Menanti Komunikasi Jujur dari Elite
Di tengah wacana pentingnya pertemuan Jokowi dan Prabowo, kini muncul sejumlah syarat guna mewujudkan pertemuan itu. Komunikasi yang jujur dan tulus dari para elite amat dibutuhkan untuk mengatasi masalah bangsa.
Pada 17 Oktober 2014, dua calon presiden peserta Pemilu 2014, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, untuk pertama kalinya bertemu seusai penyelenggaraan pemilu presiden. Pertemuan yang berlangsung hampir lima tahun lalu itu sontak mencairkan ketegangan politik dan memberikan optimisme baru untuk kembali merekatkan persatuan bangsa.
Dalam pertemuan di kediaman Prabowo di Jalan Kertanegara, Jakarta, tersebut, Prabowo antara lain menyatakan, pertarungan politik adalah hal lumrah dalam kehidupan demokrasi sehingga jangan sampai memecah belah masyarakat. Dia juga mengucapkan selamat kepada Jokowi yang tiga hari setelah pertemuan itu dilantik jadi Presiden RI periode 2014-2019.
Pemilu Presiden 2019 kembali mempertemukan Jokowi dengan Prabowo sebagai calon presiden. Penetapan Jokowi dan Ma’ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden terpilih hasil Pemilu 2019 oleh Komisi Pemilihan Umum menandakan telah selesainya proses pemilu presiden di KPU. Penetapan itu dilakukan KPU setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan perselisihan hasil pemilu presiden yang diajukan Prabowo-Sandiaga Uno.
Kini, publik menantikan kembali pertemuan antara Jokowi dan Prabowo. Pertemuan itu diyakini dapat mendinginkan tensi politik yang sempat memanas pada pemilu lalu.
Dinantinya pertemuan Jokowi dengan Prabowo ini antara lain tecermin dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 27-28 Mei lalu terhadap 536 responden di 16 kota besar di Indonesia. Sebanyak 80,8 persen responden di jajak pendapat itu menyatakan, perlu dan sangat perlu adanya pertemuan empat mata antara Jokowi dan Prabowo. Sementara 69,8 persen responden meyakini, pertemuan antara Jokowi dan Prabowo akan meredakan ketegangan di masyarakat.
Meski demikian, sampai saat ini Jokowi dan Prabowo ditengarai belum juga bertemu. Kini, bahkan, muncul sejumlah hal yang disebut sebagai syarat terjadinya pertemuan Jokowi dan Prabowo, seperti pemulangan Rizieq Shihab dari Arab Saudi.
Munculnya sejumlah syarat itu turut dibahas dalam bincang Satu Meja The Forum dengan tema ”Politik Rujuk, Siapa Untung?” di Kompas TV, Rabu (10/7/2019). Hadir sebagai pembicara dalam acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu adalah Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional Viva Yoga Mauladi, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Juliantono, Ketua Partai Kebangkitan Bangsa Lukman Edy, Wakil Sekretaris Jenderal PDI-P Ahmad Basarah, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Siti Zuhro, serta Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya.
Pertemuan
Syarat yang muncul bagi terwujudnya pertemuan Jokowi-Prabowo, menurut Lukman Edy, kurang sesuai dengan tujuan rekonsiliasi. Menurut dia, tawaran rekonsiliasi dari Jokowi merupakan ajakan untuk menurunkan tensi politik dan tidak memperdebatkan lagi keputusan MK terkait perselisihan hasil pemilu presiden.
Ajakan untuk menghormati keputusan MK, menurut Ferry, sudah disampaikan Prabowo. Bahkan, Prabowo-Sandi telah mengimbau pendukungnya untuk menjaga situasi tetap kondusif. Ferry juga menegaskan, Prabowo pasti mempertimbangkan untuk bertemu secara langsung dengan Jokowi.
Viva Yoga berpandangan, rekonsiliasi melalui komunikasi politik seharusnya tidak hanya dilakukan Jokowi dan Prabowo, tetapi juga melibatkan seluruh komponen partai politik pendukung keduanya.
Sementara Siti Zuhro menyatakan, solusi akan muncul jika semua pihak saling memahami. Sementara itu, Yunarto berpendapat, dibutuhkan pendidikan politik dan penegakan hukum untuk mengatasi masalah seperti keterbelahan di masyarakat.
Fokus
Terlepas dari munculnya sejumlah isu sebagai syarat guna terwujudnya pertemuan Jokowi dan Prabowo, penyelesaian berbagai masalah yang muncul saat ini mesti menjadi fokus Jokowi-Amin segera setelah mereka dilantik sebagai presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober mendatang.
Salah satu yang harus segera dilakukan Jokowi, menurut Basarah, adalah penguatan ideologi Pancasila. Pasalnya, kini ditengarai tengah terjadi perang ideologi di masyarakat, yang ditandai oleh adanya pemakaian politik identitas pada Pemilu 2019.
”Pada praktiknya di lapangan, saat momentum pemilu selalu ada saja unsur di tengah masyarakat yang mencoba memanfaatkan untuk membawa isu tersendiri di luar isu kebangsaan. Jadi, Pak Jokowi harus punya strategi kebudayaan yang efektif agar Pancasila benar-benar menjadi ideologi yang diterima komponen bangsa Indonesia,” katanya.
Hal senada disampaikan Yunarto. Masalah ideologi dan berbagai macam ekstremisme di Indonesia dapat menjadi fokus Jokowi ke depan. ”Jokowi harus ingat bahwa dia dipilih bukan untuk menjadi pemimpin koalisi, tetapi presiden, sehingga yang harus diprioritaskan bukan masalah koalisi, melainkan legacy,” ujarnya.
Akhirnya, komunikasi antar-elite memang perlu dilakukan untuk membangun kesepahaman. Komunikasi yang jujur tak hanya meredakan ketegangan politik. Stabilitas politik juga akan tercipta sehingga masyarakat bisa hidup dan bekerja lebih optimal.