Peneliti Balai Arkeologi Sulawesi Selatan melakukan ekskavasi untuk melacak dugaan pertemuan antara penutur Austronesia dan kelompok lokal Toala yang menghuni ceruk dan goa-goa di kawasan Maros dan sekitarnya ribuan tahun lampau.
Oleh
RENY SRI AYU
·2 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS — Peneliti Balai Arkeologi Sulawesi Selatan melakukan ekskavasi untuk melacak dugaan pertemuan antara penutur Austronesia dan kelompok lokal Toala yang menghuni ceruk dan goa-goa di kawasan Maros dan sekitarnya ribuan tahun lampau. Hal ini memiliki makna penting dalam mengungkap pola akulturasi serta kekayaan keberagaman nenek moyang kita.
Ekskavasi dimulai pada hari Selasa (9/7/2019) di Kecamatan Mallawa, Kabupaten Maros, Sulsel, sekitar 100 kilometer arah timur laut Makassar. Ekskavasi difokuskan pada sebuah ceruk yang dahulu menjadi tempat bermukim manusia purba. Penelitian itu melibatkan arkeolog dari Balai Arkeologi (Balar) Sulsel dan Universitas Hasanuddin (Unhas).
”Sebenarnya, ini bermula saat kami melakukan ekskavasi pada tahun lalu dan menemukan lapisan tanah berusia 3.300 tahun. Kami menemukan dugaan kemungkinan pertemuan antara penutur Austronesia dan kelompok lokal Toala. Ada sejumlah penanda yang memperkuat dugaan itu. Makanya, tahun ini kami melanjutkan ekskavasi untuk mempertegas,” tutur Hasanuddin, peneliti Balar Sulsel yang menjadi ketua tim ekskavasi, Selasa.
Kelompok lokal Toala diduga sudah masuk ke Sulsel 5.000-7.000 tahun lalu, sementara penutur Austronesia masuk sekitar 4.000 tahun lalu. Peneliti akan mencari tahu apakah pertemuan mereka bersifat asosiatif atau resisten.
”Dari beberapa penanda yang kami temukan, ada benda seperti maros point yang terbuat dari kerang dan digosok. Maros point adalah mata panah bergerigi yang terbuat dari batu yang merupakan benda buatan Toala. Namun, dengan bahan kerang dan digosok, itu mewakili budaya Austronesia. Artinya, ada pembauran atau budaya yang diterima,” tutur Hasanuddin.
Peneliti juga menemukan tempayan dalam goa yang digunakan sebagai tempat mayat. Hal ini juga mewakili pembauran budaya. Ada banyak penanda lain yang menunjukkan bahwa penutur Austronesia dan Toala pernah hidup berdampingan. Beberapa tempat terbuka yang diduga pernah didiami penutur Austronesia dan ceruk tempat bermukim Toala juga menunjukkan penanda pembauran.
Iwan Sumantri, arkeolog-antropolog Unhas, mengatakan, penelitian ini nantinya akan mempertegas bahwa Indonesia memang dibangun dari multikultur dan etnis. ”Ada pesan bahwa tidak ada pemilik yang benar-benar asli atau otentik Indonesia. Yang ada adalah Indonesia itu seperti adonan yang terbuat dari bermacam bahan,” ujar Iwan yang juga terlibat dalam penelitian tersebut.
Ia menambahkan, sejak dahulu, orang-orang datang bermigrasi ke Nusantara lalu saling bertemu dan terjadi pencampuran budaya. ”Juga kawin-mawin yang turun-temurun dan menjadi Indonesia yang sekarang. Jadi, orang-orang yang ada sekarang semestinya menyadari bahwa kita memang beragam,” kata Iwan.