Petani di Temanggung, Jawa Tengah, mengikuti Sekolah Perubahan Iklim yang diselenggarakan BMKG Stasiun Klimatologi Kelas I Semarang demi produktivitas pertanian mereka. Petani tidak lagi hanya mengandalkan perhitungan iklim tradisional.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA
Petani yang mengikuti Sekolah Lapangang Iklim BMKG Stasiun Klimatologi Kelas I Semarang mengecek kelembaban udara melalui alat di sangkar meteorologi, di Desa Tegalsari, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Senin (8/7/2019). SLI diselenggarakan antara lain untuk meningkatkan pemahaman petani akan pengaruh iklim pada hasil produksi pertanian.
TEMANGGUNG, KOMPAS — Ketidakpahaman akan informasi iklim, termasuk ketidakjelasan batas musim, kerap membuat petani terkecoh saat menentukan waktu tanam. Akibatnya, produktivitas tanaman menurun, bahkan gagal. Padahal, dengan manajemen tanam yang tepat, produktivitas pertanian akan meningkat.
Kepala Seksi Data dan Informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Kelas I Semarang Iis W Harmoko mengatakan, selama ini, kebanyakan petani masih mengandalkan pranoto mongso atau perhitungan tradisional iklim terkait pertanian.
”Selama ini, setiap ada hujan sedikit, petani langsung sebar benih, padahal belum tentu sudah masuk musim hujan. Petani harus tahu kapan benar-benar terjadi peralihan musim,” kata Iis dalam kegiatan Sekolah Lapangan Iklim (SLI) di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Senin (8/7/2019).
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA
Petugas membersihkan sangkar meteorologi yang menjadi tempat penyimpanan alat pengukur kelembaban udara, di Desa Tegalsari, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Senin (8/7/2019). Alat itu digunakan dalam kegiatan Sekolah Lapangan Iklim yang diselenggarakan BMKG Stasiun Klimatologi Kelas I Semarang.
Untuk itu, BMKG Stasiun Klimatologi Kelas I Semarang menyelenggarakan SLI bagi petani. Tahun 2019, SLI dilaksanakan di Desa Tegalsari, Kecamatan Kedu, Temanggung. Kegiatan itu diikuti 25 peserta dan digelar dalam 12 kali pertemuan. Selain mendapatkan materi serta praktik, peserta juga berdiskusi.
Iis menambahkan, SLI penting agar petani mampu beradaptasi saat menghadapi perubahan iklim. Pada 2019, misalnya, yang sejak awal tahun diprediksi dipengaruhi El Nino, musim kemarau 2019, termasuk di Jateng, akan lebih kering karena lebih panjang dibandingkan tahun 2018.
Selain itu, perubahan iklim juga berkaitan dengan ancaman hama dan penyakit. ”Saat kelembaban tinggi, yang muncul hama jamur, sedangkan saat suhu tinggi, umumnya wereng. Petani harus mengetahui tanda-tandanya sehingga bisa segera mengantisipasi,” ujar Iis.
Saat kelembaban tinggi, yang muncul hama jamur, sedangkan saat suhu tinggi, umumnya wereng. Petani harus mengetahui tanda-tandanya sehingga bisa segera mengantisipasi.
Menurut Iis, berdasarkan sejumlah SLI yang telah dilaksanakan, pemahaman akan informasi iklim membuat produktivitas pertanian bisa meningkat hingga 30 persen. Di Tegalsari, Kedu, misalnya, hasil percontohan tanaman padi selama SLI berlangsung menunjukkan panen menghasilkan 6,8 ton padi per hektar. Jumlah itu berada di atas rata-rata panen kecamatan, yakni 6,1 ton per hektar, dan kabupaten 6,2 ton per hektar.
Buta iklim
Aryono (45), petani asal Desa Bandunggede, Kedu, menuturkan, sebelumnya dirinya buta perihal suhu udara dan curah hujan yang ternyata memengaruhi produksi. Beberapa kali hasil garapannya di lahan seluas hampir 1 hektar tidak optimal.
”Jika semua lancar, bisa menghasilkan sekitar 6 ton gabah, tetapi beberapa kali, ternyata salah prediksi. Hanya menghasilkan 7 kuintal. Adanya ilmu baru, seperti membaca suhu dan curah hujan, ini mudah-mudahan membuat hasil panen meningkat,” ujar Aryono.
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA
Petani yang mengikuti Sekolah Lapang Iklim BMKG Stasiun Klimatologi Kelas I Semarang mengecek alat penakar hujan observasi di Desa Tegalsari, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Senin (8/7/2019). SLI diselenggarakan antara lain untuk meningkatkan pemahaman petani akan pengaruh iklim pada hasil produksi pertanian.
Petani lainnya, Yuli Aryani (36), asal Desa Kedu, mengatakan, selama ini dirinya hanya mengikuti perintah suaminya yang memperkirakan masa tanam berdasarkan kebiasaan. Ia baru tahu, suhu udara serta kelembaban memengaruhi datangnya hama.
Dihubungi terpisah, Kepala Seksi Kerja Sama dan Pelayanan Pengkajian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jateng R Heru Praptana menyebutkan, pihaknya terus mendorong penggunaan aplikasi Kalender Tanam Terpadu. Di dalamnya sudah ada basis data terkait agroekosistem di tingkat kecamatan.
”Lewat aplikasi itu, akan diketahui komoditas dan varietas apa yang cocok di satu kecamatan pada satu musim. Namun, terkadang ada daerah yang ternyata komoditas atau varietas yang direkomendasikan tak tersedia. Ini yang akan kami coba sinkronkan,” tutur Heru.