Penyatuan Butuh Langkah Konkret
Contoh dari elite dibutuhkan untuk menyatukan kembali masyarakat yang terbelah karena pemilu. Penguatan kembali ideologi Pancasila juga mendesak dilakukan.
Contoh dari elite dibutuhkan untuk menyatukan kembali masyarakat yang terbelah karena pemilu. Penguatan kembali ideologi Pancasila juga mendesak dilakukan.
JAKARTA, KOMPAS — Penyatuan kembali masyarakat yang terbelah akibat kontestasi pada Pemilu 2019 butuh sejumlah langkah konkret. Teladan dan peran aktif dari elite politik serta tokoh masyarakat dan agama amat dinanti untuk mewujudkan hal itu.
Hal tersebut mendesak, antara lain, terlihat dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas, 26-27 Juni 2019. Dari 545 responden di 16 kota besar di Indonesia dalam jajak pendapat itu, 84 persen menyatakan, menyatukan kembali masyarakat yang terbelah pada pemilu lalu menjadi hal yang mendesak atau sangat mendesak dilakukan.
Sebagai bagian dari langkah mewujudkan penyatuan masyarakat ini, Presiden Joko Widodo menegaskan, dirinya akan memperhatikan semua daerah dan rakyat Indonesia.
”Jadi, tidak ada yang namanya daerah kalah (di pemilu) tidak diperhatikan. Jangan sampai ada rasa seperti itu. Saya harapkan juga gubernur, bupati, dan wali kota melakukan hal yang sama. Jangan sampai nanti ada gubernur, ada yang wilayah menang, ada yang kalah kemudian dibedakan. Bupati juga sama,” kata Jokowi, Senin (1/7/2019), di Istana Bogor.
Dalam kesempatan itu, Jokowi yang bersama Ma’ruf Amin telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI terpilih 2019-2024 juga mengatakan, kontestasi seperti pada pemilu presiden akan terus terulang setiap lima tahun. Namun, pada saat yang sama, kita harus menuju pada pendewasaan politik. Hal itu dimulai dari elite-elite politik. Pasalnya, masyarakat akan melihat dan mengikuti contoh dari para panutannya.
Terkait hal itu, para tokoh agama dan masyarakat juga memberi contoh. ”Kita ingin tokoh agama, tokoh masyarakat, bisa mendinginkan suasana, bisa memberikan kata- kata yang menyejukkan,” kata Jokowi.
Konflik
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Firman Noor khawatir ada pihak-pihak tertentu yang sengaja ingin memelihara konflik dan keterbelahan yang kini terjadi di masyarakat.
Guna mengatasi hal itu, Firman berharap para elite politik yang berbeda sikap saat pemilu lalu dapat segera bertemu dan puncak dari pertemuan itu adalah pertemuan antara Jokowi dan Prabowo Subianto. ”Harus ada langkah konkret yang secara simbolis bisa menunjukkan kesungguhan para elite,” katanya.
Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Johnny G Plate mengatakan, seusai pemungutan suara 17 April 2019, pihaknya telah berusaha mengajak Prabowo bertemu dengan Jokowi. Namun, hal itu tak kunjung terwujud.
Kini, lanjut Johnny, pihaknya tinggal menunggu sambutan dari pihak Prabowo-Sandiaga Uno untuk bertemu. ”Jangan tanya Pak Jokowi karena kami sudah berulang kali tawarkan, mau bertemu dengan Pak Prabowo langsung atau dimulai dengan Pak Sandiaga dulu, tidak masalah,” katanya.
Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera mengatakan, masih ada sejumlah elemen di sekitar pendukung Prabowo yang belum bisa menerima putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan Prabowo-Sandi dalam perkara sengketa hasil pemilihan presiden. Pandangan kelompok itu masih dipertimbangkan oleh Prabowo.
”Walaupun, menurut saya pribadi, sebagai politisi, harus ada etiket dan rasionalitas. Karena kontestasi sudah selesai, seharusnya sampaikan selamat kepada Pak Jokowi sebagai pemenang. Di satu sisi, memang perlu menghargai pandangan pihak lain, tetapi mereka juga harus diajari rasionalitas dalam berpolitik,” tuturnya.
Mardani mengusulkan adanya pertemuan lintas elite politik dari kedua kubu sebagai forum musyawarah pendahuluan sebelum Jokowi dan Prabowo bertemu empat mata.
Selain pertemuan para elite, lanjutnya, upaya lain yang perlu dilakukan adalah proses penegakan hukum yang akuntabel dan adil serta penguatan ideologi Pancasila di tengah masyarakat.
”Jadi, perlu seimbang antara proses politik, proses penegakan hukum, dan penegakan ideologi Pancasila di tengah masyarakat. Diskusi terbuka diperlukan untuk menumbuhkan rasa saling percaya,” katanya.
Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, menuturkan, pendekatan hukum yang selama ini dilakukan pemerintah, antara lain dengan penangkapan orang-orang yang diduga menjadi provokator atas terjadinya konflik horizontal di masyarakat, sebenarnya merupakan langkah terakhir yang bisa diambil Jokowi-Amin.
”Saat ini, yang lebih diperlukan adalah pendekatan yang bersifat rekonsiliatif, misalnya persuasif, dan mencoba pendekatan yang empatik serta dialogis,” katanya.
Penguatan ideologi
Jajak pendapat Litbang Kompas pada 26-27 Juni menunjukkan, penguatan ideologi Pancasila juga perlu segera dilakukan Jokowi. Sebanyak 79,1 persen responden dari jajak pendapat itu mengatakan, penguatan ideologi Pancasila mendesak atau sangat mendesak dilakukan.
Terkait hal itu, Jokowi sebenarnya telah mengambil langkah maju dengan membentuk Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Namun, sekitar satu tahun terakhir, kepala definitif BPIP belum terpilih kembali setelah mundurnya Yudi Latif, Juni tahun lalu.
”Kepala definitif di BPIP harus segera diisi karena posisi itu sangat menentukan efektivitas lembaga tersebut dalam menjalankan tugasnya,” ujar Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi Universitas Jember Bayu Dwi Anggono.
Saat ini, BPIP sudah selayaknya mulai tampil ke publik untuk merespons dan menindaklanjuti secara konkret segala permasalahan terkait ideologi negara, seperti menguatnya paham radikal yang ditengarai terjadi di sejumlah lembaga pendidikan dan pemerintahan. (AGNES THEODORA/SUHARTONO)