Timnas Peru melanjutkan kejutannya di Copa America 2019 dengan menyingkirkan Chile di semifinal, Kamis pagi. Revolusi mental menjadi kunci “Los Incas” meraih final pertamanya dalam 44 tahun.
PORTO ALEGRE, RABU – Pele, legenda sepak bola Brasil, pernah berkata, kesuksesan tidak ditentukan dari banyaknya kemenangan, melainkan cara menyikapi sebuah kekalahan. Filosofi itu dipraktikkan Peru, tim yang sempat dipandang sebelah mata, dengan menyingkirkan juara bertahan Chile 3-0 di semifinal Copa America 2019, Kamis (4/7/2019) pagi WIB.
Kami adalah tim yang mampu mengatasi kesengsaraan
Peru sempat menjadi bahan olok-olok pers dan publik mereka sendiri ketika dihajar tuan rumah Brasil 0-5 di penyisihan grup, pekan lalu. Alih-alih terpuruk, kekalahan telak dari tuan rumah Copa America 2019 itu, justru melecut motivasi dan menjadi titik balik Peru—tim yang kali terakhir meraih final Copa America pada 1975. Sejak kekalahan dari Brasil yang juga lolos ke final itu, Peru menjadi tim yang berbeda.
”Kekalahan itu (dari Brasil) bisa melukai tim mana pun. Namun, kami mampu pulih dari itu. Kami adalah tim yang mampu mengatasi kesengsaraan. Itu adalah sesuatu hal yang sangat unik dari tim ini,” ujar Ricardo Gareca, pelatih timnas Peru, seusai laga kontra Chile.
Hingga laga penuh petaka itu, Peru kerap merasa inferior, khususnya saat menghadapi tim-tim besar. Mereka dihancurkan Kolombia 0-3 di laga uji coba dan tidak mampu mencetak gol saat menghadapi Venezuela di awal penyisihan grup A Copa America 2019. Satu-satunya kemenangan Peru di penyisihan grup itu diperoleh dari Bolivia, tim paling lemah di Amerika Selatan.
Setelah masa-masa sulit, kami ini mencapai final
Los Incas mengubah mentalitasnya, yaitu membuang jauh-jauh ketidakpercayaan diri. Itu dilakukan ketika peru menghadapi Chile di Porto Alegre. Chile, yang berpengalaman menembus final dan menguasai dua edisi Copa America sebelumnya, masuk ke dalam perangkap Peru. Skuad ”La Roja”, julukan timnas Chile, mengira lawannya itu bakal tampil pasif, lembek, dan menumpuk para pemainnya di kotak penalti sendiri.
Tak ayal, Chile memulai laga itu dengan ”setengah hati”, terkesan menyepelekan Peru. Mentalitas itu berujung pada banyaknya serangan dan peluang yang mereka buang. Sebaliknya, Peru bermain dengan sangat fokus, intens, dan agresif, terutama saat kehilangan bola.
Mereka memaksimalkan kecepatan transisi yang antara lain berbuah gol keduanya yang turut memanfaatkan kenekatan kiper Chile, Gabriel Arias, keluar kotak penalti.
”Kami mencoba bekerja lebih keras di laga-laga di mana kami tidak pernah menjadi favorit. Itu membuat kami lebih kuat. Setelah masa-masa sulit, kami kini mencapai final. Kami sungguh sangat senang,” ujar Victor Yotun, gelandang pencetak gol kedua Peru.
Sebelumnya, di perempat final, mereka juga menang lewat adu penalti atas tim favorit Uruguay. Di final, yaitu saat melawan kembali Brasil pada Senin (8/7) dini hari WIB mendatang, Yotun kembali menjanjikan wajah berbeda timnya. Peru bukan lagi tim yang sama seperti saat digilas 0-5 Brasil.
Rekor sempurna
Peru tidak puas dengan hanya menembus final, meskipun itu terbilang sebuah prestasi bagi mereka. Sepanjang sejarah, Peru hanya pernah dua kali menembus final turnamen itu, yaitu pada 1939 dan 1975. Menariknya, mereka selalu menang di kedua final itu. Peru adalah satu-satunya tim yang memiliki rekor seratus persen kemenangan alias tidak pernah kalah di final Copa America.
Di laga semifinal kemarin, Los Incas juga menorehkan rekor seratus persen lainnya, yaitu mengonversikan tiga tembakkan ke gawang menjadi tiga gol. Tidak ada tim lainnya di edisi ini yang menyamai catatan itu. ”Kami telah ke final. Laga ini akan berbeda dari sebelumnya (kontra Brasil). Kami harus memenanginya,” ujar Yotun.
Akhir generasi emas
Di kubu sebaliknya, kekalahan itu tampaknya bakal mengakhiri era generasi emas La Roja, tim yang memenangi Copa America 2015 dan Centenario 2016. Tim itu butuh penyegaran mengingat mulai menuanya mayoritas pemain. Delapan dari 11 pemain mula di tim itu telah berusia di atas 29 tahun. Mereka pun kedodoran menangkal serangan Peru.
Kami membiarkan Peru mengejutkan kami
Meskipun demikian, Pelatih Chile Reinaldo Rueda justru menunjuk aspek mentalitas sebagai biang kekalahan timnya. ”Pikiran kami telah di final saat memulai laga itu. Kami membiarkan Peru mengejutkan kami sendiri. Kami tidak memperlihatkan sikap mental dan agresivitas seperti di laga-laga sebelumnya,” ujarnya.
Hasil laga di Porto Alegre itu menciptakan duel ”reuni” Chile dan Argentina di laga perebutan tempat ketiga. Keduanya selalu bertemu di final Copa America 2015 dan 2016. Saat itu, Chile selalu menjadi juara, yaitu melalui adu penalti. Drama serupa bisa saja kembali terjadi. (AP/Reuters)