Baiq Nuril Akan Ajukan Amnesti dan Berharap Bisa Bertemu Presiden
Baiq Nuril Maknun, mantan tenaga honorer di SMA Negeri 7 Mataram yang menjadi korban pelecehan seksual asal Lombok, Nusa Tenggara Barat, Senin (8/7/2019) siang, akan ke Jakarta untuk mengajukan amnesti kepada Presiden Joko Widodo.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·5 menit baca
PRAYA, KOMPAS — Baiq Nuril Maknun, mantan tenaga honorer di SMA Negeri 7 Mataram yang menjadi korban pelecehan seksual, mengaku sangat kecewa dengan putusan Mahkamah Agung yang menolak permohonan peninjauan kembali perkaranya. Meski demikian, ia menyatakan akan terus mencari keadilan. Senin (8/7/2019) siang, ia akan ke Jakarta untuk mengajukan amnesti kepada Presiden Joko Widodo.
”Saya sudah membaca langsung putusan MA itu. Saya sangat kecewa. Alasan MA, karena saya memberikan rekaman HP kepada orang lain itu melanggar hak asasi manusia, sangat tidak masuk akal. Apakah mereka tidak berpikir kalau saya juga dilanggar hak asasinya,” tutur Nuril saat dihubungi dari Mataram, Minggu malam. Nuril saat ini sedang berada di rumahnya di Jonggat, Lombok Tengah.
”Sebagai orang yang tidak tahu hukum, tidak tahu apa-apa, saya berpikir kok bisa hanya memberikan rekaman HP melanggar hak asasi,” kata Nuril.
Meski demikian, menurut Nuril, dia menyatakan tidak akan menyerah. ”Saya tidak akan gentar. Tidak akan takut menghadapi putusan dari MA. Saya akan jalani prosedur hukum itu. Mungkin itu sebuah konsekuensi hukum di Indonesia,” ujar Nuril.
Nuril menambahkan, ia tetap akan berjuang karena ingin agar tidak ada korban seperti dirinya di kemudian hari. ”Saya tidak ingin ada korban atau perempuan lain seperti saya. Meneteskan air mata seperti saya dan anak saya. Biarlah saya yang merasakan pahitnya menjadi tersangka, terdakwa, bahkan terpidana,” kata Nuril.
Nuril menambahkan, setelah putusan MA, dia membuat surat terbuka kepada Presiden. Surat itu berisi permohonan amnesti. Presiden sendiri dalam kunjungan kerja ke Manado menyatakan, dia tidak bisa mengomentari putusan MA karena hal itu domain yudikatif. Akan tetapi, Presiden mempersilakan Nuril untuk mengajukan amnesti (peniadaan hukuman) kepadanya.
”Nanti kalau masuk ke saya, jadi kewenangan saya,” kata Presiden, Jumat (5/7/2019).
Terkait saran Presiden itu, Nuril mengatakan akan mengajukannya. Senin (7/6/2019) siang, sekitar pukul 13.00, ia bersama kuasa hukumnya akan ke Jakarta untuk mengajukan amnesti.
”Saya sangat senang dengan itu (saran Presiden). Saya akan mengajukannya karena itu jalan terakhir yang bisa saya tempuh. Saya siap lahir batin. Saya juga sangat ingin bertemu Presiden Joko Widodo dan bisa berbicara langsung dengan beliau,” kata Nuril.
Kuasa Hukum Baiq Nuril, Joko Jumadi, membenarkan hal itu. ”Rencana besok siang kami akan ke Jakarta. Pertama, bertemu dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) untuk mendiskusikan opsi dan langkah apa saja yang harus kami lakukan untuk mendapatkan amnesti tersebut,” kata Joko.
Menurut Joko, diskusi dengan Menkumham juga untuk menjajaki apakah ada kemungkinan bisa bertemu dengan Presiden. ”Amnesti jalan satu-satunya yang bisa kami pakai. Apalagi setelah putusan MA, Nuril selain kaget juga kecewa. Bagaimanapun kuatnya orang pasti kecewa dengan putusan itu. Namun, lama- kelamaan dia bisa menerima meskipun itu bukan berarti dia menyerah dan pasrah untuk dipidana,” tutur Joko.
Joko juga menyambut positif saran Presiden. Ia menyatakan akan menerima itu. ”Kami akan melakukan apa yang dikehendaki oleh Presiden,” kata Joko.
Terima kasih
Nuril menambahkan, ia terus bersemangat untuk memperjuangkan keadilan karena dukungan yang terus datang dari berbagai pihak. Tidak hanya keluarga, tetapi juga orang-orang yang peduli terhadap dirinya.
”Sampai saat ini, saya masih tidak percaya karena begitu banyak dukungan. Baik dari pribadi, organisasi, berbagai pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu, bahkan tidak saya kenal,” kata Nuril.
Menurut Nuril, dukungan yang terus datang itu membuatnya terus berdiri. ”Memang ada sejumlah orang yang mengkritik saya. Namun, lebih banyak yang mendukung saya. Itu membuat saya semangat lagi,” kata Nuril.
Dukungan itu yang membuatnya juga berani menulis surat terbuka beberapa hari lalu. ”Menulis surat yang bisa saya lakukan saat itu. Saya saat itu seperti kehilangan arah,” kata Nuril.
Nuril mengaku saat ini sehat. ”Tetapi, dalam kondisi seperti saat ini, tentu tidak bisa benar-benar seperti normal. Pasti terus terpikir. Tapi, saya tidak ingin jatuh, harus terus bangkit. Menjadi orang terdepan yang semangat sehingga orang-orang di dekat saya dan yang mendukung saya juga tidak ikut jatuh,” tutur Nuril.
Pelecehan seksual
Kasus yang menimpa mantan tenaga honorer di SMA Negeri 7 Mataram, NTB, itu berawal pada 2014 ketika dia dilaporkan M, kepala sekolah di tempatnya bekerja, dengan tuduhan pencemaran nama baik, (Kompas, 6/7/2019).
Nuril merekam pembicaraan telepon dengan M karena merasa dilecehkan. Sebab, M menceritakan hubungan asmaranya dengan seorang wanita lain yang mengarah ke pornografi. Rekaman itu belakangan disebarluaskan rekan Nuril dan berujung pada laporan M ke Polres Mataram pada awal 2017.
Nuril pun didakwa dengan UU ITE karena mendistribusikan/ mentransmisikan/membuat dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan. Nuril ditahan dua bulan, kemudian dituntut enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta oleh jaksa penuntut umum. Majelis hakim Pengadilan Negeri Mataram menjatuhkan vonis bebas kepada Nuril.
Jaksa penuntut umum mengajukan kasasi. Pada 26 September 2018, MA menjatuhkan vonis kepada Nuril enam bulan penjara serta denda Rp 500 juta sumsider 3 bulan penjara. Nuril kemudian menggunakan upaya hukum terakhir dengan mengajukan PK ke MA.
Namun, Jumat (5/7/2019), MA melalui juru bicaranya menyatakan bahwa perkara PK dengan Pemohon Baiq Nuril Maknun ditolak. Ini berarti MA menguatkan putusan pemidanaan yang dijatuhkan kepada Nuril.