Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menyiapkan kader muda terbaiknya untuk mengisi pos-pos di kementerian. Langkah ini adalah respons terhadap presiden terpilih Joko Widodo yang menginginkan anak muda kreatif dalam Kabinet Kerja Jilid II.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, menyiapkan kader muda terbaiknya untuk mengisi pos-pos di kementerian. Langkah ini adalah respons terhadap presiden terpilih Joko Widodo yang menginginkan anak muda kreatif, inovatif, dan mampu membuat kebijakan sesuai perubahan dunia dalam susunan Kabinet Kerja Jilid II.
Presiden dan wakil presiden terpilih periode 2019-2024 Joko Widodo dan Ma’ruf Amin akan membahas jumlah dan pengisian menteri pertengahan Juli ini. Untuk menggerakkan ekonomi dengan cara inovatif dan kreatif, Presiden siap memilih orang-orang muda untuk kabinet. Namun, pengalaman dan kepemimpinan orang-orang muda tetap menjadi pertimbangan utama (Kompas, 5/7/2019).
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) A Helmy Faishal Zaini, Sabtu (6/7/2019), saat dihubungi dari Jakarta, menyatakan kesiapan NU untuk membangun bangsa. Banyak kader ahli dan profesional yang mumpuni, tak terkecuali kader-kader NU berusia muda, yang jumlahnya banyak dan sudah teruji kualitasnya.
Pada prinsipnya, kata Helmy, NU memiliki dua peran dan amanat, yaitu amanat keagamaan (diniyyah) dan amanat kebangsaan (wathoniyyah). NU siap bahu-membahu membangun bangsa. Dalam konteks pemerintahan, prinsip itu selama ini telah dijalankan dengan mewakafkan kader-kader terbaik untuk bertugas di pemerintahan.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti, saat ditemui, Jumat (5/7/2019), di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, menyebutkan akan menyiapkan kader berusia muda yang sesuai dengan keinginan Presiden. Dia berpendapat, akomodasi tentu akan menjadi pertimbangan presiden terpilih dalam menyusun kabinet periode kedua ini.
Ada individu dan kelompok yang sudah ”berkeringat” dalam pemilihan presiden pada April lalu. ”Wajar saja akomodasi jadi pertimbangan dalam sistem presidensial. Tetapi akomodasi tetap harus mempertimbangkan kompetensi dan meritokrasi,” ujarnya.
Dalam hal ini, ujar Mu’ti, Muhammadiyah lebih bersifat pasif. Artinya, mereka menunggu kabar dari Presiden. Setelah itu, penunjukan kader Muhammadiyah akan menjadi hak penuh Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. Haedar, lanjutnya, akan tetap berpijak pada nilai-nilai yang dijunjung tinggi Muhammadiyah dalam membangun bangsa.
Tua atau muda sama saja
Pengamat politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, tidak menilai kriteria menteri berdasarkan usia. Menurut dia, unsur kebaruan dan kesegaran gagasan bisa datang dari semua usia.
Yang penting, katanya, menteri tersebut harus memiliki pengalaman di bidangnya. Terlalu berisiko memberikan kursi menteri kepada mereka yang masih ”hijau”. Selain itu, integritas semestinya juga menjadi pertimbangan Presiden dalam memilih menteri. ”Mengingat adanya sejumlah menteri sekarang yang berurusan dengan hukum,” ucapnya.
Terkait pelibatan NU dan Muhammadiyah dalam susunan kabinet, Arya mendukung hal itu. Kedua organisasi masyarakat itu, katanya, sudah membuktikan kepada publik ihwal komitmennya terhadap bangsa.
”Ini tentu sesuatu yang bisa diterima. Sebab, bagaimanapun, pemerintah butuh dukungan dari organisasi masyarakat yang kuat,” katanya. Dengan catatan, menteri yang berasal dari kedua organisasi masyarakat itu juga dipilih secara profesional.