Kewajiban Sertifikasi Produk Halal Perluas Peluang Usaha
Pelaku usaha, khususnya UMKM, memperkirakan sertifikasi khusus produk halal yang mulai diwajibkan pada Oktober 2019 akan memperumit bisnis mereka. Namun, jaminan produk halal justru menguntungkan pelaku usaha dengan terbukanya pasar baru.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha, khususnya usaha kecil, mikro, dan menengah atau UMKM, memperkirakan sertifikasi khusus produk halal yang mulai diwajibkan pada Oktober 2019 akan memperumit bisnis mereka. Namun, jaminan produk halal justru akan menguntungkan pelaku usaha dengan terbukanya pasar baru, baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 dan tata cara pelaksanaannya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 tentang Jaminan Produk Halal, setiap produk halal wajib bersertifikasi mulai 17 Oktober 2019. Produk itu meliputi makanan dan minuman serta kosmetik dan obat-obatan.
Fachry Thaib, Ketua Komite Tetap Timur Tengah dan Organisasi Konferensi Islam Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Selasa (9/7/2019), di Jakarta, mengatakan, peraturan jaminan produk halal tidak akan menyulitkan dunia usaha. Kehadiran peraturan itu justru membuka peluang bagi produk halal di Indonesia.
Menurut Fachry, pasar yang akan terbuka luas adalah ekspor produk halal. Selama tahun 2018, total perdagangan produk mencapai 2,8 triliun dollar AS. Namun, Indonesia yang memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia hanya menempati peringkat ke-10 dalam industri produk halal. Bahkan, di Asia Tenggara, Indonesia masih kalah bersaing dari Singapura, Vietnam, dan Thailand.
”Dengan sertifikasi, pasar Timur Tengah akan naik. Jaminan produk halal sudah menjadi hal wajib di negara-negara tersebut. Dua tahun lalu kita pernah ekspor produk ke Pakistan, sempat ditolak karena tidak ada sertifikasi. Hal yang sama terjadi di Uni Emirat Arab,” tutur Fachry.
Sementara itu, di dalam negeri juga terdapat potensi pasar yang sangat luas. Pada 2017 saja, konsumsi industri halal di Indonesia lebih dari 200 miliar dollar AS. Namun, kebanyakan produk masih dipasok dari luar negeri.
Fachry menambahkan, potensi ini sangat terbuka bagi pelaku UMKM yang merupakan penguasa pasar domestik, penyumbang lebih dari 60 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Adapun jumlah pelaku UMKM di Indonesia mencapai 98,5 persen, sedangkan usaha besar hanya sekitar 1 persen.
”Harus ada upaya literasi kepada pelaku UMKM. Bagaimana mereka bisa memahami produk halal dapat meningkatkan dan memperkuat pertumbuhan usaha mereka,” ujarnya.
Ketua Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Sukoso menjelaskan, sejauh ini implementasi sertifikasi wajib halal masih berjalan secara sukarela. Penerapan sertifikasi masih menunggu aturan resmi beroperasi pada Oktober mendatang.
Meskipun jaminan produk halal dimulai Oktober 2019, pelaku usaha masih diberikan waktu beradaptasi. Khusus produk makanan dan minuman, pelaku usaha diberikan masa adaptasi hingga lima tahun. Adapun waktu adaptasi untuk kosmetik dan obat-obatan masih belum ditentukan.
”Tidak langsung harus pada 17 Oktober. Itu hanya starting point-nya. Ada kebijakan pentahapan. Tetapi, bukan berarti pelaku usaha nunggu lima tahun baru diproses. Mereka harus menyadari peluang besar terbukanya pasar baru,” ucap Sukoso.
BPJPH menargetkan 720 auditor halal pada akhir 2019. Setiap tiga auditor akan menempati Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang menurut rencana terdapat di setiap daerah.
”Dengan 720 auditor, kami sudah bisa menyediakan 240 LPH di setiap daerah. LPH akan kami sebar untuk memudahkan pelaku usaha melakukan sertifikasi produk halal,” lanjut Sukoso.
Ketua Ikatan Saudagar Muslim Indonesia Ilham Habibie mengatakan, pihaknya mendukung terkait kewajiban jaminan produk halal tersebut. Produk halal akan semakin menarik pembeli jika telah mendapat sertifikasi.
”Dalam konteks bisnisnya, pelaku usaha menyediakan sesuatu yang diinginkan pembeli. Kita harus beradaptasi karena produk halal sudah menjadi gaya hidup,” ucap Ilham yang juga menjabat Komisaris Utama PT Bank Muamalat.