Disparitas Perkembangan Penduduk Daerah Jadi Tantangan
Di satu sisi, Indonesia harus mengendalikan jumlah penduduk pada provinsi yang pertumbuhannya masih tinggi, di sisi lain ada provinsi yang pertumbuhannya sudah stabil. Perlu dilihat perkembangan di setiap provinsi itu untuk menyusun kebijakan yang harus dilakukan.
Oleh
Fajar Ramadhan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam upaya pengendalian kependudukan, Indonesia kini tengah menghadapi tantangan disparitas kualitas di daerah. Disparitas tersebut membutuhkan penanganan komprehensif sesuai kebutuhan setiap daerah agar kualitas kependudukan bisa merata di seluruh Indonesia.
Direktur Perencanaan Kependudukan dan Perlindungan Sosial Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Maliki, di Jakarta, Kamis (11/7/2019), mengatakan, Indonesia kini dihadapkan pada tantangan disparitas kependudukan. Persoalan ini membutuhkan pendekatan spesifik sesuai kebutuhan daerah untuk mencapai kependudukan berkualitas setara di seluruh Indonesia.
Di satu sisi, Indonesia harus mengendalikan jumlah penduduk pada provinsi yang pertumbuhannya masih tinggi. Di sisi lain, ada provinsi yang pertumbuhannya sudah stabil. Perlu dilihat perkembangan di setiap provinsi tersebut untuk menyusun kebijakan yang harus dilakukan.
”Provinsi seperti Yogyakarta, Jawa Timur, Jakarta, Sulawesi Utara, dan Bali rata-rata anak per satu perempuannya (TFR) di bawah dua,” ujar Maliki dalam Seminar Nasional Hari Kependudukan Dunia Tahun 2019 di Jakarta, Kamis.
Disparitas juga terjadi berkaitan dengan rata-rata usia harapan hidup penduduk. Di Yogyakarta, misalnya, rata-rata usia harapan hidup penduduknya di atas 74 tahun, sedangkan di Sulawesi Barat rata-ratanya sekitar 62 tahun. Alhasil, isu yang dihadapi tiap-tiap provinsi pun berbeda.
”Kalau provinsi lain berbicara tentang pemanfaatan usia produktif atau menciptakan lapangan pekerjaan, provinsi seperti Yogyakarta, Jawa Timur, atau Bali sudah berinovasi meningkatkan produktivitas usia lanjut,” kata Maliki.
Dari segi unmeet need atau kebutuhan alat kontrasepsi pasangan keluarga berencana yang tidak bisa terpenuhi, disparitas juga masih terjadi. Artinya, masih banyak pasangan usia subur tidak menemukan alat kontrasepsi yang diinginkan untuk menjalankan program keluarga berencana sehingga menimbulkan disparitas antardaerah.
Terlebih prevalensi unmeet need di Indonesia bagian timur yang cenderung tinggi. ”Terutama Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur,” ucap Maliki.
Menurut dia, disparitas tersebut harus menjadi perhatian serius mengingat Indonesia akan menghadapi bonus demografi tahun 2020-2035, sekaligus target memperpanjang bonus tersebut. Perlu ada kerja sama antara pemerintah, swasta, komunitas, dan keluarga.
”Peranan keluarga dan komunitas harus diperkuat dalam rangka menyusun rencana keluarga,” lanjut Maliki.
Rencana induk
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo dalam sambutannya, yang dibacakan Pelaksana Tugas Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN Dwi Listyawardhani, mengatakan, pemerintah telah menyusun Rencana Induk Pembangunan Kependudukan yang terbagi dalam sejumlah aspek.
”Aspek tersebut antara lain pengendalian kuantitas, peningkatan kualitas, dan penguatan database kependudukan secara lintas sektor,” katanya.
BKKBN mencatat, pada 2017, angka unmeet need di Indonesia mencapai 5,5 juta. Artinya, ada sekitar 10,6 persen dari 51 juta pasangan subur yang membutuhkan alat kontrasepsi KB, tetapi tidak bisa terlayani.
Dwi menambahkan, BKKBN saat ini fokus mengurangi separuh unmeet need yang ada atau sekitar 2,5 juta pasangan. ”Caranya, mengintensifkan pelayanan Keluarga Berencana seperti pemenuhan obat-obat kontrasepsi di daerah,” ujar Dwi.
Perwakilan United Nations Population Fund (UNFPA), Najip Assifi, mengatakan, pihaknya akan membantu Indonesia untuk menghilangkan hambatan perempuan dan anak perempuan dengan akses kesehatan. Hambatan tersebut termasuk menghilangkan unmeet need, kematian ibu, dan kekerasan berbasis jender.
”Meski ada kemajuan yang luar biasa, jutaan perempuan dan anak perempuan di Indonesia masih belum dapat menggunakan hak dan kesehatan seksual serta reproduksi mereka,” katanya.