Putusan MA Semangati Daerah untuk Kurangi Timbulan Sampah
Oleh
ICHWAN SUSANTO/COKORDA YUDISTIRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Putusan Mahkamah Agung yang menolak permohonan keberatan uji materi Peraturan Gubernur Bali yang membatasi penggunaan kantong plastik sekali pakai, sedotan plastik, dan styrofoam merupakan preseden baik bagi upaya Indonesia dalam mengurangi timbulan sampah. Hal itu menjadi pijakan kuat bagi pemerintah provinsi serta pemerintah kabupaten dan kota lain untuk tak ragu menerapkan kebijakan serupa.
”Saya ingin meyakinkan dan memastikan kepada pemerintah daerah di luar Bali jikalau ingin menerapkan aturan yang sama agar tidak perlu ragu-ragu, apalagi takut, karena sudah ada posisi hukum yang kuat dengan adanya putusan Mahkamah Agung ini,” ujar Gubernur Bali I Wayan Koster, Kamis (11/7/2019) di Denpasar, menanggapi putusan MA tersebut.
Seperti diberitakan, Kompas, 11 Juli 2019, risalah putusan MA tersebut telah diunggah di situs MA. Dalam putusan tersebut menginformasikan, rapat permusyawaratan hakim MA, Kamis (23/5/2019) memutuskan menolak permohonan keberatan hak uji materi atas pergub itu. Majelis hakim MA yang diketuai Supandi dengan anggota majelis, Yulius dan Yodi Martono Wahyunadi, juga memutuskan menghukum pemohon untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp 1 juta.
Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI) mengajukan permohonan hak uji materi ke MA atas Pergub Bali No 97/2008 itu karena keberatan dengan Pasal 7 dan 9 (ayat 1) dalam peraturan gubernur itu yang dinilai sebagai pengaturan berlebihan. Uji materi atas Pergub Bali No 97/2008 itu diregistrasi ke MA pada 13 Maret 2019.
ADUPI memohonkan uji materi kepada MA bahwa Pergub Bali bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Namun dalam putusannya, Majelis Hakim Mahkamah Agung menyatakan pasal 7 dan pasal 9 ayat (1) Pergub Bali No 97 Tahun 2018, tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Pergub Bali No 97/2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai tersebut mengatur pembatasan kantong plastik, styrofoam, dan sedotan plastik. Pergub Bali ini mewajibkan setiap produsen, distributor, pemasok, dan pelaku usaha di Bali untuk memproduksi, memasok, dan menyediakan pengganti (substitusi) plastik sekali pakai.
I Wayan Koster selaku Gubernur Bali dan mewakili Pemerintah Provinsi Bali berterima kasih kepada seluruh pihak, baik dari pemerintah pusat, pegiat lingkungan hidup, maupun pemerhati kebijakan publik serta masyarakat. Seluruh pihak ini telah memberikan dukungan, simpati, dan membela kebijakan Pemprov Bali dalam menangani sampah melalui Pergub Bali tentang pembatasan timbulan sampah plastik sekali pakai.
Daerah lain
Tiza Mafira, Direktur Eksekutif Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP) mengatakan esensi putusan MA adalah pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk melarang pemakaian plastik sekali pakai di wilayah masing-masing. “Ini tidak hanya kemenangan Bali tapi juga preseden bagi daerah lain untuk tak lagi ragu menerapkan kebijakan serupa,” kata dia.
Ini tidak hanya kemenangan Bali tapi juga preseden bagi daerah lain untuk tak lagi ragu menerapkan kebijakan serupa.
Ia berharap Pemprov DKI sebagai ibukota dan barometer Indonesia bisa menerapkan kebijakan serupa. GIDKP yang juga mendampingi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyatakan optimistis hal itu bisa segera dilakukan.
Secara terpisah, Wakil Ketua Umum ADUPI Justin Wiganda menyatakan, pihaknya tidak mempermasalahkan putusan MA yang menolak permohonan uji materi terhadap Pergub Bali No 97/2018 itu. Alasan mereka mengajukan permohonan uji materi itu, kata dia, sebagai upaya membuka wawasan dan pemahaman mengenai tata kelola sampah terkait pemakaian plastik dan dampak pembatasan plastik sekali pakai.
”Jangan sampai salah persepsi tentang keberadaan plastik,” kata Justin kepada Kompas, Kamis. Menurut dia, plastik bekas bernilai ekonomi apabila plastik bekas dipilah dari sampah lain dan dikumpulkan secara benar.
”Pelarangan plastik sekali pakai itu belum menyelesaikan masalah sampah di daerah jikalau tidak disertai tata kelola sampah,” ujarnya.