Wisata minat khusus di Sumba, Nusa Tenggara Timur, terus bergeliat di tengah keterbatasan akomodasi dan infrastruktur pendukung.
WAINGAPU, KOMPAS Pulau Sumba di Nusa Tenggara Timur didesain menjadi kawasan wisata minat khusus. Namun, akses menuju ke Sumba masih terbatas, begitu pula akomodasi dan infrastruktur penghubung kawasan wisata. Butuh percepatan pembangunan dan pembukaan akses untuk menggenjot wisata di pulau tersebut.
Sumba memiliki potensi wisata alam yang ikonik, di antaranya sabana atau padang rumput serta kekayaan fauna, seperti kuda sandalwood, kakaktua jambul jingga, dan burung julang. Ada pula kekayaan budaya, seperti tenun ikat. Sayang, fasilitas pendukung potensi wisata itu masih minim.
Akses menuju Sumba, misalnya, masih terbatas. Penerbangan langsung dari Bali menuju Waingapu di Sumba Timur baru dilayani tiga pesawat. Selebihnya harus transit di Kupang. Saat liburan, seperti bulan Juli, tiket menuju Waingapu ataupun Waikabubak sulit didapat. Konektivitas lewat laut lebih minim lagi. Kapal Pelni yang berlabuh di Waingapu hanya melayani rute laut ke kota di NTT, seperti Kupang, Ende, dan Labuan Bajo. Tidak ada kapal wisata yang menghubungkan Waingapu dengan kota wisata lain.
Bupati Sumba Timur Gidion Mbilijora seusai membuka Expo Tenun Ikat Sumba, di Lapangan Pahlawan Waingapu, Kamis (11/7/2019), mengatakan, akses menuju Sumba termasuk di Sumba Timur memang terbatas. Sering kali pada saat libur panjang tiket pesawat ludes. Begitu pun hotel dan tempat penginapan. Tercatat baru ada tiga hotel berbintang tiga di kabupatennya. Selebihnya homestay dan penginapan tingkat melati.
”Saat ada acara seperti ini, banyak yang tidak kebagian tiket pesawat. Hotel-hotel terpaksa menolak wisatawan karena penuh,” katanya. Untuk mendukung pembangunan akses ke Sumba, Pemkab Sumba Timur menyiapkan lahan untuk bandara baru seluas 50 hektar. Bandara itu didesain bisa menampung pesawat berbadan besar. Bandara yang ada saat ini hanya bisa menampung pesawat kecil.
Gidion meminta pemerintah pusat membantu menambah penerbangan dari dan ke Waingapu dan membangun infrastruktur untuk mendukung sektor pariwisata. ”Kami tahun ini menganggarkan Rp 4,4 miliar untuk pariwisata. Dana itu untuk promosi dan pembinaan. Itu pun kurang, seharusnya Rp 10 miliar,” katanya.
Sementara itu, sejumlah investor mulai masuk ke Sumba Timur untuk membangun resor dan hotel. Kemungkinan beberapa tahun lagi Sumba Timur sudah memiliki jumlah kamar penginapan lebih banyak. Staf Ahli Menteri Pariwisata dan Kebudayaan Esthy Reko Astuti mengatakan, konektivitas dan akomodasi akan dibangun seiring dengan dikembangkannya NTT sebagai kawasan wisata baru yang potensial.
NTT, terutama Sumba, didesain jadi wisata minat khusus karena potensi alamnya. ”Wisata minat khusus ini tidak bisa didatangi secara massal karena harus memperhatikan aspek lingkungan dan manusia. Namun, sebagian tetap bisa jadi wisata umum,” kata Esthy.
Untuk mendukung wisata di Sumba, Kementerian Pariwisata fokus mempromosikan Sumba dengan berbagai festival, di antaranya Expo Tenun Ikat Sumba dan Festival Kuda Sandalwood di sabana Puru Kambera. Expo Tenun Ikat Sumba dibuka kemarin di Lapangan Pahlawan Sumba Timur, diikuti 200 petenun. Festival kuda sandalwood dimulai hari ini di Puru Kambera. (NIT/APO/LUK)