Australia Ajukan RUU Menangkal Warganya yang Ikut Kelompok Teroris
Pemerintah Australia mengajukan RUU untuk menangkal warga Australia yang pernah bertempur dengan NIIS dan ingin pulang kembali ke Australia.
CANBERRA, KAMIS -- Pemerintah Australia mengajukan rancangan undang-undang yang bisa menangkal warga Australia kembali ke negaranya jika diduga terlibat dalam kelompok teroris ataupun ekstremis.
Rancangan undang-undang (RUU) yang diusulkan Menteri Dalam Negeri Peter Dutton pada Kamis (4/7/2019) itu bukan saja karena kepolisian Australia menggagalkan rencana serangan teror di sejumlah target di Sydney pada Selasa lalu, melainkan juga karena Australia sedang bersiap menghadapi repatriasi warganya yang pendukung kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Dengan undang-undang tersebut, Dutton memiliki wewenang untuk menangkal pulang warga Australia yang dicurigai sebagai ekstremis, setidaknya sampai dua tahun. Waktu selama itu akan digunakan otoritas keamanan untuk mengantisipasi risiko keamanan.
Aturan itu juga akan berlaku bagi warga Australia yang oleh badan intelijen dikategorikan sebagai ”menimbulkan risiko keamanan akibat kekerasan yang dilatarbelakangi alasan politik”.
Meski demikian, undang-undang itu tidak bisa diterapkan untuk anak-anak usia 14 tahun ke bawah. Sementara untuk anak-anak yang berusia 15-17 tahun, Mendagri harus mempertimbangkan kepentingan anak sebagai faktor utama.
Simpatisan NIIS
Menurut Dutton, ada 230 warga Australia yang telah mengunjungi Suriah dan Irak demi berperang bersama NIIS sejak 2012. Bahkan, sekitar 80 orang sampai kini masih aktif berperang di wilayah konflik.
Badan keamanan nasional Australia telah memperingatkan pemerintah bahwa warga Australia yang terlibat dalam konflik di Irak dan Suriah kemungkinan besar akan kembali ke Australia dalam waktu dekat. ”RUU ini akan memastikan bahwa badan-badan hukum bisa mengatasi kepulangan mereka dengan cara yang bisa mengurangi ancaman pada komunitas Australia,” kata Dutton.
Badan keamanan nasional Australia telah memperingatkan pemerintah bahwa warga Australia yang terlibat dalam konflik di Irak dan Suriah kemungkinan besar akan kembali ke Australia dalam waktu dekat.
Teror Sydney
Kebutuhan akan undang-undang penangkalan itu menjadi sorotan, Selasa lalu, saat Isaak el Matari (20) dan kedua temannya, Radwan Dakkak (23) dan pria berusia 30 tahun, ditahan dan didakwa merencanakan serangan teror di Sydney dan berupaya untuk terbang ke Afghanistan guna berperang bersama NIIS.
Matari pulang ke Sydney, Juni tahun lalu, dari Lebanon. Di negara itu, ia dipenjara karena berupaya berangkat ke Suriah untuk bertempur bersama NIIS. Matari sudah mengikuti program deradikalisasi sewaktu pulang ke Sydney, tetapi gerak-geriknya terus diawasi oleh polisi.
Otoritas Australia mengatakan, rencana serangan teror itu masih dalam tahap awal. Matari dan kawan-kawannya belum mendapatkan senjata ataupun bahan peledak.
Namun, insiden itu menunjukkan bahwa Australia tidak imun dari serangan teror. ”Kita jelas memiliki ancaman serius. Fakta bahwa ada 16 percobaan serangan teroris yang berhasil digagalkan menunjukkan bahwa ancaman belum sepenuhnya hilang,” kata Dutton.
Dakwaan
Kemarin, kasus Matari dibacakan di pengadilan Parramatta. Matari didakwa dengan tiga pelanggaran, antara lain sebagai anggota NIIS dan mempersiapkan serangan teror.
Dalam dakwaannya, seperti dikutip ABC News, disebutkan juga bahwa Matari menyebut dirinya sebagai ”jenderal negara Islam” di Australia dan menginginkan pembentukan pasukan yang dapat melakukan serangan gerilya.
Matari juga dituduh telah membeli tiket penerbangan ke Islamabad dan membuat rencana agar ia diselundupkan melewati perbatasan Pakistan, melalui China, dan masuk ke Afghanistan. Tujuan kepergiannya adalah untuk melakukan ”aksi kekerasan”.
Di pengadilan yang sama, Radwan Dakkak dari Toongabbie didakwa sebagai anggota NIIS. Permintaan jaminannya ditolak oleh pengadilan. Selain itu, pengadilan mengabulkan permintaan bebas dengan jaminan untuk pria 30 tahun yang didakwa memalsukan dokumen. (AP)