Profesionalitas Kunci Berantas Korupsi
JAKARTA, KOMPAS – Menjelang penutupan daftar calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi pada Kamis (4/7/2019), panitia seleksi dinilai harus lebih jeli dalam membuat keputusan. Kursi pimpinan KPK sebaiknya diisi oleh kalangan profesional berintegritas tinggi sehingga dapat meningkatkan kinerja pemberantasan korupsi.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2010-2011, Busyro Muqoddas, menyampaikan, pimpinan KPK ke depan harus diisi oleh orang-orang profesional yang independen. Hal ini menjadi syarat mutlak untuk menciptakan pimpinan yang berintegritas dalam memberantas korupsi.
“Kepolisian memang memiliki kewenangan menegakkan hukum di bidang korupsi, namun dinilai belum dapat menjalankan dengan baik dan juga tidak independen. Oleh sebab itu, apabila mau mendaftar harus terlebih dahulu mengundurkan diri. Itu konsekuensinya,” ujar Busyro saat dihubungi Kompas, Rabu (3/7/2019).
Busyro menyoroti, pertama kepolisian menganut sistem komando yang harus tunduk dan menjaga loyalitas kepada institusi. Selain itu, kepala kepolisian yang berada langsung di bawah presiden, sesungguhnya tidak lepas dari kepentingan partai politik.
“Jangan sampai panitia seleksi calon pimpinan KPK menjadi salah persepsi dalam menentukan nama-nama yang akan diloloskan. Sebab, jika para perwira tinggi (pati) Polri lolos sebelum mundur dari jabatan, ke depan akan ada benturan kepentingan organisasi,” tuturnya.
Hingga 2 Juli 2019 ini, sebanyak 133 orang telah mendaftar untuk bersaing menduduki posisi komisioner KPK. Dari jumlah tersebut, ada sebagian yang merupakan penyelenggara negara yang berprofesi sebagai polisi, jaksa, hakim, sampai auditor.
Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian memastikan, sudah terdapat sembilan perwira tinggi (pati) Polri yang mengajukan diri untuk mendaftar sebagai capim KPK. Kesembilan pati itu, antara lain Inspektur Jenderal Antam Novambar, Irjen Dharma Pongrekum, Irjen Coki Manurung, Irjen Abdul Gofur.
Ada juga Brigadir Jenderal (Pol) Muhammad Iswandi Hari, Brigjen (Pol) Bambang Sri Herwanto, Brigjen (Pol) Agung Makbul, Brigjen (Pol) Juansih, dan Brigjen (Pol) Sri Handayani.
Baca juga: Keahlian Pencegahan Menjadi Fokus
Mengundurkan diri
Sejalan dengan Busyro, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, menyampaikan, pengunduran diri pati Polri sebelum mendaftar sebagai capim KPK menjadi hal penting agar tidak ada potensi loyalitas ganda ketika yang bersangkutan menduduki jabatan tinggi di KPK.
“Sederhananya, bagaimana ia (pati Polri) akan menerapkan standar dan tindakan yang sama dalam rangka pemberantasan korupsi kalau pelaku korupsi ke depan berasal dari institusinya terdahulu,” tegas Kurnia.
Selain itu, Kurnia juga menyoroti bahwa seharusnya yang dilakukan oleh kepolisian adalah reformasi internal seperti yang dijanjikan pada 2016. Sebab, reformasi antikorupsi di tubuh Polri masih belum banyak berubah.
“Kami menilai, kalau Polri menyebutkan bahwa sembilan nama itu memiliki rekam jejak yang baik dan paham teknis penanganan korupsi, seharusnya mereka diletakkan di pos tertentu dalam instansi kepolisian,” ujar Kurnia.
Hasil survei penilaian integritas oleh KPK pada 2017 menunjukkan, keseriusan kepolisian dalam memberantas korupsi masih tergolong rendah. Rata-rata penilaian integritas berada pada skor 66. Sementara Kepolisian Negara RI menempati skor yang rendah, yaitu 54,01 dibandingkan lembaga pemerintah pusat dan daerah. (Kompas, 22/11/2018).
Harus independen
Busyro menyampaikan bahwa ada kekhawatiran terhadap panitia seleksi calon pimpinan KPK (pansel capim KPK) sejak awal dibentuk. Menurutnya, pansel kurang mencerminkan pemahaman terhadap nilai-nilai KPK.
“Semestinya, pansel memasukkan empat nilai KPK sebagai kriteria penilaian. Nilai tersebut, yaitu semua pihak terutama pansel dan pemerintah perlu lebih mendalami latar belakang dan sejarah mengapa KPK dibentuk. Kemudian, pansel harus memahami isi Undang-Undang KPK berikut pasal-pasal penjelasannya,” ujar Busyro.
Nilai selanjutnya, yakni pansel harus memahami peraturan kepegawaian KPK. Terakhir, yaitu memahami watak profesional yang independen dari pimpinan KPK sejak periode pertama dibentuk.
Namun, Busyro menilai pansel saat ini kurang mencerminkan nilai-nilai tersebut. Bahkan keempat nilai tersebut tidak dimasukkan dalam kriteria atau syarat pokok dari penilaian capim KPK.
“Malah sebaliknya, pansel memasukkan unsur baru tentang radikalisme yang saya sendiri tahu bahwa tidak ada benih-benih itu. Ini menjadi hal yang kontraproduktif,” papar Busyro.
Baca juga: Pansel Perlu Cermati LHKPN Capim KPK
Kurnia juga menyampaikan, pansel capim KPK harus memastikan bahwa yang mendaftar bukan berkeinginan sebagai job seeker atau hanya coba-coba, namun harus memenuhi kriteria yang ditetapkan.
“Misalnya, integritas, pemahaman perkara korupsi, memahami pemberian efek jera, dan pengetahuan soal manajerial lembaga. Penting juga melihat rekam jejak karena tidak mungkin apabila yang bersangkutan pernah melanggar hukum atau melanggar etik bisa diterima oleh pansel,” katanya.
Untuk itu, pansel capim KPK harus benar-benar jeli agar pimpinan KPK tidak dimasuki oleh orang-orang yang justru ingin menggembosi kewenangan KPK. Bahkan, mengganggu proses penanganan perkara yang sedang berlangsung.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif juga berharap agar pimpinan KPK ke depan diisi oleh warga negara Indonesia yang memiliki integritas dan pengetahuan cukup tentang antikorupsi.
“Dengan begitu, mudah-mudahan banyak yang mendaftar agar terpilih pimpinan KPK ke depan yang jauh lebih bagus dari kami,” kata Laode.