Tim nasional sepak bola putri AS menegaskan dominasinya dengan menjuarai Piala Dunia Putri Perancis 2019 seusai mengalahkan Belanda, 2-0, Minggu (7/7/2019). Lewat gelar itu, timnas AS menyampaikan pesan kesetaraan dalam sepak bola.
Oleh
Yulvianus Harjono
·3 menit baca
LYON, SENIN — Tim nasional sepak bola putri Amerika Serikat menegaskan dominasinya dengan menjuarai Piala Dunia Putri Perancis 2019 seusai mengalahkan Belanda, 2-0, Minggu (7/7/2019) malam. Lewat gelar keempatnya itu, timnas AS menyampaikan pesan kesetaraan dalam sepak bola.
Pekik kegembiraan terpancar di wajah para pemain timnas putri AS, tidak terkecuali dua bintangnya, Alex Morgan dan Megan Rapinoe, seusai berakhirnya laga final di Stadion Groupama, Lyon, itu. Hari itu, mereka menciptakan sejarah, yaitu untuk pertama kali mampu memenangi Piala Dunia Putri secara beruntun, pada 2015 dan 2019. Hanya Jerman yang bisa menyamai mereka, yaitu menang beruntun pada 2003 dan 2007 silam.
Di jagat sepak bola putri, timnas AS nyaris tidak tertandingi. Dalam perjalanannya ke final, mereka mengalahkan tim-tim yang punya tradisi kuat di sepak bola, yaitu Spanyol, tuan rumah Perancis, dan Inggris. Prestasi di Perancis itu menjadi gelar keempatnya setelah 1991, 1999, dan 2015. Dengan kata lain, separuh dari delapan edisi Piala Dunia putri dikuasai oleh tim AS.
Di hari yang sama, timnas putra AS gagal meraih Piala Emas seusai dibekap Meksiko, 0-1, di Chicago. Kekalahan itu menegaskan kegagalan beruntun tim putra AS. Tahun lalu, mereka gagal lolos ke babak utama Piala Dunia Rusia. Hal itu menunjukkan, prestasi timnas putri dan putra AS seolah bak langit dan bumi. Namun, dalam hal penghargaan prestasi, nasibnya justru terbalik.
Tidak lama seusai laga final di Lyon berakhir, sejumlah suporter AS berteriak keras. ”Kesetaraan upah! Kesetaraan upah!” pekik mereka memprotes disparitas yang masif antara pendapatan pesepak bola putri dan putra.
Wall Street Journal melaporkan, sepanjang 2016-2018, tim putri AS menghasilkan pendapatan 50,8 juta dollar AS atau setara Rp 715 miliar. Angka itu sedikit lebih besar daripada yang dihasilkan Christian Pulisic, bintang tim putra AS, dan kawan-kawannya, yaitu 49,9 juta dollar AS atau Rp 703 miliar. Namun, tidak demikian dengan upah atau hadiah yang mereka dapat.
Menurut The Guardian, setiap anggota tim putri AS akan menerima hadiah 250.000 dollar AS atau sekitar Rp 3,5 miliar dari kemenangan di Perancis. Nilai ini kurang dari seperempat yang dijanjikan federasi sepak bola setempat kepada tim putra jika meraih prestasi serupa. Hadiah yang diterima Morgan dan kawan-kawan dari FIFA adalah 4 juta dollar AS atau Rp 56 miliar. Bandingkan dengan yang diraih tim putra Perancis saat juara di Rusia pada 2018 silam, yaitu 38 juta dollar AS atau Rp 535 miliar.
Tim putri AS sebelumnya bahkan telah mengajukan gugatan kepada Federasi Sepak Bola Amerika Serikat terkait kesenjangan pendapatan itu. ”Itu (kesenjangan) jelas tidak adil. Ini yang saya maksud ketika kita membahas apakah kita sungguh-sungguh merasa dihargai?” ujar Rapinoe, dikutip Business Insider.
Masalah kesetaraan di Piala Dunia Putri itu mengundang perhatian para olahragawan dunia. Billie Jean King, mantan petenis nomor satu dunia asal AS, berkata bahwa kesuksesan tim putri AS menyita perhatian, dukungan, dan menjadi kebanggaan terbesar olahraga putri. ”Butuh waktu lama bagi mereka untuk mendapatkan upah yang sepantasnya mereka dapat,” katanya melalui kicauan di akun Twitter.
Di tenis, disparitas hadiah dalam kejuaraan terus dikikis. Pada level Grand Slam, misalnya, semua telah menerapkan hadiah yang sama bagi juara putra dan putri. Pada Wimbledon 2019, juara tunggal putra dan putri masing-masing akan mendapat 2,35 juta poundsterling, sekitar Rp 41,47 miliar.
Di sepak bola, masalah kesenjangan itu masih menjadi pekerjaan rumah. Kondisi itu pula yang dijadikan salah satu pendorong motivasi tim putri AS saat tampil sebulan penuh di Perancis. Di final, menghadapi Belanda, mereka tampil ngotot, seolah tidak kehabisan energi untuk menekan lawan. ”Meraih kesuksesan memberikan kami pijakan untuk memperjuangkan kesetaraan,” ujar Alex Morgan, dikutip majalah Time. (AFP)