Layanan yang memberi kemudahan mencari penginapan murah berbasis digital menjadi tren di Indonesia. Pertumbuhan itu harus diikuti dengan standardisasi layanan dan sumber daya manusia untuk menjaga kualitas pariwisata nasional.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Layanan yang memberi kemudahan mencari penginapan murah berbasis digital menjadi tren di Indonesia. Pertumbuhan itu harus diikuti dengan standardisasi layanan dan sumber daya manusia untuk menjaga kualitas pariwisata nasional.
Saat ini mulai banyak penyedia akomodasi berbasis teknologi, seperti Airy Rooms, Oyo Rooms, dan Red Doorz. Penyedia itu bekerja sama dengan mitra, yaitu penginapan untuk menawarkan hotel murah berkisar Rp 200.000-Rp 500.000 per malam.
Kepala Bidang Aksesibilitas Kementerian Pariwisata Agus Setiawan mengatakan, penyedia akomodasi sejenis itu sedang mengalami peningkatan tren di Indonesia. Salah satu penandanya adalah dengan masuknya pelaku asing dari India, yaitu Oyo Rooms.
Hotel yang murah, menurut Agus, merupakan sebuah pilihan yang cukup diminati wisatawan domestik. Adapun wisatawan domestik merupakan penyumbang tertinggi pariwisata nasional yang mencapai 275 juta wisatawan per tahun.
Karena itu, penyedia akomodasi itu perlu menjamin standar kualitas di setiap penginapan yang sudah tersebar di sejumlah daerah. ”Kebutuhan ruangan merupakan salah satu faktor terpenting kembalinya wisatawan. Hal itu menjadi impresi pertama daya tarik, baik wisatawan mancanegara (wisman) maupun turis domestik,” ujar Agus saat menghadiri acara diskusi bersama Airy Rooms pada Rabu (3/7/2019) di Jakarta.
Standardisasi kualitas semakin penting karena kebutuhan akan hotel murah melalui penyedia berbasis teknologi diperkirakan meningkat. Dengan mahalnya tiket pesawat, wisatawan domestik yang memiliki budget terbatas akan mengurangi biaya akomodasinya melalui hotel murah.
Nilai belanja turis domestik mencapai Rp 287 triliun pada 2018. Jumlah itu terus meningkat dari tahun ke tahun dan melebihi sumbangan nilai belanja wisman yang mencapai Rp 221 triliun.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Khairul Anwar mengatakan, sumber daya manusia (SDM) merupakan salah satu kunci dalam sektor pariwisata. Kenyamanan wisatawan akan tergantung pada kualitas SDM.
Saat ini, sumbangan lapangan pekerjaan dari bidang pariwisata selalu bertumbuh. Pada 2018, jumlah lapangan kerja mencapai 13 juta jiwa atau meningkat 3 persen secara tahunan.
”Bicara tenaga kerja, ini menjadi hal yang sangat perlu menjadi perhatian selaku pengusaha. Kalau dilihat dari struktur ketenagakerjaan, angkatan kerja ini sebanyak 192 juta. Mayoritasnya atau 58 persen hanya setingkat SMP,” tutur Khairul yang juga hadir dalam acara tersebut.
Dengan data tersebut, ucap Khairul, bisa dipastikan sekitar 6 dari 10 orang tidak dapat masuk dengan baik ke pasar kerja. ”Persentase mismatch dari 4 orang itu saat memasuki pasar kerja mencapai 50 persen menurut perhitungan kami. Jadi tinggal 2 orang yang masuk kriteria,” ujarnya.
Oleh karena itu, Kemenaker meminta bantuan dari pihak-pihak swasta, utamanya penyedia akomodasi berbasis tekonologi, untuk melatih SDM yang bekerja di mitra-mitra hotelnya. ”Sebab, kalau pemerintah sendiri tidak akan sanggup. Harus ada bantuan, terutama perusahaan yang menjadi mitranya,” kata Khairul.
Berdasarkan data Airy, SDM merupakan masalah utama yang dihadapi pelaku usaha di bidang akomodasi digital. Dari pegawai mitra Airy yang berjumlah 5.270 orang, hanya 32 persen yang berlatar belakang perhotelan dan hanya 13 persen yang mengambil sekolah jurusan pariwisata.
Vice President Commercial Airy Viko Gara mengatakan, pihaknya menciptakan Airy Community dalam rangka peningkatan standar SDM pegawai mitra-mitranya. Pada 2019 ini, mereka berencana melatih 4.000 peserta di 13 kota. ”Untuk memenuhi standar SDM, kami menyiapkan pelatihan itu untuk memaksimalkan pekerja yang mayoritas lulusan SMA atau SMK. Kami ingin ada peningkatan terhadap kualitas mereka,” ucap Viko.
Sementara itu, Airy sedang berupaya menghapus citra hotel melati yang selama ini menempel pada penginapan seharga Rp 200.000-RP 500.000. Untuk itu, mereka menerapkan standar yang sama pada setiap penginapan dengan menyediakan foto kamar dan ulasan pelanggan.
Setelah berdiri pada 2015, Airy terus berkembang dan telah memiliki seribu properti di lebih dari 90 kota. Adapun tingkat okupansi mitra Airy mencapai 60-70 persen. ”Kebutuhan bepergian beberapa tahun belakangan semakin meningkat. Kami melihat banyak tren wisatawan lokal yang budget minimum, tetapi ingin jalan-jalan. Kelas itu merupakan target utama kami,” kata Viko.