Duru (19), gadis Korea Selatan asal Cangwan, Gyeongsangnam-Do, menambatkan hatinya pada kesenian tradisional Indonesia. Dia berulang kali datang ke Magelang, Jawa Tengah, demi menyaksikan penampilan-penampilan kesenian tradisional.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·5 menit baca
Di kalangan muda Indonesia, segala sesuatu tentang Korea memang tengah menjadi idola. Banyak orang muda memuja personel boyband atau girlband asal Negeri Ginseng itu. Sebagian lagi, terutama ibu-ibu, hanyut dalam pusaran cerita film dramanya. Namun, seorang warga Korea justru jatuh cinta pada kesenian tradisional Indonesia.
Adalah Duru (19), gadis Korea Selatan asal Cangwan, Gyeongsangnam-Do, yang menambatkan hatinya pada kesenian tradisional Indonesia. Siang itu, Jumat (5/7/2019), Duru (yang enggan memakai nama keluarganya) terlihat terkesima dengan tarian Rukmakala Wanara yang ditampilkan pada Festival Lima Gunung (FLG) XVIII.
Tarian itu dibawakan oleh Sanggar Dadap dari Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. FLG XVIII digelar di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang.
Menarik. Di Korea tidak ada kesenian seperti ini.
Ekspresi yang sama juga ditunjukkannya saat panggung berganti penampil dengan tarian Arga Yudha dari kelompok kesenian Kecamatan Candimulyo. Sebelumnya, di hari lain, dia pun mengaku terpesona dengan kesenian Topeng Ireng.
“Menarik. Di Korea tidak ada kesenian seperti ini,” ujarnya, saat ditanya pendapatnya soal penampilan dari para seniman Komunitas Lima Gunung tersebut. Ini adalah kali ketiga Duru datang jauh-jauh dari Korea untuk menonton atraksi kesenian di Kabupaten Magelang.
Riyadi, seniman anggota Komunitas Lima Gunung, mengatakan, Duru pertama kali datang tahun 2015 bersama rombongan teman sekolah dan sejumlah guru ke tempat tinggalnya di Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis.
Kunjungan tersebut adalah bagian program pembelajaran di negara lain di SMA tempat Duru sekolah. Dusun Gejayan dipilih karena seorang guru warga Indonesia yang tinggal di Korea ketika itu merekomendasikan dusun tersebut sebagai dusun yang kaya dengan kesenian sehingga menarik untuk dikunjungi.
Tinggal di dusun tersebut selama dua bulan, sembilan siswa dalam rombongan tersebut begitu menikmati kehidupan dan kesenian di dusun. Empat orang di antaranya, termasuk Duru, bahkan ikut berlatih dan tampil menarikan tari Soreng.
Melekat
Kenangan dan pesona kesenian itu begitu melekat dalam benak Duru. Selang dua tahun kemudian, Duru yang baru saja lulus SMA memutuskan untuk mengulang kunjungannya ke Dusun Gejayan. Dalam kunjungan kedua tersebut, dia tinggal selama 50 hari di rumah Riyadi.
Tidak sekadar menjalin pertemanan di dunia nyata, Duru juga menjalin pertemanan dengan para seniman anggota Komunitas Lima Gunung di dunia maya. Dari relasi itulah, dia pun tahu tentang agenda-agenda kesenian di Kabupaten Magelang.
Awal 2019, dia mengetahui FLG XVIII akan diselenggarakan pada 5-7 Juli. Karena ingin menonton, Duru pun langsung mempersiapkan diri menabung sebagai bekal perjalanannya ke Indonesia.
Duru tidak melanjutkan kuliah dan memilih langsung bekerja. Pekerjaan yang dilakukannya antara lain menjadi guru melukis dengan sistem kontrak, melukis, menjual lukisan, hingga membuat poster atau kartu nama sesuai pesanan.
Setelah melakukan semua pekerjaan itu selama empat bulan, Duru mampu mengumpulkan sedikitnya 400.000 won atau senilai hampir Rp 5 juta. Dia pun segera memesan tiket dan “terbang” demi FLG.
Saking cintanya pada kesenian khas Magelang tersebut, Duru tidak puas menjadi penonton yang datang hanya pada hari pelaksanaan festival saja. Dia sudah hadir dan tinggal di rumah Riyadi 20 hari sebelum FLG dimulai. “Saya ingin melihat persiapannya,” ujarnya.
Oleh Riyadi, Duru pun diajak melihat latihan kesenian dari berbagai grup kesenian dari banyak tempat berbeda. Dia pun cermat mengamati setiap gerakan, memotret, kemudian “mendokumentasikannya” dalam ragam seni yang paling dia sukai, yakni lukisan.
Kesenian menjadi bagian dari refreshing, menghilangkan penat.
Selama 20 hari tersebut, dia sudah memotret puluhan kali dan membuat sembilan karya lukisan. Sebagian di antaranya bahkan ikut dipajang bersama foto dan berbagai ragam karya seni rupa di FLG.
Pelepas penat
Duru memang senang berkunjung ke Indonesia dan melihat berbagai ragam kesenian di berbagai daerah. Karena sudah melakukannya beberapa kali, acara kunjungan ini menjadi kebiasaan yang akhirnya sulit ditinggalkan.
“Saat bosan dengan segala sesuatu di Korea, saat itulah saya merasa harus datang ke Indonesia, terutama ke Dusun Gejayan. Kesenian menjadi bagian dari refreshing, menghilangkan penat,” ujarnya.
Kebiasaan menyaksikan kesenian tersebut pada akhirnya membuat Duru merasa tidak cukup hanya menjadi penonton. Dia pun suka untuk terlibat menjadi penampil. Riyadi mengatakan, Duru biasanya gampang untuk diminta terlibat dalam kesenian apa pun. “Diminta menari apa pun, dia pasti mau,” ujarnya.
Secara pribadi, Duru menyukai tari Soreng, tarian pertama yang ditarikannya. Dia suka menari berikut kostum dan riasan wajahnya saat itu. “Kata ibu saya, wajah saya jadi aneh. Tapi, saya suka,” ujarnya.
Duru hanyalah satu dari sekian banyak warga asing yang antusias melihat dan belajar kesenian khas Kabupaten Magelang. Sitras Anjilin, pimpinan Padepokan Tjipta Boedaja di Dusun Tutup Ngisor, mengatakan, setiap tahun selama 10 tahun terakhir, Padepokan Tjipta Boedaja selalu dikunjungi warga asing yang ingin belajar tari. Mereka berdatangan dari berbagai negara, antara lain Jepang, Inggris, Rusia, dan Jerman.
Kebanyakan dari mereka berasal dari berbagai perguruan tinggi yang ingin belajar sekaligus melakukan penelitian. Melalui perantaraan merekalah, nama Padepokan Tjipta Boedaja muncul di jurnal-jurnal ilmiah perguruan tinggi.
Menari adalah bagian dari upaya menghilangkan kepenatan dan cara untuk mencapai kesehatan jiwa raga.
Namun, di luar itu, sebagian di antaranya juga ada yang datang hanya dengan didasari keinginan untuk belajar tentang berbagai macam tari. Hal ini antara lain dilakukan oleh dua warga Inggris yang datang beberapa tahun lalu.
“Mereka menganggap tari adalah seperti olahraga yoga. Menari adalah bagian dari upaya menghilangkan kepenatan dan cara untuk mencapai kesehatan jiwa raga,” ujar Sitras.
Minat warga asing yang cukup tinggi untuk belajar kesenian, menurut dia, dimungkinkan karena negara mereka tidak memiliki kesenian tradisional. Namun, karena lama tinggal mereka kurang dari sebulan, Sitras pun tidak memaksakan diri untuk mengajarkan murni kesenian tradisional, melainkan memilih untuk mengajarkan tari-tari kontemporer.
“Tidak mungkin mengajarkan yang murni tradisional karena pembelajaran kesenian tradisional membutuhkan waktu bertahun-tahun,” ujarnya.
Namun, semua kunjungan tersebut, menurut Sitras, membuktikan bahwa kesenian Indonesia menarik untuk dipelajari dan dicintai. Rasa cinta terhadap apa pun, termasuk budaya, memang bisa mendorong siapa pun untuk melakukan apa saja, termasuk melintasi benua dan negara.