Upaya pendataan maleo di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone mulai dilakukan dengan bantuan cincin bernomor seri yang dipasangkan pada kaki satwa endemik Sulawesi itu.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·3 menit baca
MANADO, KOMPAS – Meski telah mengawal penetasan telur dan pelepasliaran 17.270 burung maleo sejak 2001, pendataan populasi satwa endemik Sulawesi itu sangat sulit dilakukan pengelola Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Untuk keperluan itu, pihak pengelola mencoba metode memasangkan cincin bernomor seri pada kaki lima ekor maleo dewasa yang dilepasliarkan beberapa waktu lalu.
Kepala Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) Supriyanto mengatakan, jumlah telur yang ditetaskan di tiga suaka burung maleo (Macrocephalon maleo) meningkat dalam beberapa waktu terakhir, dari 16.170 pada Maret 2018 menjadi sekitar 17.270. “Namun, kami belum tahu bagaimana cara memantau setiap individu maleo,” katanya, ketika dihubungi dari Manado, Sulawesi Utara, Selasa (2/7/2019).
Salah satu suaka maleo yang menjadi pusat peneluran, pengembangbiakan, dan penelitian adalah Suaka Maleo Tambun di Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulut, yang didirikan tiga tahun lalu. Maleo generasi pertama yang ditetaskan dan dikembangkan selama tiga tahun di kandang habituasi (pembesaran) akan dilepasliarkan ke kawasan hutan lindung TNBNW.
Untuk mengawasi jumlahnya setelah dilepasliarkan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengusulkan pemasangan cincin penanda burung (bird ring). Namun, TNBNW belum memiliki sertifikat penandaan burung Indonesian Bird Banding Scheme (IBSS).
“Jadi, kami bekerja sama dengan peneliti Universitas Atma Jaya Yogyakarta (Ignasius Pramana Yudha) yang memiliki sertifikat untuk tagging (menandai) burung. Beliau sedang meneliti genetika burung maleo. Bird ring itu milik LIPI sehingga tidak ada biaya yang perlu dikeluarkan TNBNW,” ujar Supriyanto.
Pramana Yudha, yang juga menjabat Presiden Perhimpunan Ornitolog Indonesia, mengatakan, cincin penanda burung terbuat dari logam campuran aluminium dan nikel dengan diameter 1 sentimeter. Cincin itu dapat membantu para petugas mengenali maleo di Suaka Maleo Tambun dengan memerhatikan nomor seri IBSS.
“Kekuatan cincin ini terletak pada kualitas bahan yang tahan lama. Tapi, kelemahannya adalah fungsi manualnya (tidak elektronik). Untuk mengenali satu individu maleo, petugas harus menangkap dulu, tidak bisa hanya diamati dengan teropong binokular,” kata Pramana.
Pramana memastikan, cincin ini dapat membantu memperkirakan jumlah populasi maleo. Metode yang digunakan adalah capture, marking, release, recapture (tangkap, beri tanda, lepasliarkan, dan tangkap ulang).
“Semakin banyak yang dipasangi cincin, kemungkinan mengetahui estimasi populasi semakin besar. Tantangannya adalah kesulitan menangkap,” ujar Pramana.
Ia menyarankan agar maleo dari tiga suaka di TNBNW dipasangi cincin dengan tiga warna berbeda. Umur, distribusi, jalur pergerakan, dan perilaku maleo lainnya akan dapat dilacak dengan bantuan bird ring tersebut.
Setiap bulan, 110-125 telur menetas di Suaka Maleo Tambun, sementara 300 telur menetas di Suaka Maleo Hungayono, Gorontalo. Satu lagi suaka maleo terletak di Muara Pusian, Bolaang Mongondow.
Daya jelajah
Hanya lima ekor maleo usia tiga tahun yang dipasangi cincin pada kakinya untuk uji coba awal. Menurut Supriyanto, cincin itu dapat membantu memantau daya jelajah maleo yang telah dibesarkan di Suaka Maleo Tambun. Petugas yang tengah berpatroli dapat menangkapnya, kemudian melihat nomor seri cincin.
“Daya jelajah maleo masih belum bisa dipastikan. Itu menjadi pekerjaan rumah kita untuk menambah data tentang maleo. Daya jelajah juga dapat membantu mengamati sebaran DNA maleo di TNBNW, apakah saling berdekatan atau lebih beragam,” kata Supriyanto.
Di samping itu, cincin pada kaki burung juga membantu melihat berapa jumlah maleo yang kembali lagi ke Suaka Maleo Tambun atau ke dua suaka lainnya untuk bertelur. Jika semakin banyak, TNBNW dapat mengambil kebijakan menambah kapasitas kandang penetasan (hatchery), mengatur kerapatan pepohonan area peneluran, dan sebagainya.
Sementara itu, Koordinator Lapangan Enhancing the Protected Area System in Sulawesi (EPASS) Elisabeth Purastuti mengatakan, sebelum maleo dilepasliarkan, dilakukan pengukuran rangka maleo (morfometrik). Diambil pula sampel darah maleo untuk memastikan maleo bebas dari parasit darah. “Semua maleo sehat dan siap dilepasliarkan ke alam,” katanya.