Brasil kembali merasakan nikmatnya merayakan gelar juara setelah menanti selama 12 tahun. Mereka kini sudah punya amunisi untuk mengincar target yang lebih besar, yaitu Piala Dunia Qatar 2022.
Oleh
Herpin Dewanto Putro
·4 menit baca
RIO DE JANEIRO, SENIN - Brasil beruntung memiliki sosok seperti Tite. Sejak ditangani pelatih bernama asli Adenor Leonardo Bacchi itu pada 2016, Brasil terus berkembang. Tiga tahun kemudian, Brasil seolah terlahir kembali di Stadion Maracana, Rio de Janeiro, Senin (8/7/2019) pagi WIB.
Di stadion yang menjadi ”kuil suci” bagi sepak bola Brasil itu, Brasil keluar sebagai juara Copa America 2019 setelah mengalahkan Peru 3-1 pada laga final. Mereka akhirnya bisa merasakan lagi sensasi menjadi tim terkuat di Amerika Selatan setelah menunggu sejak tahun 2007. Ini merupakan trofi Copa America yang ke-9 yang berhasil diraih tim ”Samba”.
Kemenangan di Maracana itu membuat warga Brasil bisa berpesta lagi dan para pemain merasa lebih percaya diri. Semua itu berkat Tite yang terus mencoba membangun tim yang lebih solid sejak menggantikan Dunga. Setelah belajar dari kegagalan pada Piala Dunia Rusia 2018, Tite kini bisa menampilkan Brasil yang lebih muda, produktif, dan mampu bertahan lebih baik.
Berdasarkan data statistik yang dilansir O Globo, Brasil pada era Tite memenangi 17 laga, mencetak 43 gol, dan hanya kebobolan lima kali saat melawan tim-tim Amerika Selatan dalam 22 laga. Adapun sebelum dilatih Tite, Brasil hanya memenangi 11 laga, mencetak 33 gol, dan kebobolan 21 gol dalam 22 laga.
Laga kontra Peru menjadi contoh bagaimana Tite berhasil membuat kekuatan tim yang seimbang. Kiper Brasil Alisson Becker memang kebobolan satu gol saat Peru mendapat tendangan penalti yang dieksekusi Paolo Guerrero. Namun, itu merupakan satu-satunya gol yang tidak bisa digagalkan Alisson sepanjang turnamen.
Brasil memiliki lini tengah dinamis sejak kehadiran Arthur, gelandang Barcelona. Bersama striker Roberto Firmino yang kerap mundur ke tengah, Arthur bisa membawa bola ke depan dan memberikan asis kepada Gabriel Jesus untuk menghasilkan gol kedua, yang membuat gol Guerrero sia-sia.
Jesus pun menjadi senjata utama lini serang Brasil dalam dua laga terakhir. Sebagai penyerang sayap kanan, Jesus punya kebebasan mengeksplorasi pertahanan lawan dan memberikan umpan silang kepada Everton Soares ketika Brasil mencetak gol pertama malam itu. Pada laga sebelumnya, Jesus juga mencetak satu gol dan menyumbang satu asis.
Kemampuan Jesus ini belum nampak pada Piala Dunia 2018. ”Sejak piala dunia saya telah belajar banyak dan datang ke sini dengan mental yang lebih baik. Saya bekerja keras di klub (Manchester City) dan bisa lebih fokus,” ujarnya.
Namun, Jesus terpaksa diusir setelah mendapat kartu kuning kedua menit ke-70. Ia mengamuk dan menendang monitor video asisten wasit (VAR) ketika berjalan menuju ruang ganti. Di luar stadion, ia menangis.
Kepiawaian Tite kembali diuji karena Peru pada final bukan Peru yang mereka bantai 5-0 saat penyisihan grup. Bermain melawan 10 pemain menjadi keuntungan bagi Peru untuk membalikkan keadaan. Namun, hal itu tidak terjadi karena Tite masih punya Everton, pasangan Jesus di sektor kiri.
Kelincahan Everton berhasil memaksa pemain Peru melakukan pelanggaran yang berbuah tendangan penalti. Richarlison, yang masuk menggantikan Firmino, mengambil tendangan itu dan memastikan kemenangan Brasil. Tanpa Neymar maupun bermain dengan 10 orang, Tite masih mampu menjaga keseimbangan tim. ”Wajar jika Brasil menang. Kami juga ingin menang tetapi Brasil jauh lebih efektif,” ujar Pelatih Peru Ricardo Gareca.
Target lebih besar
Brasil di era Tite terbukti sudah matang. Kemenangan di Maracana ini menjadi langkah awal untuk menatap target lebih besar, yaitu juara Piala Dunia Qatar 2022. Setidaknya trofi Copa America menjadi modal sangat berharga. Mereka telah menguasai Amerika Selatan dan kini bersiap menghadapi tim-tim Eropa yang selama ini mengalahkan mereka.
Tite masih punya stok pemain berusia di bawah 25 tahun seperti Jesus, Everton, Richarlison, Arthur, David Neres, Eder Militao, dan Lucas Paqueta. Dia hanya perlu segera mencari pengganti pemain tua senior seperti Dani Alves, Thiago Silva, Filipe Luis, dan Fernandinho dalam tiga tahun. Namun, sebelum piala dunia, Tite masih bisa mematangkan timnya pada Copa America 2020 di Argentina dan Kolombia.
Masalah pun muncul ketika dua staf kepercayaan Tite, yaitu Edu Gaspar menjadi direktur olahraga di Arsenal dan Sylvinho menjadi pelatih Lyon. Kepergian kedua orang itu dikhawatirkan bisa membuat Tite tidak betah dan ikut pergi. Namun, Tite sudah memberi jawaban sementara. “Saya masih punya kontrak hingga Piala Dunia 2022 usai,” ujarnya. (AP/AFP/REUTERS)