Kembangkan Nasionalisme Berorientasi Penegakan Hukum dan Keadilan
Bara Pemilihan Umum 2019 belum sepenuhnya mendingin. Buhul atau simpul kebangsaan perlu terus diperkuat. Publik juga harus diingatkan agar senantiasa berpatokan pada nasionalisme yang berorientasi pada penegakan hukum dan keadilan.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bara Pemilihan Umum 2019 belum sepenuhnya mendingin. Buhul atau simpul kebangsaan perlu terus diperkuat. Publik juga harus diingatkan agar senantiasa berpatokan pada nasionalisme yang berorientasi pada penegakan hukum dan keadilan.
Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Mahfud MD, menyampaikan hal itu dalam diskusi bertajuk ”Merajut Masa Depan Indonesia”, yang diadakan Yayasan Upaya Indonesia Damai (UID), di Jakarta, Kamis (4/7/2019). Forum silaturahmi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil ini dihadiri pejabat teras pemerintah, elite politik, dan pengusaha.
Dalam forum itu, Mahfud mengulas kembali sejarah kemerdekaan Indonesia. Bangsa Indonesia yang beragam ras, suku, dan agama mau bersatu untuk mengusir penjajah.
Dalam hukum internasional yang berlaku waktu itu, kemerdekaan Indonesia tidak bisa diterima. Negara penjajah yang kalah perang, dalam hal ini Jepang, semestinya harus menyerahkan daerah jajahannya kepada penjajah sebelumnya, Belanda.
”Di tengah situasi itu, bangsa Indonesia tetap bersatu padu merebut kemerdekaan itu. Kadang kita sering lupa dengan perjuangan dan kebanggaan menjadi bangsa Indonesia,” katanya.
Mahfud menilai, merajut masa depan Indonesia bermakna memupuk dan menguatkan nasionalisme. Bangunan nasionalisme pada masa depan harus berorientasi penegakan hukum dan keadilan.
Ini penting agar ada kepastian hukum bagi warga negara. Warga bangsa harus paham apa yang dilakukan dengan segala konsekuensi hukum yang menyertainya.
”Jika penegakan hukum kita baik, 85 persen persoalan negeri ini akan selesai, sisanya ad hoc,” katanya.
Merajut masa depan Indonesia bermakna memupuk dan menguatkan nasionalisme. Bangunan nasionalisme pada masa depan harus berorientasi penegakan hukum dan keadilan.
Mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata I Gede Ardhika menambahkan, rajutan masa depan Indonesia itu memiliki pola. Pola itu sudah jauh-jauh hari dipikirkan oleh para pendiri bangsa, yakni empat pilar kebangsaan: Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
”Indonesia belum selesai. Kita masih terus berproses untuk menjadi Indonesia. Untuk itu, nasionalisme memang harus mengarusutamakan penegakan hukum dan keadilan,” katanya.
Menurut Ardhika, dalam konteks berusaha, ekonomi menjadi lokomotif pembangunan Indonesia. Pengusaha harus jeli melihat kesempatan untuk mendapat nilai tambah.
Nilai tambah ini tidak hanya bersifat jangka pendek, tetapi juga long term (jangka panjang). ”Untuk mewujudkan ini, kepastian hukum menjadi conditio sine qua non (syarat mutlak),” katanya.
Ketua Yayasan UID Mari Elka Pangestu mengatakan, selama 15 tahun UID telah membuka forum yang memungkinkan anak negeri untuk saling bertukar gagasan. Melalui sejumlah programnya, UID membentuk pribadi-pribadi yang terbuka.
Mereka berani mendengar tanpa mengadili, menerima perbedaan, dan berkolaborasi untuk kepentingan bersama pada masa depan. ”Kita harus berani untuk letting go (melepaskan) bias kita selama ini dan menerima hal-hal yang berbeda dari diri kita,” katanya.
Mari menambahkan, UID yang dibentuk pada 2003 merupakan respons atas situasi Indonesia pascagerakan reformasi 1998. Ada kekhawatiran Indonesia akan terpecah, mirip Uni Soviet.
Selain itu, rangkaian bom yang meledak pada Oktober 2002 di Pulau Bali telah memicu rasa ketidakpercayaan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil. Kepercayaan antar-tiga sektor itulah yang ingin dipompakan kembali oleh UID.