Presiden dan Tiga Kepala Daerah Resmi Digugat 31 Warga
Sebanyak 31 orang resmi melayangkan gugatan kepada presiden, tiga menteri, dan tiga kepala daerah atas kelalaian menangani polusi udara di DKI Jakarta. Para tergugat dituntut melakukan serangkaian kebijakan agar pencemaran udara di Ibu Kota tidak semakin parah.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sebanyak 31 orang resmi melayangkan gugatan kepada presiden, tiga menteri, dan tiga kepala daerah atas kelalaian menangani polusi udara di DKI Jakarta. Para tergugat dituntut melakukan serangkaian kebijakan agar pencemaran udara di Ibu Kota tidak semakin parah.
Gugatan telah teregistrasi di Pengadilan Negeri Jakarta, Rabu (4/7/2019), dengan nomor 374/Pdt.G/LH/2019/PN Jkt.Pst. Dalam gugatan tersebut, ada tujuh tergugat, yakni Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, dan Gubernur Banten.
Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Nelson Simamora, usai meregistrasi gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta, Kamis (4/7/2019), mengatakan, gugatan warga atau citizen lawsuit (CLS) dilayangkan karena para tergugat dinilai telah mengabaikan hak warga untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
"Pencemaran udara di Jakarta sudah semakin parah dari hari ke hari. Hak atas kesehatan bagi warga di Jakarta terancam. Atas dasar itu, kami berinisiatif untuk mengajukan gugatan terhadap para penguasa ini atas perbuatan melawan hukum," ujar Nelson.
Setidaknya ada 31 orang mendaftarkan diri sebagai penggugat. Para penggugat itu terdiri atas lintas profesi, seperti tukang ojek, mahasiswa, ibu rumah tangga, peneliti, dosen, pegawai negeri sipil, jurnalis, karyawan swasta, dan advokat. Mereka bertempat tinggal dan bekerja di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Melalui gugatan ini, para tergugat dituntut melakukan konsolidasi dan menyusun rencana aksi untuk menekan polusi udara di Jakarta. Sebab, sumber polusi tak hanya dari Jakarta, tetapi juga daerah tetangga. "Jadi, kami minta agar pemerintah melakukan serangkaian kebijakan untuk mengubah kondisi ini. Sebab, kurang lebih 10 juta orang yang tinggal di Jakarta telah menghirup udara yang sangat kotor setiap harinya," tutur Nelson.
Selain melalui gugatan itu, Gerakan Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibu Kota) juga telah mendapatkan dukungan dari 1.132 warga dengan menandatangani petisi melalui www.akudanpolusi.org.
Semakin memprihatinkan
Sementara itu, Juru Kampanye Iklim dan Energi dari Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu menyampaikan, poin utama kelalaian para tergugat adalah tidak pernah mengumumkan secara resmi kepada warga atas kualitas udara di Jakarta yang tidak sehat. Lebih dari itu, pemerintah juga tidak merinci sumber polusi itu dan bagaimana upaya menanganinya.
Catatan Greenpeace Indonesia, pada 4 Juni atau sehari sebelum Lebaran, tingkat partikel debu atau particulate matter (PM) 2,5 di Jakarta mencapai 70,8 ug/m3. Angka itu lebih tinggi dari baku mutu udara sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, yakni 65 ug/m3.
Selama Januari-Desember 2018, ada 196 hari tergolong tidak sehat. Kualitas udara yang baik hanya 34 hari.
Apabila dilihat dari rata-rata tahunan, kualitas udara di Jakarta juga buruk. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, rata-rata tahunan PM 2,5 di Jakarta mencapai 34,57 ug/m3, sementara baku mutu udara secara nasional 15 ug/m3. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut standar mutu udara seharusnya hanya 10 ug/m3.
"Seharusnya, ketika pemerintah tahu kualitas udara sedang tidak sehat, harusnya ada warning (peringatan) kepada warga. Lalu, ditelusuri sumber pencemaran itu dan kebijakan apa yang akan diambil. Jadi, warga bisa mengukur keberhasilan kebijakan tersebut," kata Bondan.
Bondan juga menilai, pemerintah hingga kini tak pernah melakukan inventarisasi emisi (emissions inventory) secara berkala. Akibatnya, target penurunan polusi udara tak pernah terukur dengan baik.
Terpapar polusi
Egayudha Gustav (28), salah satu pegawai swasta di Jakarta, merasakan langsung dampak dari polusi udara itu. Hampir dua tahun terakhir, dia mudah terkena penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA).
"Saya pernah hampir enam bulan, hidung tersumbat dan tak ada lendirnya, tak tahu kenapa penyebabnya. Padahal sebelum pindah ke Jakarta, tak pernah saya mengalami penyakit terkait pernapasan," ujar Egayudha yang baru pindah ke Jakarta pada tahun 2008.
Egayudha semakin tahu parahnya polusi udara di Ibu Kota setelah mengetahui helm yang biasa dipakainya selalu kotor di bagian kaca dan penutup mulut. "Hampir setahun terakhir, setiap dilap pakai tisu, tebel (debunya) kayak pegang rantai motor. Dan itu yang selalu saya hirup," tuturnya.