Pembangunan kependudukan dan keluarga berencana Indonesia telah membawa kemajuan signifikan. Namun, perempuan masih tertinggal.
JAKARTA, KOMPAS—Perempuan masih tertinggal dalam pembangunan kependudukan di Indonesia. Mereka harus menghadapi banyak persoalan terkait hak dan akses atas kesehatan reproduksi, kehamilan tak diinginkan, kekerasan, hingga kesempatan dan perlakuan berbeda di tempat kerja.
“Perempuan belum memiliki otonomi atas tubuhnya,” kata Wakil Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Budi Wahyuni dalam Seminar Nasional Hari Kependudukan Dunia (HKD) 2019 di Jakarta, Kamis (11/7/2019).
HKD diperingati tiap 11 Juli. Tahun ini, peringatan itu jadi upaya mengingatkan kembali Program Aksi Konferensi Kependudukan dan Pembangunan Internasional (ICPD) 1994 di Kairo, Mesir, yang tahun ini genap berumur 25 tahun.
Program Aksi ICPD yang jadi kesepakatan 179 negara itu menandai pergeseran paradigma pembangunan penduduk dari pencapaian target demografi semata jadi pemenuhan hak dan menempatkan manusia sebagai pusat pembangunan.
Selama masa itu, Indonesia mencapai banyak kemajuan, seperti penurunan angka fertilitas total (TFR) dari 2,85 (1994) menjadi 2,38 (2017). Prevalensi penggunaan kontrasepsi modern (CPR) pun naik dari 52,1 persen jadi 57,2 persen.
Namun, banyak target yang butuh percepatan, termasuk banyaknya orang yang ingin memakai kontrasepsi tapi tak terlayani (unmet need), kematian ibu melahirkan, kekerasan berbasis jender dan praktik berbahaya pada perempuan, seperti sunat perempuan.
Jumlah unmet need pada Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2017 mencapai 10,6 persen atau 4-5 juta perempuan. "Jumlah itu sudah turun, tapi masih tinggi dan jauh dari target yang ingin dicapai," kata Direktur Perencanaan Kependudukan dan Perlindungan Sosial, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Maliki.
Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Dwi Listyawardani mengatakan mereka yang tak terlayani kontrasepsi itu, terbanyak ada pada penduduk berpendidikan tinggi, warga perkotaan, dan kelompok umur lebih dari 40 tahun.
"Banyak perempuan berhenti menggunakan kontrasepsi saat berumur 40 tahun, padahal mereka masih subur," katanya.
Kematian ibu
Tingginya unmet need memicu kehamilan tak diinginkan dan kematian ibu. Karena itu, tanpa upaya keras menekan unmet need, kematian ibu melahirkan sulit dikurangi. "Bila seluruh kebutuhan kontrasepsi terpenuhi, kematian ibu bisa ditekan 25 persen," ujarnya.
Bila seluruh kebutuhan kontrasepsi terpenuhi, kematian ibu bisa ditekan 25 persen.
Angka kematian ibu melahirkan pada 2015 mencapai 305 per 100.000 kelahiran hidup. Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan Kirana Pritasari mengatakan penyebab tertinggi kematian ibu adalah hipertensi dan perdarahan. Sementara lokasi kematian ibu terbanyak ada di rumah sakit.
Pemerintah menargetkan angka kematian ibu jadi 183 per 100.000 kelahiran hidup pada 2024. Jika tidak, target jumlah kematian ibu dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 2030 akan sulit dicapai.
Kekerasan
Perempuan juga rentan alami kekerasan. Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Ketenagakerjaan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Rafail Walangitan menyebut selama hidup, 1 dari 3 perempuan Indonesia umur 15-64 tahun pernah alami kekerasan dari pasangan dan selain pasangan.
"Perempuan perkotaan lebih rentan mengalami kekerasan dibandingkan yang di perdesaan," tambah Maliki.
Di dunia kerja, peran perempuan pun termarjinalkan. Partisipasi angkatan kerja perempuan hanya 51,88 persen, jauh lebih rendah dibanding laki-laki yang mencapai 82,96 persen. Sebagian besar perempuan kerja di sektor informal dan upahnya pun lebih rendah.
Besarnya tantangan itu membutuhkan komitmen kuat negara. Dwi mengatakan pemerintah melalui BKKBN berkomitmen melaksanakan Program Aksi ICPD 1994 lewat pemenuhan layanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi, penurunan kematian ibu, penghapusan kekerasan pada perempuan dan mendorong pertumbuhan anak dan remaja yang sehat untuk mengoptimalkan bonus demografi.
Perwakilan Badan Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) Najip Assifi mengatakan UNFPA akan membantu Indonesia menghilangkan hambatan perempuan dan anak perempuan terhadap akses kesehatan. “Meski ada kemajuan luar biasa, jutaan perempuan dan anak perempuan masih belum memakai hak kesehatan seksual dan reproduksinya,” katanya.