Penyadapan KPK Tak Perlu Izin
JAKARTA, KOMPAS – Dewan Perwakilan Rakyat merampungkan penyusunan draf Rancangan Undang-Undang tentang Penyadapan untuk mulai dibahas di sisa waktu masa jabatan pada periode ini. Dalam draf RUU terbaru, Komisi Pemberantasan Korupsi disepakati dikecualikan dari keharusan mendapat izin dari ketua pengadilan sebelum melakukan penyadapan.
Pengecualian terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi itu dicantumkan dalam Pasal 6 draf Rancangan Undang-Undang Penyadapan yang disusun oleh Badan Legislasi DPR. Dalam draf diatur, ketentuan pelaksanaan penyadapan dikecualikan untuk pelaksanaan penyadapan terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK.
Ketua Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (4/7/2019) mengatakan, dengan pengecualian itu, KPK tidak membutuhkan izin dari ketua pengadilan negeri sebelum melakukan penyadapan dalam penanganan tindak pidana korupsi.
Hal itu sesuai dengan masukan dan keinginan dari KPK serta sejumlah pemerhati antikorupsi, agar proses pemberantasan korupsi tidak terganggu dengan tahapan prosedural pengajuan izin.
Saat ini, sudah ada undang-undang sektoral seperti Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur wewenang penyadapan KPK. Peraturan dalam UU itu diupayakan tidak sampai bertentangan dengan aturan di RUU Penyadapan.
Supratman mengatakan, meskipun draf mengecualikan KPK dari pengaturan RUU Penyadapan, tetapi substansi tersebut masih bisa berubah saat dibahas oleh DPR dan Pemerintah. Ia mengatakan, saat ini, masih ada perdebatan di internal panja penyusunan RUU Penyadapan terkait pengecualian aturan untuk KPK itu.
“Draf RUU hasil konsultasi kami dengan berbagai pihak, termasuk KPK, seperti itu. Tetapi itu masih draf, soal keputusan politik nanti akan seperti apa, itu akan dibicarakan, tergantung bagaimana sikap fraksi-fraksi nanti,” kata Supratman.
Sementara itu, penyadapan untuk tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan Agung, tetap harus melalui izin ketua pengadilan negeri. Pasal 7 draf RUU mengatur, penyadapan oleh lembaga penegak hukum baru dapat dilakukan setelah ada penetapan izin dari ketua pengadilan negeri, melalui koordinasi dengan kepala kejaksaan setempat.
Permohonan pelaksanaan penyadapan diajukan pertama-tama oleh pejabat lembaga penegak hukum ke kepala kejaksaan. Selanjutnya, kepala kejaksaan mengajukan permohonan ke ketua pengadilan negeri dalam waktu paling lama 1x24 jam. Dalam tenggat paling lama 3x24 jam, ketua pengadilan negeri memutuskan menyetujui atau menolak permohonan penyadapan itu.
Dalam mengajukan permohonan penyadapan, pejabat lembaga penegak hukum melampirkan berkas yang meliputi identifikasi sasaran yang hendak disadap, pasal tindak pidana yang disangkakan, tujuan dan alasan penyadapan, substansi informasi yang dicari, dan jangka waktu penyadapan. Adapun penyadapan hanya boleh dilakukan pada tahap penyidikan dan pelaksanaan putusan pengadilan.
Ada beberapa jenis tindak pidana yang ikut diatur dalam RUU Penyadapan itu, termasuk kejahatan luar biasa seperti korupsi yang ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan, narkotika, serta terorisme.
Sebagai mitra kerja KPK, sejumlah anggota Komisi III beranggapan, seharusnya KPK tidak dikecualikan dari ketentuan di RUU Penyadapan. Menurut Taufiqulhadi dari Fraksi Partai Nasdem, hak warga negara harus dilindungi. Sehingga, setiap pihak yang berwenang melakukan penyadapan, termasuk KPK, perlu diatur dalam melakukan penyadapan.
Senada, Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Gerindra Desmond J Mahesa mengatakan, RUU Penyadapan hanya mengatur mekanisme perizinan, bukan larangan untuk menyadap.
“Harus ada proses perizinannya, seharusnya penerapannya saling berkaitan antara beberapa lembaga penegak hukum ini. Hukumnya, kan sama, hukum pidana. Praktiknya juga hukum acara pidana. Masa KPK mau pakai hukum acara sendiri?” katanya.
Pengawasan
RUU Penyadapan juga akan mengatur mengenai mekanisme pengawasan untuk praktik penyadapan oleh lembaga penegak hukum. Ke depan, proses penyadapan akan diawasi melalui mekanisme audit eksternal yang dilaporkan secara rutin ke Presiden dan DPR RI.
Mekanisme itu diatur dalam Pasal 23 draf RUU Penyadapan, yang menyebut bahwa pengawasan dilakukan secara internal oleh lembaga penegak hukum yang bersangkutan serta secara eksternal. Setiap lembaga penegak hukum yang berhak melakukan penyadapan akan diawasi, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi.
Secara eksternal, kementerian atau lembaga yang berwenang melakukan penyadapan diharuskan membentuk tim audit yang beranggotakan perwakilan dari kementerian atau lembaga tersebut, penyelenggara sistem elektronik, serta Mahkamah Agung RI.
Tim audit bertugas memeriksa pelaksanaan prosedur standar penyadapan oleh aparat, memeriksa kepatuhan penyelenggara sistem elektronik tertentu, serta melakukan tugas lain sesuai penugasan dari pimpinan instansi penegak hukum. Tugas lain yang dimaksud tidak diatur secara detail dalam draf.
Tim audit kemudian melaporkan pelaksanaan tugas pengawasan itu kepada pimpinan lembaga yang melakukan penyadapan, jaksa agung, dan ketua MA. Laporan pengawasan dilakukan secara berkala sebanyak dua kali dalam satu tahun. Sementara, secara berkala yaitu satu kali dalam setahun, pimpinan lembaga yang melakukan penyadapan melaporkan hasil pengawasannya ke presiden dan DPR.
Ke depan, praktik penyadapan tidak bisa dilakukan secara sembarangan oleh siapapun. Penyadapan hanya boleh dilakukan untuk tujuan penegakan hukum pidana.
Supratman mengatakan, ke depan, praktik penyadapan tidak bisa dilakukan secara sembarangan oleh siapapun. Penyadapan hanya boleh dilakukan untuk tujuan penegakan hukum pidana. Saat ini, ujarnya, penyadapan pada prinsipnya dapat dilakukan oleh siapa saja, baik perusahaan maupun perorangan, karena pembelian atau peminjaman alat sadap lebih leluasa diakses.
“Kalau ada hasil sadap yang tidak berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan, itu tidak boleh dipublikasikan, misalnya untuk hal-hal yang bersifat personal. Jadi, penyadapan betul-betul dilakukan dalam rangka penegakan hukum,” kata Supratman.