Pemerintah mencari jalan keluar dalam bentuk pemberian insentif untuk menghidupkan jalur perdagangan Bitung-Davao yang kini mati suri.
JAKARTA, KOMPAS Pemerintah menyiapkan sejumlah fasilitas insentif untuk menghidupkan kembali jalur perdagangan internasional Bitung, Sulawesi Utara, dan Davao, Filipina. Insentif itu berupa potongan biaya pelabuhan, penurunan harga bahan bakar minyak, dan relaksasi aturan ekspor-impor.
Asisten Deputi Kerja Sama Ekonomi Regional dan Sub-Regional Kementerian Koordinator Perekonomian Netty Muharni, Jumat (12/7/2019), di Jakarta, menuturkan, insentif diberikan untuk mengatasi persoalan biaya angkut peti kemas di jalur pelayaran kargo Filipina-Indonesia. Jalur perdagangan yang dibuka 2017 itu tidak aktif karena mahalnya biaya angkut.
”Kami memastikan supaya ongkos angkut kapal bisa turun. Selain insentif, kalau komoditas yang diangkut banyak, muatan penuh, otomatis ongkos kapal bisa lebih murah,” kata Netty seusai rapat koordinasi bertema keberlanjutan konektivitas laut rute Bitung-Davao dalam kerja sama kawasan pertumbuhan Asia Timur (BIMP-EAGA).
Pemerintah berupaya mengatasi masalah itu dengan pemberian fasilitas insentif dan penambahan komoditas dagang. Insentif yang sudah diberikan adalah potongan biaya pelabuhan 50 persen untuk kapal kargo. Potongan itu berlaku resiprokal di Pelabuhan Bitung dan di Pelabuhan Davao sekaligus.
Selain itu, pemerintah juga sedang mengkaji skema penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis biodiesel 20 persen atau B20 dan dexlite untuk kapal rute Bitung-Davao. ”Insentif potongan biaya pelabuhan dan penurunan BBM berlaku khusus untuk kerja sama konektivitas laut rute Bitung-Davao,” ujar Netty.
Rute Bitung-Davao bagian dari Rencana Utama Konektivitas ASEAN dan cetak biru dari The East ASEAN Growth Area yang sudah dirintis sejak 1994. Inisiatif ini melibatkan empat negara ASEAN, yakni Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Filipina.
Tidak ada kapal
Presiden Joko Widodo dan Presiden Filipina Rodrigo Duterte meresmikan jalur perdagangan Davao-Bitung di Pelabuhan Kudos, Davao, 30 April 2017. Namun, tidak ada lagi kapal berlayar ke Bitung setelah kapal pertama kembali ke Davao. Penyebabnya, di antaranya, kekurangan muatan ekspor serta perbedaan aturan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian mengenai impor (Kompas, 20/11/2017).
Masalah biaya angkut juga terkait dengan sedikitnya muatan ekspor. Komoditas yang diangkut dari dan ke Bitung-Davao tidak pernah memenuhi kuota sehingga ongkos angkut kapal menjadi mahal. ”Saat ini kapal kosong pun tetap berlayar. Hal ini untuk memberikan kepastian jadwal bagi dunia usaha,” ujar Netty.
Sementara itu, menurut Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulut Darwin Muksin, dihubungi dari Manado, benang merah kesimpulan rapat, Pemprov Sulut dan pemerintah pusat akan mempertemukan para eksportir dan importir dari Indonesia dan Filipina. Hal itu untuk menyepakati detail jalur perdagangan Bitung-Davao.
”Selama ini belum jelas komoditasnya apa? Eksportir dan importirnya siapa? Para pengusaha harus bertemu lebih dulu untuk membuat kontrak kerja sama demi mengisi muatan kapal,” katanya. (OKA/KRN)