Industri oleokimia berpotensi dikembangkan untuk mendongkrak nilai tambah. Diversifikasi produk menghadapi tantangan riset dan sumber daya manusia.
Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Industri oleokimia berpotensi dikembangkan untuk mendongkrak nilai tambah. Diversifikasi produk menghadapi tantangan riset dan sumber daya manusia.
Industri oleokimia adalah industri kimia berbasis agro yang mengolah minyak nabati menjadi beraneka produk hilir bernilai tambah. Indonesia memiliki potensi besar pengolahan minyak nabati, terutama dari kelapa sawit, yang dapat diolah menjadi aneka produk turunan yang menopang industri di hilir.
Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Abdul Rochim, pada seminar nasional ”Ragam Industri Pengguna Produk Oleokimia Indonesia”, di Jakarta, Rabu (3/7/2019), menyatakan, industri oleokimia sangat strategis, antara lain, karena mampu mengolah sumber daya minyak kelapa sawit yang melimpah di Indonesia.
Selain bahan baku yang melimpah, pengolahan minyak kelapa sawit menopang pertumbuhan industri hilir terkait. Kemenperin memperkirakan, saat ini sekitar 50 jenis produk dari total 158 hasil olahan minyak kelapa sawit merupakan produk industri oleokimia. Produk olahan itu menjadi bagian bahan baku beraneka produk hilir antara lain untuk pangan, kimia, pakan ternak, dan bioenergi.
Sejumlah produk olahan itu berpotensi dikembangkan menjadi produk lain yang bernilai tambah. Namun, pengembangannya menghadapi tantangan, terutama di sisi penelitian dan sumber daya manusia.
”Pengamanan bahan baku industri dan inovasi untuk menambah ragam jenis produk hilir menjadi tantangan,” kata Abdul Rochim.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (Apolin) Rapolo Hutabarat menyebutkan, saat ini ada 20 perusahaan oleokimia di Indonesia. ”Sepuluh di antaranya menjadi anggota Apolin,” ujar Rapolo dalam seminar yang menghadirkan pembicara dari Kemenperin, Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia, Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia, dan Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia tersebut.
Meningkat
Berdasarkan data Apolin, pada tahun 2016, terdapat 18 perusahaan oleokimia di Indonesia dengan kapasitas produksi 4,376 juta ton asam lemak, 1,96 juta ton alkohol lemak, 863.700 ton gliserin, 1,933 juta tol metil ester, dan 1,838 juta ton soap noodle per tahun. Kapasitas produksi tersebut relatif sama hingga tahun 2018. Namun, pada tahun 2019, kapasitas produksi asam lemak meningkat jadi 4,55 juta ton dan alkohol lemak jadi 2,12 juta ton.
”(Peningkatan) Itu merupakan investasi dua perusahaan yang berlokasi di Dumai (Riau). Nilai investasi industri oleokimia di Dumai tahun 2017 mencapai Rp 4,77 triliun dan pada tahun 2018 sebesar Rp 1,14 triliun,” ujar Rapolo.
Volume dan nilai ekspor produk oleokimia berbasis 15 kode sistem terharmonisasi (HS) meningkat dari 1,797 juta ton senilai 1,534 miliar dollar AS tahun 2017 menjadi 2,765 juta ton senilai 2,382 miliar dollar AS.
Produk-produk oleokimia antara lain digunakan di industri detergen, farmasi, ban, dan kosmetik. ”Pengembangan industri oleokimia masih menjadi tantangan. Riset menjadi salah satu tulang punggung kami dalam mengembangkan berbagai produk tersebut,” ujarnya.
Terkait hambatan itu, pemerintah menyiapkan insentif berupa pengurangan pajak untuk mendorong riset, pengembangan, dan pelatihan oleh swasta tahun ini.
Pemerintah juga menyiapkan lembaga untuk mengarahkan agar dana riset dan pengembangan di lingkungan pemerintahan dapat digunakan dengan jelas dan tepat sasaran.
”Peraturan yang terkait super deduction tax, yakni pengurangan pajak penghasilan badan hingga 200 persen atas belanja wajib pajak untuk keperluan riset produktif teknologi industri, mudah-mudahan segera terbit,” ucap Abdul Rochim.
Ketua Umum Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia Tatang H Soerawidjaja menambahkan, masa depan Indonesia ada di sumber daya nabati.