Layanan dan Pemberdayaan Warga Lansia Belum Optimal
Dukungan bagi warga lanjut usia, baik dalam kesehatan, ekonomi, maupun perlindungan, belum optimal. Pemerintah perlu meningkatkan layanan dan pemberdayaan agar penduduk lansia tetap produktif dan bahagia di usia senja.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Warga lanjut usia (lansia) di Indonesia mencapai 24,4 juta jiwa atau sekitar 9,27 persen dari jumlah penduduk. Namun, dukungan bagi penduduk lansia, baik dalam kesehatan, ekonomi, maupun perlindungan, belum optimal. Pemerintah perlu meningkatkan layanan dan pemberdayaan agar orang lansia tetap produktif dan bahagia di usia senja.
Dalam peringatan Hari Lanjut Usia Nasional di Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (10/7/2019), Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, peningkatan warga lansia mulai terjadi sejak 2000. Tahun depan, proporsi warga lansia diprediksi meningkat menjadi 11,3 persen.
Menurut Agus, di satu sisi, pertumbuhan jumlah orang lansia itu menunjukkan peningkatan usia harapan hidup. Namun, di sisi lain, hal itu juga menjadi tantangan yang tidak ringan bagi pembangunan nasional.
”Sudah seharusnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah bekerja sama dengan lembaga non-pemerintah untuk lebih memperhatikan dan mendukung lansia,” ujarnya.
Agus memaparkan berbagai masalah yang dihadapi orang lansia. Di bidang ekonomi, misalnya, pertumbuhan orang lansia akan mengurangi jumlah pembayar pajak sehingga berdampak pada meningkatnya beban fiskal.
Di bidang sosial, penduduk lansia berisiko jatuh miskin, telantar, dan menghadapi masalah kesejahteraan sosial lainnya. Hal ini disebabkan menurunnya tingkat pendapatan, produktivitas, dan kesehatan.
Agus mengatakan, merujuk pada data penduduk lansia tahun 2018 yang dirilis Badan Pusat Statistik, sebanyak 22 persen warga lansia masih buta huruf. Selain itu, sekitar 30 persen orang lansia merupakan penyandang disabilitas. Sebanyak hampir 60 persen orang lansia pendapatannya tidak stabil sehingga sebagian besar hidupnya menumpang dan dibiayai anggota keluarga.
”Berbagai persoalan itu membuat saya dengan mudah menyimpulkan kondisi lansia masih jauh dari produktif, mandiri, dan sejahtera. Ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama,” ujarnya.
Agus menuturkan, pemerintah terus berupaya meningkatkan pelayanan pada warga lansia, seperti dalam aspek perlindungan melalui bantuan sosial, asistensi sosial, dan penguatan layanan berbasis komunitas.
Kalau penerima manfaat program keluarga harapan tidak memperhatikan lansia dalam keluarganya, bantuan program keluarga harapan akan dicabut.
Dia mencontohkan, sejak 2018, penduduk lansia menjadi salah satu komponen program keluarga harapan (PKH). ”Kalau penerima manfaat PKH tidak memperhatikan lansia dalam keluarganya, bantuan PKH akan dicabut,” ucapnya.
Agus mengatakan, penduduk lansia penerima manfaat layanan dari Kementerian Sosial mencapai 2,5 juta jiwa. Dia mengakui, jumlah itu masih sangat kurang dibandingkan dengan total populasi warga lansia. ”Harapannya, perhatian dan dukungan untuk lansia tidak hanya dari pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah dan swasta,” ujarnya.
Agus mengingatkan, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pemda diwajibkan memberikan pelayanan dasar berupa rehabilitasi sosial bagi penduduk lansia dan warga telantar. Pelayanan dasar itu meliputi berbagai hal, seperti identitas, tempat tinggal, makanan dan pakaian, serta layanan kesehatan.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengatakan, Pemprov Jabar telah menjalankan sejumlah program untuk meningkatkan layanan dan pemberdayaan warga lansia. Dua di antaranya adalah program Minggu Lansia dan Lansia Kembali ke Sekolah.
Setiap akhir pekan, orang lansia akan ditemani relawan anak muda agar tidak kesepian di masa tuanya. ”Ada juga lansia yang menjadi guru tamu karena banyak lansia mantan pejabat, seniman, dan orang-orang pintar,” lanjut Kamil.