Rencana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan dipastikan tak akan mengurangi kawasan hutan lindung. Lahan yang telah rusak pun akan dihijaukan kembali agar kota menjadi layak dan nyaman ditinggali.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan dipastikan tak akan mengurangi kawasan hutan lindung. Lahan yang telah rusak pun akan dihijaukan kembali agar kota menjadi layak dan nyaman ditinggali.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, konsep pembangunan ibu kota negara di Kalimantan akan mengarah pada kota bernuansa hutan (forest city). Kawasan hutan lindung pun tak akan berubah.
”Jadi, pada saat membangun kota baru, desain kotanya memang mengarah ke forest city. Dengan demikian, aspek hutan dan hijaunya itu akan dijaga,” ujar Bambang dalam diskusi ”Pindah Ibu Kota Negara: Belajar dari Pengalaman Negara Sahabat” di kantor Bappenas, Jakarta, Rabu (10/7/2019).
Hadir dalam diskusi itu, antara lain, Duta Besar Indonesia untuk Brasil periode 2010-2015 Sudaryomo Hartosudarmo dan Duta Besar Brasil untuk Indonesia Rubem Barbosa. Brasil dilibatkan dalam diskusi karena menjadi salah satu contoh negara yang berhasil memindahkan ibu kota negara dari Rio de Janeiro ke Brasilia pada 1960.
Bambang tak memungkiri bahwa saat ini lahan di Kalimantan didominasi pertambangan, industri batubara, serta komoditas kelapa sawit dan karet. Oleh karena itu, apabila ditemukan lahan yang telah rusak, pemerintah akan fokus pada reforestasi.
”Mengenai lahan-lahan yang tak seperti hutan lagi, begitu Presiden melihat itu, beliau bilang, kita perlu revitalisasi hutannya. Ya, kami akan fokus reforestasi,” ujarnya.
Lingkungan
Selain itu, Bambang menambahkan, masalah lingkungan juga akan diperhatikan dalam pembangunan ibu kota negara baru nanti. Dengan membawa konsep kota hijau, pemerintah akan mendorong agar sumber energi yang masuk ke dalam calon ibu kota negara haruslah energi terbarukan sehingga tak bergantung pada bahan bakar fosil.
Masalah lain adalah air. Setiap tempat tinggal kelak harus terkoneksi dengan pipa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
”Jadi, water supply tidak akan menjadi masalah di kemudian hari. Warga juga bisa menikmati air berkualitas dan tak tercemar,” kata Bambang.
Bambang menyebutkan, calon ibu kota negara hanya didesain untuk 1,5 juta penduduk. Dengan demikian, pertumbuhan kota bisa lebih terkendali. ”Kami tidak mau menciptakan Jakarta kedua. Karena itu, kami tidak ingin kota yang besar yang malah menimbulkan masalah bagi kota itu sendiri,” ujarnya.
Sebagai catatan, saat ini, Jakarta masuk dalam daftar teratas dari 10 kota dengan penduduk terbesar di Indonesia. Penduduk di Jakarta sekitar 10,3 juta orang. Selisih penduduk dengan kota-kota lain pun sangat jauh, seperti Surabaya (3 juta orang), Bekasi (2,4 juta orang), dan Tangerang Selatan (1,5 juta orang).
Pemerataan
Sementara itu, Rubem Barbosa memaparkan, alasan pemindahan ibu kota negara dari Rio de Janeiro ke Brasilia pada 1960 sebenarnya tak jauh berbeda dengan Jakarta. Saat itu, Rio de Janeiro berkembang terlalu cepat sehingga ketimpangan antardaerah sangat terasa.
Namun, setelah pindah ke Brasilia, setidaknya ada dua manfaat yang didapatkan pemerintahan Brasil saat ini, yakni pemerataan penduduk dan ekonomi. Brasilia memiliki peran yang sangat besar, lanjut Barbosa, karena terletak di tengah-tengah negara.
”Saat ini, Brasilia merupakan kota dengan pendapatan per kapita tertinggi di Brasil. Itu sama sekali tidak direncanakan. Selain itu, sekarang Brasilia juga menjadi tujuan utama migrasi penduduk,” kata Barbosa.
Sudaryomo Hartosudarmo pun menyampaikan hal serupa, bahwa Brasilia dirancang sangat futuristik dan didesain seperti badan pesawat. Pusat pemerintahan ada di bagian badan, yakni Brasilia, sementara pusat-pusat bisnis ada di bagian sayap yang mencakup setidaknya 20 kota satelit.
”Jadi, pemindahan ibu kota negara juga berdampak pada tumbuhnya sentral-sentral ekonomi di sekitar ibu kota negara yang baru. Dua puluh kota kecil di sekitar Brasilia itu tumbuh pusat-pusat baru, seperti industri, pariwisata, dan perdagangan,” tutur Sudaryomo.