Memasuki pekan kedua Juli 2019, tiga perusahaan secara bersamaan mencatatkan saham di Bursa Efek Indonesia. Maraknya aksi pencatatan saham perdana tidak terlepas dari upaya otoritas bursa untuk mendorong korporasi mengakses pasar modal.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Memasuki pekan kedua Juli 2019, sebanyak tiga perusahaan secara bersamaan mencatatkan saham mereka di Bursa Efek Indonesia. Maraknya aksi pencatatan saham perdana tidak terlepas dari upaya otoritas bursa untuk mendorong korporasi mengakses pasar modal.
Ketiga perusahaan yang bersama-sama melakukan penawaran saham perdana (IPO) pada Senin (8/7/2019) itu adalah PT MNC Vision Networks Tbk, PT Envy Technologies Indonesia Tbk, dan PT Berkah Prima Perkasa Tbk.
MNC Vision Networks melempar saham ke publik sebanyak 3,52 miliar lembar saham atau 10 persen dari modal ditempatkan. Melalui IPO, emiten berkode IPTV ini menargetkan untuk memperoleh dana segar sebesar Rp 845 miliar.
Direktur Utama MNC Vision Networks Ade Tjendra mengatakan, dana itu akan digunakan untuk pengembangan usaha, produksi konten orisinal, dan modal kerja. Ia berharap, perusahaannya dapat menguasai pasar televisi berbayar di Indonesia.
”Lewat IPO kali ini, kami ingin meningkatkan layanan serta memperluas pangsa pasar. Layanan kami mencakup seluruh spektrum layanan televisi berbayar konvensional dan digital,” ujar Ade.
Sementara itu, Envy Technologies Indonesia melepas 600 juta saham ke publik atau setara 33,33 persen dari modal ditempatkan dan disetor perusahaan. Dalam masa penawaran umum, perusahaan menetapkan harga saham sebesar Rp 370 per saham sehingga emiten berkode ENVY ini mengantongi dana segar sebesar Rp 222 miliar.
Direktur Utama Envy Technologies Indonesia Mohamad Sopiyan menuturkan, dana hasil IPO akan dimanfaatkan untuk kegiatan usaha sistem integrasi informatika, sistem integrasi telekomunikasi, serta penelitian dan pengembangan usaha. Selain itu, sebagian dana tersebut akan digunakan juga untuk pembayaran utang.
Perusahaan teknologi informasi ini membidik penguatan posisi sebagai penyelenggara layanan jasa keamanan informasi digital. ”Caranya, melalui pengembangan eksponensial big data dan layanan digital sektor keuangan,” ucap Sopiyan.
Adapun Berkah Prima Perkasa menawarkan 168 juta saham dengan harga Rp 130 per saham. Dengan aksi korporasi di pasar modal, perusahaan dengan kode saham BLUE ini menargetkan mampu menggalang dana Rp 21,84 miliar.
Direktur Utama Berkah Prima Perkasa Herman Tansri mengatakan, pihaknya akan memakai dana hasil IPO untuk memperkuat permodalan guna mengembangkan lini bisnis baru. Ia berkomitmen terus menerapkan tata kelola perusahaan yang baik.
”Menjadi pertama dan satu-satunya perusahaan tinta yang tercatat di BEI (Bursa Efek Indonesia) menambah daftar panjang prestasi kami. Kepercayaan masyarakat pada kami akan menambah semangat untuk terus berinovasi,” lanjutnya.
Saat ini berkembang tren di kalangan perusahaan untuk berlomba menjadi perusahaan terbuka guna meningkatkan popularitas perusahaan dan kepercayaan diri pegawai.
Pengamat pasar modal Universitas Indonesia, Budi Frensidy, menilai, saat ini berkembang tren di kalangan perusahaan untuk berlomba menjadi perusahaan terbuka guna meningkatkan popularitas perusahaan dan kepercayaan diri pegawai.
Namun, sebagian besar emiten baru tahun ini adalah emiten dengan kapitalisasi pasar yang kecil dengan nilai penggalangan dana kurang dari Rp 500 miliar.
”Meski jumlah perusahaan IPO banyak, dari sisi kapitalisasi pasar harus lebih digenjot lagi. Korporasi big cap harus banyak juga yang bergabung (di pasar modal) agar bursa bisa menaikkan kapitalisasi pasar secara signifikan,” ujarnya.
Berdasarkan data BEI, kapitalisasi pasar BEI pada 5 Juli 2019 tercatat sebesar Rp 7.268,4 triliun.
Bergerak liar
Bergabungnya tiga perusahaan tersebut ke pasar modal awal pekan ini membuat jumlah emiten yang melakukan IPO sepanjang 2019 tercatat sebanyak 24 perusahaan. Otoritas bursa sendiri mematok target, tahun ini akan ada minimal 75 perusahaan tercatat di lantai bursa.
Sayangnya, kebanyakan saham emiten yang baru IPO bergerak liar sehingga berpotensi terkena penolakan otomatis (auto-rejection). Dalam aturan perdagangan bursa, sistem auto-rejection menetapkan batas maksimal naik dan turunnya harga saham yang baru diperdagangkan pada hari pertama.
Batasan atas sistem auto-rejection bergantung pada harga awal saham. Batasan kenaikan sebesar 70 persen diperuntukkan bagi saham dengan rentang harga Rp 50-Rp 200, kenaikan 50 persen untuk harga saham dengan rentang harga Rp 200-Rp 5.000, dan kenaikan 40 persen untuk saham dengan harga di atas Rp 5.000.
Terbaru, saham ENVY dan BLUE sempat terkena auto-reject. Beberapa saat setelah diperdagangkan, saham ENVY bergerak meningkat 50 persen dari harga penawaran Rp 370 per saham menjadi Rp 550 per saham. Adapun harga saham BLUE melonjak 69,23 persen dari harga penawaran Rp 130 per saham menjadi Rp 220 per saham.
Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI Laksono Widodo menilai, proses alokasi saham saat penawaran umum saham perdana di pasar modal dalam negeri belum rata. Kondisi ini menyebabkan harga saham terus naik tak terkontrol.
”Kita harus perbaiki dulu sistem distribusi yang lebih baik, salah satu caranya dengan mematangkan electronic book building,” katanya.
Electronic book building berbeda dengan sistem penjatahan yang biasa dilakukan di pasar saat ini. Saat penjatahan terpusat, investor ritel dipastikan akan memperoleh porsi yang pasti sehingga tidak seluruh saham IPO yang ditawarkan calon emiten terpusat bagi investor besar saja.
”Kalau dari simulasinya kita yakin, tapi kalau diterapinya bisa ada-ada saja itu yang perlu disesuaikan. Kalau ternyata hasilnya tidak sesuai dengan harapan, pasti akan kami kaji kembali,” ujar Laksono.