Tekan Impor Obat, Pengembangan Industri Farmasi Dikebut
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·3 menit baca
BEKASI, KOMPAS – Pengembangan industri farmasi kini tengah dikebut guna menekan impor obat sekaligus mengekspor produksi dalam negeri. Tahun ini, ditargetkan akan ada tiga perusahaan nasional tambahan yang melakukan kerja sama usaha (joint venture) dengan perusahaan farmasi dari negara lain.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) Penny K Lukito mengatakan, pemerintah kini terus berupaya menekan impor sekaligus menghasilkan ekspor obat. Hal ini juga sebagai bentuk komitmen dari Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri dan Alat Kesehatan.
“Kami selalu mendukung serta memberikan kemudahan, kelancaran dan percepatan dalam perizinan industri farmasi,” katanya di Bekasi, Selasa (9/7/2019).
Sejak 2016, sudah ada delapan perusahaan joint venture yang dikembangkan. Perusahaan-perusahaan farmasi dalam negeri bersinergi dengan perusahaan dari Korea Selatan, India dan Malaysia. Pada 2019, akan ada tiga lagi joint venture yang diwujudkan.
“Jadi, selama 2019 akan ada 11 perusahaan joint venture. Ini menjadi keberhasilan kerja sama pemerintah dengan swasta,” ujar Penny.
Salah satu pabrik joint venture, yakni PT CKD OTTO Pharmacheutical diresmikan pada Selasa siang. Pabrik tersebut adalah kerja sama antara Chong Kun Dang Pharmacheutical dengan OTTO Pharmacheutical pada 2015.
Produk dari PT CKD OTTO Pharmacheutical adalah obat-obatan onkologi atau anti-kanker. Produk mereka juga dilabeli dengan sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) sekaligus menjadikannya sebagai obat onkologi bersertifikat halal pertama di Indonesia.
“Adanya sertifikat halal diharapkan bisa mengisi pasar internasional yang membutuhkan produk halal. Banyak sekali negara-negara Islam yang menunggu adanya obat halal untuk kanker,” kata Penny.
Jaminan mutu
Dalam peresmian tersebut, Badan POM juga memberikan sertifikat Good Manufacturing Practice terkait cara pembuatan obat yang baik dan nomor izin edar beberapa produknya. Hal tersebut untuk memberikan jaminan terhadap mutu dan khasiat obat yang dihasilkan.
Presiden Direktur CKD OTTO Pharmacheutical, Baik In Hyun, ketiga produk dari CKD OTTO Pharmacheutical yang sudah mendapatkan Nomor Izin Edar (NIE) yakni Gemcitabine dengan dosis 200 miligram (mg) dan 1.000 mg, Paclitaxel (30 mg, 100 mg, dan 300 mg) dan Oxaliplatin (50 mg dan 100 mg).
Selain itu, masih ada tujuh produk yang sedang dikembangkan. Dua diantaranya diproyeksikan untuk 2020. Dari 10 produk yang dimiliki, 6 produk diantaranya akan masuk dalam pasar ekspor antara lain Gemcitabine, Oxaliplatin, Docetaxel, Doxorubicin, Epirubicin dan Methotrexate.
“Tapi saat ini kami masih fokus pada pasar lokal yakni sebesar 50 persen. Setelah itu kita akan ekspor terutama ke Middle East North Africa (MENA)," kata dia merujuk Timur Tengah-Afrika Utara.
Bukan hal mudah
Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengatakan, pembuatan obat anti-kanker bukanlah hal yang mudah. Mengingat hingga saat ini tidak diketahui pasti dari mana penyebabnya. Namun, peluang ini mampu dibaca oleh PT CKD OTTO Pharmacheutical.
“Saat ini kita perlu memerlukan obat dasar untuk mematikan pertumbuhan sel-sel kanker,” katanya.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2018, prevelensi kanker meningkat dari 1,4 persen pada 2013 menjadi 1,8 persen. Adapun, biaya yang telah dikeluarkan pada Jaminan Kesehatan Nasional untuk kanker mencapai sekitar Rp 2,5 triliun.