Mengharap Hujan di Musim Kemarau
Saat sejumlah daerah sudah kekeringan, permintaan modifikasi cuaca berupa hujan buatan baru muncul. Hujan buatan efektif dilakukan jika ada banyak awan, seperti saat peralihan dari musim hujan ke kemarau.
Musim kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia diperkirakan baru mencapai puncak pada Agustus 2019. Namun sejak Juni, kekeringan sudah melanda sejumlah daerah. Penduduk sulit mencari sumber air bersih, sawah kering, dan debit air sungai dan waduk pun susut.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika memperkirakan kemarau tahun ini akan lebih kering dibanding 2018 akibat adanya El Nino. Situasi itu juga meningkatkan risiko kebakaran hutan dan lahan serta memperparah polusi udara di sejumlah kota besar.
Untuk mengatasi dampak musim kemarau itu, sejumlah lembaga dan pemerintah daerah mengajukan permintaan untuk memodifikasi cuaca dengan membuat hujan buatan ke Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Kepala BPPT Hammam Riza, Selasa (2/7/2019), di Jakarta, mengatakan permintaan modifikasi cuaca itu di antaranya dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi untuk dilakukan di sejumlah daerah di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.
Permintaan juga datang dari Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam untuk mengisi 5-6 waduk yang kekurangan air. "Waduk tersebut jadi sumber utama pasokan air baku bagi 1,4 juta penduduk Batam," tambahnya.
Permohonan juga datang dari sejumlah pemerintah daerah, seperti Indramayu untuk atasi kekeringan sawah, Riau dan Sumatera Selatan untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan, serta DKI Jakarta untuk mengurangi polusi udara. Ada juga dari pengelola bendungan besar yang juga dijadikan sebagai pembangkit listrik di Riau dan Jawa Barat.
Agak terlambat
Kepala Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca BPPT Tri Handoko Seto, Rabu (3/7/2019), mengatakan hujan buatan akan efektif dan efisien jika dilakukan di musim pancaroba, peralihan dari musim kemarau ke musim hujan. Saat itu, masih banyak awan potensial menghasilkan hujan.
Hujan buatan akan efektif dan efisien jika dilakukan di musim pancaroba, peralihan dari musim kemarau ke musim hujan.
Apabila hujan buatan dilakukan di masa transisi itu, maka saat musim kemarau tiba, semua waduk di Indonesia sudah penuh air. "Jika modifikasi cuaca dilakukan saat ini, di musim kemarau, secara waktu sudah agak telat," katanya.
Keberhasilan modifikasi cuaca sangat bergantung pada keberadaan awan. Di musim kemarau saat ini, hanya 10-20 persen hari dalam sebulan yang ada awannya. Itu pun umumnya ada di sekitar lereng gunung atau disebut awan orografis. Kandungan uap air di awan yang ada juga rendah.
Karena itu, efektivitas dan efisiensi hujan buatan untuk pengisian waduk jadi rendah. "Kalau tetap dilakukan, maka benefit cost ratio-nya (rasio biaya manfaat) menjadi kecil. Artinya, harga air yang dihasilkan jadi mahal," katanya.
Pembuatan hujan buatan itu dilakukan dengan menabur partikel higroskopik (menyerap air) yang umumnya berupa senyawa garam ke dalam awan yang sedang berkembang. Bahan higroskopik itu bisa berupa garam dapur (natrium klorida), garam kalsium klorida dan urea. Rangsangan itu akan mempercepat jatuhnya hujan.
Polusi udara
Modifikasi cuaca yang memungkinkan dilakukan saat ini adalah untuk mengurangi dampak polusi udara yang rencananya dilakukan di Jakarta pada pertengahan Juli. Model modifikasi cuaca seperti ini sudah sering dilakukan berbagai negara, seperti Thailand, China, Korea Selatan, dan India.
Modifikasi cuaca yang memungkinkan dilakukan saat ini adalah untuk mengurangi dampak polusi udara yang rencananya dilakukan di Jakarta pada pertengahan Juli.
Teknik modifikasi untuk atasi polusi udara itu sedikit berbeda dengan modifikasi cuaca untuk atasi kebakaran hutan dan lahan.
Menurut Seto, modifikasi cuaca mengatasi polusi udara itu bisa dilakukan membuat hujan buatan dengan menaburkan natrium klorida pada awan potensial hujan. Hujan yang tercipta bisa menjatuhkan polutan udara di atmosfer.
Cara lainnya adalah dengan menghilangkan lapisan inversi yang berbentuk seperti kabut udara dan dan menghalangi polutan udara bergerak ke atas. Penghilangan lapisan itu dilakukan dengan menyemai es kering hingga lapisan inversi jadi tidak stabil.
"Saat awan potensial hujan sulit ditemukan, bisa dilakukan penyemprotan air menggunakan alat khusus dari darat ke atmosfer hingga polutan udara terikat dan bergerak ke atas ," katanya.
Literasi kurang
Sejak awal 2019, saat puncak musim hujan, BPPT sudah mengajukan proposal pada pengambil kebijakan tata kelola air di berbagai lembaga tentang pentingnya melakukan modifikasi cuaca di masa pergantian musim. Karena saat itu masih puncak musim hujan dan terjadi banjir di berbagai daerah, maka hujan buatan dianggap belum diperlukan.
Padahal, modifikasi cuaca tidak bisa dilakukan secara mendadak. Selain butuh persiapan teknis, kondisi alam juga sangat menentukan keberhasilannya. "Literasi dan kesadaran akan pentingnya modifikasi cuaca perlu ditingkatnya," tambah Seto.
Teknologi modifikasi cuaca yang ada saat ini masih bergantung pada keberadaan awan. Hingga kini, teknologi pembuat awan masih bersifat eksperimen dan mahal.
Teknologi modifikasi cuaca yang ada saat ini masih bergantung pada keberadaan awan.
Selain itu, pengetahuan tentang iklim di Indonesia juga rendah. Wilayah Indonesia yang luas dan berpulau memiliki tiga jenis iklim berbeda. Kekeringan saat ini umumnya terjadi di daerah dengan iklim monsunal, yang terbentang dari Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali hingga Nusa Tenggara.
Di antara daerah tersebut, juga terdapat zona musim yang berbeda. Makin ke timur, musim kemaraunya akan datang lebih cepat dan musim hujannya datang lebih lambat.
Sementara itu, di sebagian Sulawesi dan Maluku, memiliki iklim lokal. Akibatnya, walau di sana hujan lebat, bisa saja di Jawa dan Nusa Tenggara justru kekeringan. Demikian pula sebaliknya. Itu adalah hal lumrah namun kurang dipahami pengambil kebijakan.
"Ini harusnya jadi pelajaran. Ke depan, teknologi modifikasi cuaca harus dilakukan lebih terencana agar keuntungannya berlipat ganda," kata Seto.
Penugasan kepada BPPT untuk menerapkan teknologi modifikasi cuaca sudah diatur dalam Instruksi Presiden. Kebutuhan untuk memodifikasi cuaca untuk berbagai keperluan pun selalu ada tiap tahun.
Namun, anggaran untuk modifikasi cuaca itu belum jelas. "Terserah anggaran modifikasi cuaca mau diletakkan di kementerian atau lembaga mana. Kalaupun anggaran itu nanti akan digunakan atau tidak, BPPT siap memberikan penilaian secara profesional dan ilmiah," katanya.
Hammam menambahkan, untuk memodifikasi cuaca butuh komitmen pengambil kebijakan dan perencana anggaran. "Teknik modifikasi cuaca ini merupakan salah satu upaya untuk meningkatan kesejahteraan masyarakat," ujarnya.