Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi 2019 diharapkan menjadikan jabatan komisioner sebagai terminal terakhir karier. Mereka harus fokus memperkuat lembaga antirasuah itu dan tidak menjadikannya sebagai batu loncatan.
Oleh
Insan Alfajri
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keikutsertaan pejabat Kepolisian Negara RI dan Kejaksaan Agung sebagai calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi sorotan publik. Tensi konflik kepentingan di lembaga antirasuah itu dinilai akan lebih tinggi.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi yang digelar Indonesia Corruption Watch di Jakarta, Jumat (5/7/2019). Diskusi dihadiri peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsuddin Haris; Wakil Koordinator ICW Agus Sunaryanto; dan komisioner Komisi Aparatur Sipil Negara Waluyo.
Pada Kamis, 4 Juli, pendaftaran calon pimpinan KPK telah ditutup. Ada sembilan perwira tinggi Polri yang mendaftar, tetapi akhirnya hanya delapan orang yang melengkapi proses pendaftaran. Adapun dari Kejagung ada lima jaksa yang mendaftar sebagai capim KPK.
Syamsuddin menilai, Polri terkesan begitu sibuk dalam proses seleksi kali ini. Semoga hal itu tidak menjadi sinyalemen skenario penjinakan KPK. Pendapat itu didasarkan pada hubungan di antara kedua lembaga yang memang penuh dinamika selama ini.
Jika hal itu yang terjadi, lanjutnya, amanat reformasi yang memandatkan pemberantasan korupsi tidak akan berjalan efektif. ”Sebab, masalah bangsa kita adalah korupsi yang terjadi di semua level,” katanya.
Agus Sunaryanto mengapresiasi usaha Pansel Capim KPK yang berusaha jemput bola. Meskipun demikian, ia menilai, pansel terkesan mengistimewakan institusi Polri dan Kejagung.
”Penjatahan bukan wacana baru (dalam seleksi KPK). Setiap proses, selalu muncul pandangan bahwa harus ada unsur pimpinan dari Polri dan jaksa,” katanya.
Dihubungi terpisah, anggota Pansel KPK, Hendardi, menyatakan, kekhawatiran dari pembicara diskusi di ICW tidak memiliki indikator yang jelas. Sebab, ucapnya, Pansel KPK membuka ruang bagi putra-putri terbaik bangsa dari institusi apa pun untuk ikut mendaftar.
Mengenai keikutsertaan pejabat Polri dan Kejagung dalam proses seleksi, ia menilai, hal itu bukanlah hal baru dalam struktur di KPK. Sebab, faktanya, pegawai kedua institusi itu turut mengisi beberapa level struktural di KPK. Bahkan, lanjutnya, KPK pada tahun 2003 pernah dipimpin unsur Polri, yaitu Taufiequrachman Ruki.
Terminal terakhir
Waluyo menambahkan, pimpinan KPK hendaknya menjadi terminal terakhir bagi calon yang berkompetisi. Mereka harus fokus memperkuat lembaga antirasuah itu dan tidak menjadikannya sebagai batu loncatan. Pemimpin KPK masa depan memerlukan soft skills yang memastikan dia bisa independen dalam mengambil keputusan.
Independensi, kata Waluyo, antara lain bisa muncul ketika calon pemimpin KPK memandang jabatan itu sebagai terminal akhir. ”Kalau menjadi pemimpin KPK hanya sebagai batu loncatan, ini yang berbahaya,” ujarnya.