Semangat Berkolaborasi
Perusahaan BUMN Karya kerap disebut anak emas pemerintah karena selalu mendapat kesempatan untuk mengerjakan proyek infrastruktur strategis. Proyek infrastruktur strategis tersebut memerlukan biaya yang cukup besar sehingga kerap kali dibiayai dengan utang, bukan hanya dana internal.
Begitu juga dengan PT Waskita Karya (Persero) Tbk, sebagai BUMN karya yang memiliki utang untuk mendanai proyek infrastruktur. Namun, perusahaan itu menjamin utang akan tertutupi dan memberikan manfaat bagi banyak orang seiring pertumbuhan kinerja perusahaan yang masuk dalam daftar emiten Kompas100 ini.
Direktur Utama Waskita Karya, I Gusti Ngurah Putra, menyampaikan, BUMN dan perusahaan swasta ditakdirkan berkolaborasi secara saling menguntungkan dalam bisnis. Bersama sejumlah BUMN, Waskita Karya juga bersinergi untuk ekspansi ke luar negeri.
Berikut petikan perbincangan santai Kompas dengan Putra di Menara Kompas, Jakarta, Selasa (9/7/2019).
Ada stigma di masyarakat, BUMN karya menguasai proyek infrastruktur sehingga mematikan bisnis pihak swasta. Bagaimana tanggapan Anda?
Mari kita berpikir jernih. Pada dasarnya dalam empat tahun terakhir, Waskita Karya mengerjakan proyek pengambilalihan dari pihak swasta. Contohnya, inisiasi proyek Jalan Tol Becakayu (Bekasi-Cawang-Kampung Melayu) sudah dimulai dari 1998. Sejak PT Waskita Toll Road mengakuisisi proyek ini pada 2014, pengerjaan ruas Tol Becakayu berkembang signifikan. Ternyata setelah beroperasi, jalan tol ini punya nilai untuk perusahaan dan masyarakat. Padahal, tadinya di sepanjang Jalan Kalimalang hanya tiang onggok-onggokan.
Demikian juga dengan ruas-ruas jalan tol lain di Trans Jawa, yang paling muda umurnya 10 tahun dan Bocimi (Bogor-Ciawai-Sukabumi) yang pembangunannya sudah dimulai sejak 17-18 tahun lalu. Sekarang pertanyaannya, di mana manjanya BUMN? Semua tol yang kami ambil alih, usianya paling muda 10 tahun, karena sudah tender dimenangkan swasta, tetapi tidak kunjung selesai. Justru Waskita Karya berkorban dengan membeli konsesi itu.
Terkait isu itu kami sempat dipanggil Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Ada anggapan, semua proyek dikerjakan BUMN sehingga pengusaha-pengusaha kecil mati. Kementerian PUPR akhirnya memutuskan kalau kami tidak diperbolehkan mengambil proyek yang nilainya di bawah Rp 100 miliar. Pada akhirnya, karena sibuk dengan proyek-proyek yang kami kerjakan, tender dengan nilai di bawah Rp 200 miliar pun tidak kami ambil. Intinya pemerintah juga sangat peduli dengan pengusaha swasta.
Bagaimana cara Anda menggambarkan hubungan bisnis antara Waskita Karya dengan pihak swasta?
Perlu diingat, kami tidak bisa mengerjakan semuanya sendiri. Semua harus berkolaborasi. Misalnya, untuk mengangkut tanah, kami tidak mungkin memelihara 50.000 unit truk, sehingga mencari perusahaan pemilik truk untuk mengangkut. Mereka bisa mendapat pemasukan karena kami hanya berinvestasi alat-alat khusus.
Contoh lain, kami membutuhkan jutaan kubik batu pecah untuk seluruh proyek yang ada. Tidak mungkin kita pasang crusher (mesin pemecah batu) di mana-mana, bagaimana cara kami mengontrol itu semua? Untuk itulah perusahaan melakukan kolaborasi.
Sama halnya dalam memenuhi kebutuhan railing baja di sepanjang ribuan kilometer ruas jalan tol. Waskita Karya tidak memiliki anak usaha produsen baja, jadi biarlah perusahaan yang berkompetensi mengerjakannya agar hasilnya maksimal.
Tahun lalu, Waskita Karya membukukan total utang paling tinggi di antara BUMN karya lain, yakni Rp 95,5 triliun, tumbuh hampir 4 kali lipat (363,5 persen) dibandingkan dengan 2015. Apakah ini mengganggu neraca bisnis perusahaan?
Saya beri gambaran seperti ini, berdasarkan aturan yang ada, tender infrastruktur bisa dilakukan saat tanah sudah bebas 70 persen. Kalau mau menunggu APBN pemerintah, ya bisa menunggu 5 tahun untuk memulai proyek. Waskita Karya mau berkorban agar proses pembebasan lahan bisa berjalan seiring pengerjaan proyek. Dana untuk menalangi pembebasan tanah berasal dari utang. Kalau tidak berutang, dari mana uangnya?
Saat ini kami menalangi dana Rp 17 triliun untuk pembebasan tanah, itu dari utang juga. Jadi, selama utang ada catatan untuk leverage, tidak masalah. Saya kira di dunia ini tidak ada perusahaan bebas dari utang, yang penting utang dimanfaatkan untuk investasi.
Akan tetapi, menurut kami, selama utang digunakan untuk leverage (memicu pertumbuhan) bisnis dan bukan untuk konsumsi, ya tidak masalah. Wakita Karya membukukan laba bersih Rp 4,6 triliun, meningkat 9,9 persen dari 2017 yang sebesar Rp 4,2 triliun. Dari laba bisa kita leverage lagi.
Dengan utang sebesar itu, bagaimana cara perusahaan menjaga persepsi positif investor, terutama investor di pasar modal?
Tentu kami harus buktikan kalau kinerja perusahaan terus tumbuh setiap tahun. Contohnya, kalau Waskita Karya tidak berutang, tidak ambil alih tol, laba bersih yang kita peroleh cuma Rp 300 miliar, setiap tahun naik paling 10 persen.
Namun, dalam lima tahun terakhir, 2014-2018, kira-kira total laba Rp 15 triliun. Dari laba itu, total dividen yang kami bayarkan kepada investor, kalau rata-rata 20 persen, sudah Rp 3 triliun. Kalau kami menjalankan bisnis secara konvensional (tidak berutang), kami harus tunggu 10 tahun dulu baru memperoleh laba Rp 3 triliun. Dividen yang dibayarkan hanya Rp 600 juta, itu belum termasuk PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan PPh (Pajak Penghasilan) Badan.
Kalau saya total, nilai produksi kami pada 2014-2018 mencapai Rp 120 triliun. Artinya, PPN yang kami bayarkan 10 persen mencapai Rp 12 triliun. Sementara, PPh yang perusahaan bayar 3 persen kira-kira Rp 3,6 triliun.
Seperti itulah sesungguhnya kira-kira kontribusi yang diberikan perusahaan secara tunai kepada masyarakat, baik melalui dividen maupun pajak. Besaran itu bisa terus tumbuh jika penggunaan utang dilakukan secara tepat.
Presiden mendorong BUMN untuk berekspansi ke luar negeri dan Waskita Karya menjadi salah satu pelopor dalam ekspansi bisnis. Seperti apa bentuk sinergi Waskita Karya dengan BUMN lain?
Waskita Karya menjadi salah satu perusahaan BUMN yang sering ditanya dan didorong pemerintah untuk ekspansi ke luar negeri. Ekspansi pertama kami lakukan ke Arab Saudi pada 2006 sebagai subkontraktor dari Bin Laden Group. Kami kerjakan sejumlah proyek dari King Abdul Aziz Financial District di Riyadh sampai renovasi Masjidil Haram di Mekkah.
Banyak juga BUMN yang sudah sukses dan punya performa baik saat berekspansi ke luar negeri, seperti PT Industri Kereta Api (Persero) ke Banglades, serta PT LEN Industri ke Laos.
Dari pengalaman tersebut, kenapa tidak sekalian melakukan kolaborasi. Waskita Karya, INKA, LEN, dan PT KAI tergabung dalam Indonesia Railway Development Consortium (IRDC). Kami sudah kontak Eximbank (Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia) juga untuk mendukung ekspansi ini. Secara struktur, berkaca dari proyek kereta ringan (LRT) di Palembang, komponen impor hanya kurang dari 10 persen, sisanya komponen lokal.
Intinya, kami sudah siap dan tinggal mengikuti tender. Adapun tender yang terdekat di Filipina dengan pembangunan kereta cepat dari Manila menuju New Clark City sebagai pusat pemerintahan di Filipina.
Namun untuk berekspansi, kami tidak bisa muluk-muluk karena memulainya harus hati-hati. Sekali kami melakukan kesalahan, akan menjadi catatan buruk dan kami akan sulit untuk melakukan ekspansi-ekspansi berikutnya.
Kenapa Waskita memilih negara seperti Laos dan Filipina sebagai tujuan ekspansi? Bagaimana persaingan bisnis konstruksi dengan China?
Ada beberapa alasan Waskita memilih Filipina dan Laos sebagai ekspansi bisnis, meskipun di negara-negara itu juga banyak pesaing China. Hal yang paling utama, angka taraf hidup di Filipina tak jauh berbeda dengan Indonesia.
Misalnya di Indonesia, dengan gaji Rp 10 juta per bulan bisa mencukupi kebutuhan hidup, Akan tetapi di Arab Saudi nilai tersebut hanya cukup untuk sewa tempat tinggal. Itulah mengapa kita coba ekspansi ke negara dengan taraf ekonomi yang setara atau sedikit di bawah Indonesia, disamping negara-negara ini juga butuh transfer teknologi dengan Indonesia.
Kesan kuno atau jadul melekat pada BUMN karya. Seiring berjalannya waktu, anak-anak muda mulai tertarik bergabung dengan Waskita Karya. Bagaimana cara mengurangi kesan kuno pada perusahaan?
Sulit sekali menghilangkan kesan jadul karena pekerjaan konstruksi adalah mengecor beton, bersih-bersih, pasang keramik. Pekerjaan ini butuh pengalaman, mungkin bidang kontraktor ini yang disrupsinya paling minim. Kalau bank sekarang teller berkurang, akan tetapi kalau kontraktor sulit karena butuh pengalaman.
Walau demikian, kami tetap berusaha mengakomodasi ide dan aspirasi karyawan, terutama anak-anak muda, demi kemajuan perusahaan. Saya bilang kepada mereka, kalau punya ide bagus, silakan datang, presentasikan pada hari Senin saat Rapat Direksi. Kalau memang ide itu bagus untuk perusahaan, hari itu juga akan saya putuskan. Demi mengakomodasi aspirasi karyawan, aturan perusahaan juga siap kami sesuaikan agar mereka bangga idenya digunakan perusahaan.
Kemarin ada satu karyawan muda yang presentasi mengenai logistik. Dia paparkan mengenai kontinyuitas pengecoran menggunakan kode batang. Akhirnya saya dukung itu, saya dorong untuk buat proyek percontohan agar semakin efisien.
Selain mengakomodasi aspirasi anak-anak muda, direksi memutuskan untuk mengaktifkan lagi pengiriman karyawan ke luar negeri untuk disekolahkan di sekolah-sekolah terbaik sesuai bidang mereka.
Hal ini menjadi cara agar karyawan-karyawan baru dapat benar-benar memahami visi perusahaan. Kalau tidak benar-benar paham, mereka tidak akan tahu mimpi perusahaan untuk menjadi perusahaan terintegrasi secara global, baik terkait konstruksi maupun investasi.