Pemerintah Kembali Desak Pemecatan Aparatur yang Terlibat Kasus Korupsi
Pemerintah Pusat menggencarkan pemecatan aparatur sipil terpidana korupsi. Tercatat hingga Kamis (4/7/2019), masih ada 275 aparatur sipil yang belum dipecat dari total 2.357 orang yang terpidana korupsi. Langkah itu perlu ditambah dengan pemberian sanksi berat kepada kepala daerah yang masih resistan terhadap pemecatan tersebut.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah pusat menggencarkan pemecatan aparatur sipil terpidana korupsi. Tercatat hingga Kamis (4/7/2019), masih ada 275 aparatur sipil yang belum dipecat dari total 2.357 orang yang terpidana korupsi. Langkah itu perlu ditambah dengan pemberian sanksi berat kepada kepala daerah yang masih resistan terhadap pemecatan tersebut.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik mengatakan, pada 1 Juli, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo telah menegur secara tertulis 103 kepala daerah agar memecat secara tidak hormat sejumlah aparatur sipil negara (ASN) yang ada di daerahnya. Sejumlah kepala daerah itu terdiri atas 11 gubernur, yaitu dari Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Jambi, Bengkulu, Riau, Banten, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Papua, dan Papua Barat. Selain 11 gubernur, ada pula 80 bupati dan 12 wali kota yang ditegur.
”Teguran itu diberikan agar dalam 14 hari, kepala daerah segera melakukan pemecatan tidak dengan hormat (PDTH) terhadap 33 ASN di pemerintah provinsi, 212 ASN di pemerintah kabupaten, dan 30 ASN di pemerintah kota,” kata Akmal saat dihubungi dari Jakarta.
Berdasarkan data Kemendagri, total ASN terpidana korupsi adalah 2.357 orang. Sebanyak 73 persen dari total ASN terpidana korupsi itu sudah dipecat. Namun, masih tersisa 27 persen, yaitu 275 ASN yang belum diberhentikan. ”Jika dalam 14 hari kepala daerah belum memecat mereka, kami akan mengirimkan surat teguran yang kedua,” ujar Akmal.
Akan tetapi, skenario pascapemberian surat teguran kedua belum diputuskan karena masih didiskusikan oleh Inspektorat Jenderal Kemendagri, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Keuangan, BKN, dan Komisi Aparatur Sipil Negara. Menurut Akmal, beberapa pilihan tindak lanjutnya adalah penghentian sementara hak-hak keuangan dan penghentian jabatan sementara.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat BKN Mohammad Ridwan mengungkapkan, pihaknya telah memblokir data kepegawaian seluruh ASN terpidana korupsi. Mereka sudah tidak bisa mendapatkan kenaikan pangkat, mutasi, dan promosi. Sebagian pun sudah tidak menerima gaji.
”Namun, sebagian ASN belum bisa diberhentikan gajinya karena mekanisme pengurusannya ada di Kementerian Keuangan,” kata Ridwan. Oleh karena itu, kata Ridwan, pemecatan mereka harus segera dituntaskan karena merugikan keuangan negara.
Menurut Ridwan, pemecatan ASN terpidana korupsi terkendala komitmen kepala daerah. Sebagian beralasan bahwa keterlibatan aparatur sipil dalam tindak pidana korupsi tidak terjadi pada periode jabatannya. Akibatnya, mereka enggan memecat mereka.
Dia menambahkan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, kepala daerah mengemban amanat sebagai pejabat pembina kepegawaian (PPK). Adapun PPK memiliki kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian ASN dan pembinaan manajemen ASN di instansi pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kemudian, pada Pasal 67 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah wajib melaksanakan sejumlah ketentuan. Salah satunya menaati seluruh peraturan perundang-undangan.
Akibatnya, pemecatan ASN terpidana korupsi tak kunjung tuntas. Bahkan, persoalan ini sudah berulang kali molor dari tenggat. Pertama, berdasarkan surat keputusan bersama yang ditandatangani Mendagri, Menpan dan RB, serta Kepala BKN, pemecatan harus tuntas pada Desember 2018. Kedua, Menpan dan RB membuat surat tertanggal 28 Februari 2019 yang mengulur tenggatnya menjadi 30 April 2019.
Plt Dirjen Otda Akmal Malik pun enggan menjawab saat ditanya tenggat yang ditetapkan pemerintah pusat saat ini.
Sanksi berat kepala daerah
Pengajar Fakultas Hukum sekaligus Ketua Pusat Kajian Antikorupsi UGM Oce Madril mengapresiasi langkah Kemendagri menegur kepala daerah agar segera memecat ASN terpidana korupsi. Akan tetapi, upaya tersebut perlu diikuti dengan pemberian sanksi berat terhadap mereka yang masih resistan terhadap peraturan tersebut.
Oce menjelaskan, merujuk pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, pejabat yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan perintah UU dan melawan putusan pengadilan dapat didakwa melakukan penyalahgunaan wewenang dan dijatuhi sanksi administratif berat. Pemberian sanksi itu diatur dalam Pasal 80 Ayat (3) UU No 30/2014. Adapun sanksi itu terdiri dari pemberhentian tetap dengan/tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya, serta dapat dipublikasikan di media massa.
Dasar hukum itu semakin kuat dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 87/PUU-XVI/2018 tanggal 25 April 2019. Sebelumnya, sejumlah pihak menggugat Pasal 87 Ayat (4) Huruf b UU No 5/2014 yang merupakan dasar pemecatan ASN terpidana korupsi. Namun, MK menolak gugatan itu dan justru menguatkan konstitusionalitas pasal tersebut.
Oleh karena itu, menurut Oce, Kemendagri pusat berada pada posisi yang kuat. Kewenangan itu semestinya digunakan untuk memaksa kepala daerah menyegerakan pemecatan ASN terpidana korupsi.
”Kemendagri (saat ini) terlalu toleran. Semestinya sudah tidak ada lagi negosiasi. Mendagri harus memberikan perintah yang tegas kepada pejabat daerah dan menjatuhkan sanksi berat bagi mereka yang tidak mau memecat ASN terpidana korupsi,” kata Oce.
Ia menambahkan, jika persoalan ini dibiarkan berlarut-larut, akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum. ”Seolah-olah ASN yang melakukan korupsi itu tetap diberikan keistimewaan,” ujar Oce.