Isnaeni Muhidin Merawat Ingatan tentang Bencana
Selama lebih dari 10 tahun, M Isnaeni Muhidin alias Neni Muhidin (41) aktif dalam kegiatan literasi, termasuk literasi bencana. Baginya, tak ada kata berhenti untuk terus merawat ingatan dan menggugah kesadaran masyarakat Palu dan sekitarnya agar paham bagaimana semestinya hidup di atas sesar aktif Palu-Koro.
Saat gempa dengan magnitudo 7,4 mengguncang Palu pada 28 September 2018, Neni sangat terpukul. Bukan karena kehilangan orang-orang terkasih atau harta benda, melainkan gempa terjadi hanya berselang dua bulan sejak dia dan Tim Ekspedisi Palu-Koro menyerahkan dokumen dan rekomendasi mitigasi bencana kepada Gubernur Sulawesi Tengah. Dokumen ini adalah hasil ekspedisi selama lebih satu tahun.
Ekspedisi Palu-Koro digagas Neni dan Tirinirmala Ningrum sejak 2011. Saat itu, Tirinirmala—yang kemudian menjadi ketua tim ekspedisi—adalah Sekjen Platform Nasional (Planas), wadah berkumpulnya pegiat kebencanaan, khususnya Forum Pengurangan Risiko Bencana (F-PRB) dari sejumlah daerah. Adapun Neni masuk F-PRB mewakili Sulteng.
Walau digagas sejak 2011, ekspedisi baru mulai jalan 2017. Pada 30 Juli 2018, tim beraudiensi memaparkan hasil temuan dan merekomendasikan kegiatan mitigasi yang harus dilakukan kepada Gubernur Sulteng. Namun, belum lagi semua dilakukan, gempa keburu datang.
”Sebenarnya, setelah kami menyerahkan dokumen kebencanaan dan rekomendasi mitigasi yang ditandatangani pemerintah, dilakukan pula simulasi. Sayangnya, rekomendasi yang kami berikan hampir tak ada yang dilaksanakan,” kata Neni yang ditemui Kompas, Kamis (27/6/2919), di Benteng Rotterdam, Makassar, di sela acara Makassar International Writers Festival 2019.
Ada banyak peristiwa yang lewat begitu saja dan dilupakan. Masyarakat kita cenderung mudah melupakan, padahal sesungguhnya lupa juga adalah bencana.
Dalam acara ini, Neni menjadi pembicara dan juga meluncurkan buku kumpulan puisi berjudul Almanak Bencana dan Sajak-sajak Renjana. Buku ini berisi puisi beberapa penyair dari sejumlah daerah di Indonesia.
”Almanak itu berarti penanggalan. Ini salah satu cara merawat ingatan dan agar orang-orang memahami bahwa bencana adalah siklus, dan semoga buku ini bisa jadi pengingat. Ada banyak peristiwa yang lewat begitu saja dan dilupakan. Masyarakat kita cenderung mudah melupakan, padahal sesungguhnya lupa juga adalah bencana,” tutur Neni.
Terpukul pascagempa September lalu tak membuat Neni berhenti. Dia kembali berkeliling ke banyak kampung, menelusuri tempat-tempat yang punya sejarah gempa, menemui para tetua untuk mengorek keterangan terkait rentetan gempa yang pernah terjadi di masa lampau. Dia mendata sejumlah nama desa yang memiliki arti terkait bencana atau merujuk pada ekosistem terkait keberadaan tanaman tertentu.
Dia membandingkan apa yang didapatnya dengan budaya dan tradisi masyarakat setempat, dokumen dan sejarah kegempaan, serta berbagai data hasil penelitian dan ekspedisi lain.
Hasil perjalanannya itu dituliskan dan disebar ke media sosial dan media lain. Dia juga menggelar atau mengikuti diskusi di sejumlah tempat. Hampir tak ada teluk di dunia yang dalam 80-an tahun mengalami tiga kali tsunami, 1927, 1938, dan 2018. Yang terjadi selama ini, sebagian besar masyarakat tahu bahwa mereka hidup di atas Sesar Palu-Koro.
”Tapi mereka sekadar tahu saja dan tak betul-betul paham harus seperti apa hidup di wilayah seperti itu,” katanya.
Saat pemerintah menggagas pembangunan tanggul di sepanjang Teluk Palu untuk mengantisipasi tsunami, Neni termasuk yang paling getol memprotesnya. Dia mengusulkan mangrove. Baginya, mangrove bukan sekadar bakau, melainkan juga ekosistem dan satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan dengan tanaman lain serta tempat tanaman itu tumbuh.
Di mana-mana, jalur evakuasi untuk ancaman tsunami mestinya tegak lurus vertikal menjauhi pantai dan bukan horizontal menyusur pantai.
Menurut dia, rencana membangun tanggul di Teluk Palu itu sudah gugur sejak dari niat. Dalam dokumen rencana induk penanganan bencana Sulawesi Tengah, di salah satu bab disebutkan bahwa tanggul akan berfungsi sebagai jalur evakuasi. ”Di mana-mana, jalur evakuasi untuk ancaman tsunami mestinya tegak lurus vertikal menjauhi pantai dan bukan horizontal menyusur pantai,” katanya.
Neni mengingatkan, jika pemerintah ingin memperbaiki mitigasi atau tindakan mengurangi risiko bencana, mestinya berfokus pada pengetahuan bagi warga pesisir dan perbaikan sistem peringatan dini, sembari mengembalikan fungsi ruang pesisir dengan pendekatan ekologi.
Penolakan Neni tak sekadar berupa protes, tapi juga ajakan kepada berbagai pihak untuk menanam mangrove di Teluk Palu. Warga juga diedukasi tentang pentingnya mangrove untuk wilayah pesisir dan bangunan-bangunan tahan gempa.
Zona nyaman
Saat memutuskan meninggalkan Ibu Kota pada 2007, Neni ibarat keluar dari zona nyaman. Kuliah di Bandung, berkegiatan dan bekerja berpindah di beberapa lembaga, mulai dari Bandung, Yogyakarta, Aceh, hingga Jakarta, sudah membuatnya hidup nyaman.
Namun, keinginan melakukan sesuatu di tanah kelahirannya dan menemani ibunya yang tinggal sendiri membuat dia pulang kampung dan meninggalkan pekerjaan di Jakarta. Kembali ke Palu, dia meminta izin ibunya untuk merombak sebagian rumah dan menjadikannya perpustakaan mini. Sejak kuliah, dia memang akrab dengan kegiatan literasi. Baginya, perpustakaan atau toko buku seperti rumah kedua.
Pada 17 Agustus 2007, dia meresmikan perpustakaan yang diberi nama Nemu Buku. Perpustakaan ini tak sekadar tempat membaca, tapi juga tumbuh menjadi tempat diskusi, penelitian, kajian seni, budaya, film, dan beragam kegiatan kemasyarakatan bersifat literasi lainnya. Dari perpustakaan ini, lahir kelompok yang aktif dalam dunia film, seni budaya, dan kelompok diskusi. Tak berhenti di Perpustakaan Nemu Buku, dia dan rekan-rekannya juga melakukan berbagai kegiatan di sejumlah tempat hingga pelosok kampung.
Sejak itu pula Neni terus berupaya memahami bencana dan mengumpulkan berbagai data dan kajian tentang Sesar Palu-Koro dan beragam potensi bencana di Palu, Sigi, Donggala, dan banyak daerah lain. Dia bahkan kini aktif dalam ekspedisi Poso.
Neni juga menerbitkan sejumlah buku, termasuk mendirikan penerbitan Nemu Publishing pada 2012. Dia mengajak banyak lembaga lain dan pekerja seni untuk bekerja sama. Bencana September lalu membuat dia kini kian getol bergerak terutama untuk literasi bencana.
”Jika dunia mengenal enam literasi dasar, yakni baca tulis, numerasi, sains, finansial, digital, budaya, dan kewargaan, maka di Indonesia yang hidup di Cincin Api harus menambah satu, yakni literasi bencana. Itu yang akan terus kami lakukan,” tuturnya.
Mohamad Isnaeni Muhidin
Lahir: Palu, 1 Juni 1978
Pendidikan:
- SDN Inti Lolu 6, Palu
- SMP Negeri 2, Palu
- SMA HOS Tjokroaminoto, Tolitoli
- Hubungan Internasional Universitas Pasundan, Bandung
Pengalaman:
- Menangani penerbitan Asosiasi DPRD Seluruh Indonesia dan ikut ke Aceh bekerja sama dengan National Demokrat Institute (2002/2006)
- Bekerja pada Lembaga Studiers Pembangunan (2006-2007)
- Mendirikan Nemu Buku di Palu, 17 Agustus 2007
- Bergiat dalam kegiatan Pengurangan Risiko Bencana di Palu sejak tahun 2008
- Mengasuh rubrik kebudayaan Indie harian Media Alkhairaat pada 2009-2012
- Mendirikan penerbitan Nemu Publishing sejak tahun 2012
- Ketua Forum Taman Bacaan Masyarakat Sulawesi Tengah sejak tahun 2014
- Anggota Tim Ekspedisi Palu Koro 2017-2018
- Anggota Tim Ekspedisi Poso 2019
Buku:
- Kumpulan puisi, Setiap Rindu Mungkin Diciptakan Tuhan dari Seekor Ulat Bulu yang Bermetamorfosa Jadi Kamu (2012)
- Pelabuhan Donggala: Dulu, Kini, dan Nanti (2013)
- Narasi Orang Biasa (2014)
- Selfie: Sewindu Catatan dari Palu (2015)
- Vavu Rone (2017)
- Kisah Dari Miu (2014)
- Bamboo T-Shelter: Hunian Sementara Bambu di Namo, Sigi - Sulawesi Tengah
Penghargaan:
Nemu Buku mendapatkan penghargaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Taman Bacaan Masyarakat Kreatif, September 2014