JAKARTA, KOMPAS -- Pemerintah China bekerja sama dengan lima negara di Asia Tenggara sejak 2004 untuk menindak praktik perdagangan manusia, termasuk yang bermodus pengantin pesanan.
Kelima negara di Asia Tenggara itu adalah Myanmar, Vietnam, Kamboja, Laos, dan Thailand. Pada semester II-2018, misalnya, seperti dilaporkan kantor berita Associated Press pada 21 Juni 2019, operasi gabungan negara-negara itu berhasil menyelamatkan 1.130 perempuan asing yang diculik. Polisi juga menangkap 1.322 tersangka, termasuk 262 warga asing, dengan tuduhan membujuk dan menculik perempuan dengan menjanjikan pekerjaan atau pernikahan.
Menurut Mimi Vu, Direktur Advokasi Pacific Links, organisasi yang mendampingi perempuan Vietnam yang diperdagangkan, penggerebekan bersama menjadi pertanda bahwa persoalan perdagangan manusia mendapat perhatian yang lebih serius. ”Kerja sama adalah kunci keberhasilan penggerebekan polisi,” ujar Vu.
Wakil Direktur Kementerian Keamanan Publik China Chen Shiqu menuturkan, sejauh ini China pun telah mendirikan delapan kantor penghubung yang berkoordinasi dengan kepolisian di Myanmar, Vietnam, dan Laos untuk memerangi perdagangan manusia serta memulangkan perempuan yang diculik ke negara asalnya.
Selain itu, China juga telah mengintensifkan patroli dan pemeriksaan di perbatasan untuk menangkap para pedagang manusia. Di Jakarta, pengajar Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Benny Yusriza, Kamis (11/7/2019), mengatakan, untuk mengatasi persoalan perdagangan manusia yang begitu kompleks, solusinya tidak sesederhana menghukum orang-orang yang terlibat dalam kejahatan itu. Upaya pencegahan harus diutamakan.
Hanya, menurut Benny, pemerintah di negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, lebih fokus pada penindakan dan kriminalisasi, sedangkan perspektif pencegahan dan perlindungan masih sebatas ”pilihan”.
Sementara itu, Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) Indonesia memberikan perhatian terhadap penegakan hukum dan keselamatan korban pengantin pesanan. Among Pundhi Resi, Kepala Unit Counter-Trafficking and Labour IOM Indonesia, mengatakan, pihaknya memfasilitasi pengambilan keterangan korban saat masih di luar negeri, termasuk dukungan hukum.
”Begitu juga dukungan sosial untuk pemulihan korban setelah dipulangkan karena ini akan memengaruhi psikologis korban dalam memberikan kesaksian selama proses penanganan perkara,” ujarnya.
Faktor penarik
Permintaan akan pengantin pesanan di China telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena ini dipicu oleh kebijakan satu anak yang diberlakukan sejak 1979. The Chinese Academy of Social Sciences, seperti dimuat The ASEAN Post (10/10/2018), memperkirakan, kebijakan satu anak itu pada 2020 akan mengakibatkan jumlah laki-laki dalam usia menikah 40 juta jiwa lebih banyak daripada jumlah perempuan di kelompok usia yang sama.
Berdasarkan data populasi Biro Statistik China, jumlah penduduk laki-laki pada 2017 sebanyak 711,3 juta jiwa (51,17 persen) dan penduduk perempuan 678,7 juta jiwa (48,83 persen) atau selisih 33 juta jiwa.
Menurut Benny Yusriza, faktor jumlah laki-laki di China yang lebih banyak daripada perempuan menjadi faktor penarik terjadinya perdagangan manusia bermodus pengantin pesanan yang korbannya umumnya perempuan dari Asia Tenggara. Selain itu, menikahi perempuan dari luar China juga dianggap—utamanya oleh laki-laki dari kelas menengah ke bawah—lebih rasional. Sebab, menikahi perempuan di China dianggap memerlukan biaya yang jauh lebih tinggi.
”Misalnya, pria China harus punya rumah sendiri dan penghasilan. Ada tuntutan materialistik,” kata Benny. Kondisi itu kemudian bertemu dengan faktor pendorong dari negara asal perempuan yang jadi korban pengantin pesanan, yakni kemiskinan.
Benny menjelaskan, jika ingin serius mengatasi perdagangan manusia dengan modus pengantin pesanan, pemerintah seharusnya menggunakan perspektif pencegahan. Pada saat yang sama juga memotong penghubung antara pasar dan permintaan. ”Memotong itu termasuk mematikan broker lokal, memperkuat perbatasan, seperti imigrasi dan perwakilan Indonesia di luar negeri, serta peningkatan kewaspadaan di daerah,” katanya.
Vu mengatakan, diperlukan usaha yang lebih besar daripada sekadar mencari para korban untuk membendung perdagangan manusia. (AP/ADH/GAL/SON)