berbuat sesuatu untuk menyelesaikan masalah ini, jumlah masyarakat dengan PTM bisa naik 70 persen. Sementara, PTM berujung di hilir menjadi penyakit katastropik yang membebani ekonomi negara,” ujar Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek di sela-sela acara peluncuran Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) 2018. Secara umum, IPKM 2018 meningkat dari 0,540 (2013) menjadi 0,608 (2018).
Dari data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, pembiayaan untuk penyakit katastropik mencakup 21,7 persen pada 2018 dari total biaya pelayanan kesehatan atau sekitar Rp 20,4 triliun. Biaya ini termasuk yang paling besar dikeluarkan oleh BPJS Kesehatan.
Penyakit katastropik tersebut, antara lain, jantung, gagal ginjal, kanker, dan stroke. Besarnya biaya yang dikeluarkan ini dinilai menjadi salah satu penyumbang defisit BPJS Kesehatan.
Upaya promotif
Nila menuturkan, upaya pengendalian penyakit tidak menular harus lebih intensif dan serius untuk dilakukan oleh semua lintas sektor. Tanpa upaya pengendalian yang berarti, defisit BPJS Kesehatan bisa mencapai Rp 33 triliun per tahun karena besarnya biaya untuk penyakit katastropik yang dialami masyarakat.
“Program Germas (Gerakan Masyarakat Hidup Sehat) untuk upaya promotif dan preventif harus dilakukan. Kita perlu melakukan perubahan perilaku. Germas sudah populer namun kita harus punya peta jalan untuk memastikan implementasinya sampai ke masyarakat,” katanya.
Sesuai Instruksi Presiden Nomor 1/2017 tentang Gerakan Masyarakat Hidup Sehat, seluruh lintas sektor, mulai dari kementerian dan lembaga serta kepada daerah provinsi, kabupaten, dan kota diperintahkan untuk bersama-sama mendukung upaya promotif dan preventif hidup sehat. Upaya ini seperti meningkatkan aktivitas fisik, meningkatkan perilaku hidup sehat, menyediakan pangan sehat dan percepatan perbaikan gizi, serta meningkatkan kualitas lingkungan.
Setiap kementerian, lembaga, dan kepala daerah punya tugas dan fungsi masing-masing. Menteri Kesehatan ditugaskan untuk melaksanakan kampanye Germas dan meningkatkan pendidikan mengenai gizi seimbang dan pemberian ASI eksklusif. Menteri Pemuda dan Olahraga untuk meningkatkan kampanye Germas olahraga dan memfasilitasi penyediaan fasilitas sarasan olahraga masyarakat. Ada pula Menteri Perdagangan untuk meningkatkan pengawasan peredaran dan penjualan produk tembakau.
Kepala Balitbangkes Siswanto menuturkan, masalah penyakit tidak menular yang paling banyak ditemui di masyarakat yaitu stroke, jantung, dan kencing manis. Penyakit ini sebenarnya dapat ditanggulangi dan dicegah dengan merubah perilaku menjadi lebih sehat. Selain itu, perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat melalui kolaborasi multi sektoral.
Menurutnya, masalah utama penyebab timbulnya penyakit tidak menular adalah perilaku, faktor metabolik, serta lingkungan. Pencegahannya secara praktis bisa dilakukan melalui Germas dan perilaku cerdik (cek kesehatan secara berkala, enyahkan asap rokok, rajin aktivitas fisik, diet sehat dengan kalori seimbang, istirahat cukup, dan kelola stres).
“Hasil sementara ini, program Germas sudah jalan. Namun kalau dinilai di level individu belun menunjukkan perubahan perilaku yang signifikan karena PTM masih tinggi,” katanya.
Evaluasi
Untuk itu, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Anung Sugihantono menilai, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) harus segera melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Inpres 1/2017. Evaluasi ini bertujuan untuk melihat hasil atas implementasi penugasan di tiap sektor.
“Evaluasi dilakukan untuk mengetahui apakah konektivitas antarkementerian dan lembaga, serta kepada daerah, baik di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota sudah terwujud. Jika belum, dari data bisa dilihat apa yang menjadi kendala serta intervensi apa lagi yang harus dijalankan,” ujarnya.
Anung berpendapat, nilai indeks PTM di semua provinsi yang memburuk disebabkan karena selama ini belum ada intervensi mendasar yang dilakukan secara menyeluruh. Intervensi yang dimaksudkan adalah pencegahan faktor risiko serta penerapan regulasi yang tepat sasaran.
“Kalau regulasi dan substansi bisa dikerjakan bersama, masalah PTM seharusnya tidak terjadi,” ucapnya.
Perubahan pola makan
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Papua Aaron Rumainum menuturkan, sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat menjadi salah satu kendala yang dihadapi dalam upaya peningkatan kesadaran hidup sehat di masyarakat. Perubahan konsumsi makanan pokok masyarakat Papua, dari sagu dan ubi menjadi beras merupakan salah satu penyebab peningkatan kadar gula darah di masyarakat.
“Indeks glikemik pada sagu dan ubi sekitar 40, sementara beras paling rendah adalah 72. Pada penelitian Universitas Kobe Jepang pada 2010 pun mengatakan orang asli Papua yang mengganti makanan pokoknya menjadi beras tiga kali sehari akan mengalami sindroma metabolik, seperti diabetes dan hipertensi,” katanya.