Naik Bingung, Turun Limbung
Persoalan garam rakyat merupakan masalah laten tak tertuntaskan sejak puluhan tahun lalu. Masalah itu sudah ada sejak periode Orde Baru hingga Kabinet Kerja. Tali-temali persoalan garam rakyat tak pernah terselesaikan secara komprehensif dan tuntas.
Persoalan garam rakyat merupakan masalah laten tak tertuntaskan sejak puluhan tahun lalu. Masalah itu sudah ada sejak periode Orde Baru hingga Kabinet Kerja. Tali-temali persoalan garam rakyat tak pernah terselesaikan secara komprehensif dan tuntas.
Naifnya, semua persoalan itu akhirnya menjadi beban petani garam, baik saat harga garam tinggi maupun anjlok. Lihat saja fakta yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, sekadar untuk mengingat betapa keuntungan itu tak pernah dinikmati petani garam rakyat tradisional.
Masih ingat pada tahun 2016, ketika Indonesia memasuki musim kemarau basah (La Nina). Pada saat itu, curah hujan di Indonesia sangat tinggi sehingga nyaris terjadi hujan setiap pekan sepanjang tahun 2016.
Kondisi itu mengakibatkan petani atau petambak garam rakyat tradisional di seluruh Indonesia tidak dapat memproduksi garam secara maksimal. Panen garam yang anjlok menyebabkan terjadi gap tajam antara produksi dan kebutuhan sehingga memicu kenaikan harga jual. Bahkan, sepanjang tahun 2017, harga garam memasuki masa emas, yakni mencapai lebih dari Rp 2.000 per kilogram.
Sayangnya, masa emas itu tidak dapat dinikmati oleh petani garam. Rupiah yang mereka raup dari panen tidak setinggi harga jual garam tersebut karena produksi petani total sepanjang tahun itu hanya setara dengan sekitar seperempat lahan dari total areal lahan yang mereka.
Baca juga: Gudang Garam Nasional Belum Berfungsi
Sepanjang tahun 2016, petani garam harus berkejaran dengan hujan untuk mengejar panen. Bahkan, mereka harus panen lebih cepat sekitar dua hari dari ketentuan panen ideal minimal tujuh hari dari masa tanam. Panen yang terlalu cepat mengakibatkan produksi garam tidak optimal dengan tingkat kebersihan tak maksimal.
Hal ini membuat harga garam tidak bisa dijual pada harga terbaik sekitar Rp 2.000 per kg. Peluang emas lonjakan harga garam akhirnya hanya dinikmati oleh para pedagang besar. Ironisnya, mereka yang selama ini menjadi mitra importir dari lisensi BUMN PT Garam sebagai importir produsen untuk garam industri ataupun rumah tangga.
Mereka dengan leluasa bersama koleganya, jika tidak ingin disebut kartel, menjaga harga pada saat itu agar tetap tinggi. Pada akhirnya, keuntungan kembali diraup oleh para pedagang besar, sedangkan kenaikan harga menjadi beban rakyat.
Cerita getir
Memasuki pertengahan tahun 2019 kembali terdengar cerita getir petani garam rakyat. Harapan petani atau petambak garam mendapatkan harga jual seperti tahun 2018 di kisaran Rp 1.000-Rp 800 per kg ternyata hanya mimpi.
Harga garam rakyat jatuh akibat produksi tahun 2018 sekitar 500.000 ton belum terserap pasar. Stok yang menumpuk memperbesar stok tahun 2019 dari hasil panen sejak Juni lalu. Besarnya stok dari kebutuhan membuat harga garam turun hingga Rp 300 per kg.
Simak cerita petani atau petambak garam rakyat tradisional di Cirebon ketika mereka ditemui. ”Empat hari lalu, harga garam di tingkat petani masih Rp 500 per kg, sekarang sudah Rp 300 per kg. Padahal, ini baru awal panen,” ujar Jafar (40), petani garam asal Losari, Rabu (3/7/2019), di Cirebon.
Padahal, ketika awal panen garam pertengahan tahun 2018, harga garam di tingkat petani lebih dari Rp 1.000 per kg. Harga turun pada awal tahun 2019 menjadi Rp 800 per kg. Wajar saat ini Jafar khawatir jika harga jual terus turun menjelang musim panen. Kondisi membuat beberapa petani menelantarkan lahannya. Mereka khawatir saat panen akan merugi karena tren harga terus turun.
Baca juga: Harga Garam Petani Bisa Terus Turun
Hal itu dipertegas data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon. Instansi tersebut mencatat, hingga Juni 2019 masih ada 35.666 ton garam petani produksi 2018 menumpuk di gudang. Tahun lalu, produksi garam di Cirebon mencapai 424.617 ton. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2018 sebanyak 350.000 ton.
Menurut Ketua Asosiasi Petani Garam Seluruh Indonesia Jawa Barat Mohammad Taufik, saat ini ada 55.000 ton garam rakyat di Cirebon, Indramayu, dan Karawang yang belum terserap. Jumlah tersebut merupakan hasil panen tahun lalu.
Saat ini ada 55.000 ton garam rakyat di Cirebon, Indramayu, dan Karawang yang belum terserap.
Cerita tak berbeda soal harga juga dirasakan petani garam di Karawang, yang kini hanya Rp 500-Rp 700 per kg. Ahmad Bakri (39), pembudidaya garam di Desa Pasirjaya, Kecamatan Cilamaya Kulon, Kabupaten Karawang, Rabu (3/7/2019), mengatakan, harga garam terus merosot hingga kini menjelang awal panen tahun 2019.
Harga stok garam di tingkat petambak hanya Rp 500-Rp 700 per kg. Harga ini turun hampir 50 persen jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu di kisaran Rp 800-Rp 1.000 per kg. Padahal, biaya produksi jika diestimasi sebesar Rp 300-Rp 400 per kg.
Harga saat ini membuat para pengepul tak tertarik membeli garam petani. Padahal, biasanya para pengepul berlomba-lomba untuk membeli garam pada awal panen. Namun, karena tren harga terus menurun, mereka takut rugi.
Bahkan, kata Ketua Koperasi Garam Segara Jaya Kabupaten Karawang Aep Suhardi, masih banyak stok garamdi koperasi. Stok garam produksi tahun lalu sekitar 80 ton. Jumlah itu belum ditambah dengan pasokan garam hasil panen minggu lalu sebanyak 50 ton.
Petani garam di Brebes, Jawa Tengah, juga bingung menghadapi penurunan harga. Menurut penuturan para petani garam yang ditemui pada Selasa (2/7/2019), di Desa Kaliwlingi, Kecamatan Brebes, harga garam sudah mulai turun sejak sebulan lalu. Pada bulan lalu, harga garam masih Rp 800 per kg, tetapi kini tinggal Rp 400 per kg. Padahal, biaya produksi garam di Brebes mencapai Rp 700-Rp 750 per kg.
Hal itu yang memaksa Surya (49), petani garam Desa Kaliwlingi, membiarkan 1,5 hektar lahan garamnya telantar. Surya dan petani garam lain tidak berani mengambil risiko karena seluruh biaya produksi merupakan tanggung jawab petani. Sementara saat panen, pihak terkait, termasuk pemerintah, tidak ikut menolong.
Kondisi ini membuat beberapa petani garam beralih mata pencarian. Banyak di antara mereka menjadi buruh tani dan nelayan sembari menunggu harga garam kembali normal.
Pemandangan serupa terjadi di gudang-gudang penyimpanan garam. Ribuan ton garam yang sebagian berasal dari produksi tahun lalu masih menumpuk. Para pengepul tak berani menjual garam yang mereka kuasai karena harga penjualan saat ini lebih rendah daripada harga pembelian tahun lalu.
Hal itu diungkapkan oleh Slamet Solihin (56), pengepul garam. Ia mengatakan, selama beberapa bulan belakangan dirinya tidak menjual garam meskipun gudang penyimpanan miliknya sudah hampir penuh. Saat ini ada sekitar 300 ton garam yang diserap dari petani di gudang milik Slamet.
”Harapan kami, pemerintah membantu membeli garam kami. Tidak usah impor lagi tahun ini, beli saja garam petani dalam negeri dengan harga wajar,” ucap Slamet.
Diversifikasi pasar
Menurut Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Brebes Gatot Rudiyono, dari sekitar 47.000 ton garam yang dihasilkan petani, masih ada 4.000 ton yang belum terserap.
Mengantisipasi persoalan harga garam yang anjlok, pihaknya sudah menyarankan kepada para petani untuk bergabung dengan koperasi. Melalui koperasi, petani bisa dibantu untuk mendapatkan modal produksi dan hasil panen dapat dibeli saat harga tengah anjlok seperti saat ini.
”Dengan begitu, para petani tetap ada modal untuk memproduksi garam ataupun mencukupi kebutuhan hidup sehari-harinya,” kata Gatot.
Selain itu, petani juga disarankan melakukan diversifikasi pasar dan mengoptimalkan fungsi tambak. Diversifikasi pasar yang dimaksud adalah petani garam tidak hanya berorientasi menjual produksinya untuk keperluan konsumsi, tetapi juga mencari pasar ke sektor industri, seperti industri farmasi.
Saat ini, di Brebes ada sekitar 600 petani garam dengan luasan tambak garam sekitar 570 hektar. Dari angka tersebut, baru sekitar 150 petani dengan luasan lahan sekitar 80 hektar yang melakukan diversifikasi pasar, sisanya bergantung pada pasar garam konsumsi.
”Peluang untuk menjual ke industri itu ada. Kemarin, kami sudah menandatangani nota kerja sama menyediakan garam untuk sebuah perusahaan farmasi. Mereka minta suplai sebanyak 2.000 ton per bulan, tetapi kami belum bisa memenuhi,” katanya.
Baca juga: Harga Garam di Tingkat Petani Brebes Anjlok
Sebab, belum semua garam hasil produksi petani Brebes, menurut Gatot, memenuhi standar mutu produk yang diperlukan industri. Industri meminta suplai garam dengan kandungan natrium klorida (NaCl) sebesar 97 persen. Namun, rata-rata garam milik petani Brebes baru mengandung NaCl sebesar 94 persen.
Peningkatan mutu garam bisa dilakukan melalui pelatihan cara pengolahan yang benar. Hal itu akan dilakukan Pemerintah Kabupaten Brebes secara bertahap.
Adapun pengoptimalan fungsi lahan tambak dapat dilakukan dengan memanfaatkan tambak untuk memproduksi dua produk berbeda, yakni garam dan bandeng. Jika harga garam sedang anjlok, petani garam bisa mencoba menambak bandeng untuk menutup kerugian garam, begitu pula sebaliknya.
Anomali stok
Hal ini mendorong Ketua Himpunan Masyarakat Petambak Garam (HMPG) Muhammad Hasan berteriak. Mereka meminta pemerintah melakukan intervensi untuk mengatasi penurunan harga garam. Hasan menduga ada permainan kartel yang menyebabkan harga garam rakyat terpuruk. Impor garam 3,7 juta ton tahun lalu berlebih dan menyisakan stok hingga saat kini.
Hal yang sama juga dilontarkan Ketua Asosiasi Petani Garam Seluruh Indonesia Jawa Barat Mohammad Taufik. Menurut dia, ada anomali yang perlu ditelisik lebih dalam. Fenomena penurunan harga garam rakyat ini terjadi di tengah hasil panen yang tak terserap.
Oleh sebab itu, ia mendorong pemerintah untuk mengawasi perusahaan importir garam guna memastikan tidak ada garam industri yang merembes ke pasar konsumsi. Garam industri memiliki kadar NaCl di atas 94 persen, sedangkan garam konsumsi di bawah itu.
”Garam konsumsi dapat diolah kembali menjadi garam industri. Namun, biayanya mahal,” ujarnya.
Garam konsumsi dapat diolah kembali menjadi garam industri. Namun, biayanya mahal.
Di sisi lain, garam belum dilindungi dengan harga pokok pembelian (HPP) yang dapat menjaga harga garam petani tidak anjlok. Padahal, pemerintah telah berkomitmen melindungi petambak garam sesuai amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
Kepala Bidang Pemberdayaan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon Yanto mengatakan, kualitas garam yang rendah di Cirebon membuat hasil panen petani tidak terserap optimal dan harganya rendah.
”Dari produksi 424.617 ton garam tahun lalu, hanya 20 persen yang memiliki kualitas bagus,” ujarnya.
Kualitas garam yang rendah itu dipicu lahan petani yang masih berupa tanah dan tidak dilapisi terpal. Kondisi ini membuat garam bercampur tanah sehingga kualitasnya menurun. Pada saat yang sama, petani ingin segera panen. Waktu untuk memanen garam yang seharusnya lebih dari satu minggu dipangkas hanya tiga hari.
”Petani ingin mendapatkan hasil panen segera. Apalagi, kebanyakan petani masih berkejaran dengan jatuh tempo penyewaan lahan. Selama ini, kami sudah memberikan pelatihan membuat garam berkualitas kepada petani,” tuturnya.
Intervensi pemerintah
Ketua Koperasi Garam Segara Jaya Kabupaten Karawang Aep Suhardi berharap, pemerintah bisa memberikan solusi sehingga penumpukan garam tidak terjadi dan harga bisa stabil.
Hal yang sama ditegaskan Kepala Bidang Pemberdayaan Masyarakat Perikanan Dinas Perikanan Karawang Abuh Bukhori. Menurut dia, harga garam yang anjlok di tingkat petani harus menjadi fokus pemerintah dan petani diminta menahan produksinya.
Pada saat yang sama, kerja sama antara petambak dan konsumen utama, seperti industri kecil menengah pengolahan garam dan industri pengasinan ikan, harus dibentuk dengan sistem bagi hasil. Harapannya, petambak dapat menikmati keuntungan secara kontinu dan jual-beli tidak hanya putus dengan dipatok pada harga tertentu.
Abuh mendorong terbentuknya surat edaran bupati yang berisi imbauan kepada pelaku usaha pengguna garam agar mau menyerap produksi garam lokal. Pembudidaya garam di Karawang mampu memenuhi standar mutu produk yang diperlukan industri dengan NaCl sebesar 97 persen.
”Kami bisa menggenjot kandungan NaCl menjadi 97 persen itu dengan meminta para pembudidaya memperlambat masa panen,” ujarnya.
Baca juga: Garam Menumpuk di Gudang
Persoalan garam tak akan pernah tuntas jika pemerintah tidak memiliki cetak biru sektor industri garam nasional. Tanpa cetak biru, kita tidak akan pernah tahu berapa total kebutuhan industri secara kontinu setiap tahun. Berapa kemampuan produksi petani menghasilkan garam dengan kandungan NaCl sebesar 94 persen dan berapa yang bisa ditingkatkan untuk kebutuhan garam industri.
Dengan demikian, pemerintah bisa jelas, industri seperti apa yang harus dibuat untuk membuat garam rakyat menjadi garam industri. Hal ini bisa menjadi solusi mengatasi terkurasnya devisa. Garam rakyat yang terserap untuk konsumsi dan industri juga jelas.
Sebagai negara agraris dan dengan perkembangan teknologi yang ada, kita seharusnya bisa melakukan itu. Ada bahan baku dan ada sumber daya manusianya. Pertanyaannya, mau atau tidak pemerintah melakukan itu. Sebab, selama ini sektor ini menjadi bagian bisnis yang abu-abu dan banyak menguntungkan mereka yang terlibat, termasuk PN Garam.
Banyak madu di antara pahitnya para petani garam rakyat tradisional. Akankah persoalan ini terus dibiarkan membelit mereka hingga puluhan tahun ke depan. Persoalan ini merupakan tantangan terbesar bagi Presiden Joko Widodo dalam lima tahun ke depan. Janjinya adalah menyejahterakan rakyat, termasuk petani garam rakyat.