Suatu siang, lantai dasar sebuah mal di Provinsi Banten dipenuhi pengunjung. Mereka menyerbu gerai-gerai makanan dan minuman di mal itu. Pilihan ada di tangan konsumen, ingin menyeruput kopi, makan mi, mengudap roti bakar, atau menyantap salad. Tinggal pilih, datangi, lalu pesan. Sesekali perlu sedikit taktik dan strategi di akhir pekan, tepat pada jam makan siang. Sebab, di waktu itu, kursi kosong tak akan lolos dari incaran pengunjung.
Banyak keluarga atau pasangan muda makan di mal yang dikepung permukiman itu. Pengunjung yang datang umumnya bergaya santai.
Di sebuah mal lain di Jakarta, makan siang jadi puncak keramaian, terutama pada hari kerja. Pada jam istirahat kantor, gerai makanan dan restoran di mal itu ramai. Selepas waktu istirahat siang, keramaian mal kembali normal. Di akhir pekan, kesibukan di mal yang dekat dengan kawasan perkantoran itu berjalan santai.
Kedua mal tersebut, seperti halnya banyak mal atau pusat perbelanjaan di kota-kota besar Indonesia saat ini, ramai karena pengunjung yang makan, minum, atau rekreasi. Mereka memanfaatkan waktu bersantai bersama keluarga sambil menikmati waktu luang.
Seorang pelaku bisnis ritel mengungkapkan, ibaratnya, kini orang mengisi perut dulu dan bersantai di mal, kemudian berbelanja. Bahkan, bisa jadi berbelanja tak lagi ada dalam jadwal setelah makan. Sebab, akses untuk membeli barang-barang yang dibutuhkan semakin luas, antara lain membeli barang di laman penjualan dalam jaringan.
Maka, pusat perbelanjaan dan mal mesti bersiasat agar tak sepi. Gerai belanja dibuat semenarik mungkin dengan gaya yang memberi pengalaman baru dan menawarkan daya tarik bagi pembeli. Gerai belanja, misalnya, bekerja sama dengan penyedia jasa sistem pembayaran yang memberikan imbal tunai bagi pembeli yang membayar dengan sistem pembayaran tertentu. Upaya lain, gerai bekerja sama dengan merek-merek ternama untuk menyediakan produk dalam jumlah dan desain terbatas, khusus di jaringan gerai tersebut.
Namun, pada akhirnya, mengutip seorang pelaku ritel, upaya itu mesti dipadupadankan dengan tren masyarakat terkini. Kegiatan konsumen di mal—yang tak lagi didominasi belanja, melainkan makan, minum, dan bersantai—mesti diakomodasi. Pusat perbelanjaan atau mal yang terlambat menyediakan kebutuhan sesuai tren yang tengah berkembang di masyarakat bisa jadi akan ditinggalkan pengunjung. Sepi.
Pelaku usaha ritel menyadari perubahan perilaku masyarakat. Ada yang menyebut sebagai anomali perilaku konsumen. Namun, seorang pelaku usaha ritel mengakui, anomali itu lambat laun menjadi hal yang normal. Disebut anomali karena di luar dugaan pelaku ritel.
Pelaku usaha yang tak ingin ketinggalan tren segera mengubah format bisnisnya. Semula bisnisnya mengandalkan penjualan barang dalam banyak jenis dengan ukuran ruang yang luas. Dengan kata lain, konsumen yang masuk ke tempat belanja itu bisa mendapatkan semua yang dibutuhkan. Bahkan, bisa membeli barang yang semula tidak direncanakan.
Namun, kini, pelaku usaha memilih strategi yang taktis. Ruang belanja disesuaikan dengan kebutuhan konsumen. Tak perlu terlalu besar, tetapi fokus pada kebutuhan konsumen. Pilihan barang yang disediakan pelaku usaha berdasarkan basis data yang dihimpun dari perilaku konsumen selama beberapa waktu terakhir. Di sisi lain, basis data juga digunakan untuk kepentingan yang lebih luwes, misalnya menawarkan diskon atau promosi tertentu kepada konsumen secara lebih personal.
Pelaku usaha menyadari, konsumsi masyarakat masih jadi penggerak perekonomian Indonesia. Pada triwulan I-2019, konsumsi masyarakat menyumbang 2,75 persen dari pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5,07 persen. Oleh karena itu, ketertarikan konsumen mesti tetap dijaga.