Aksi peternak ayam pedaging di Yogyakarta, Semarang, dan Solo, pekan lalu, mengirim pesan kuat bahwa masalah yang melilit industri peternakan unggas Tanah Air belum teratasi.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·3 menit baca
Aksi peternak ayam pedaging di Yogyakarta, Semarang, dan Solo, pekan lalu, mengirim pesan kuat bahwa masalah yang melilit industri peternakan unggas Tanah Air belum teratasi. Problem anjloknya harga jual terus berulang hingga ”menggulung” para peternak bermodal cekak.
Seperti pernah digelar di Jakarta, 5 Maret 2019, peternak kembali membagikan ribuan ayam secara gratis kepada masyarakat. Aksi itu sebagai bentuk protes atas anjloknya harga jual ayam. Harga di tingkat peternak di Yogyakarta, misalnya, berkisar Rp 7.000-Rp 8.000 per kilogram (kg). Padahal, ongkos produksinya mencapai Rp 18.700 per kg.
Fakta pahit tersebut tidak terjadi kali ini saja. Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Indonesia mencatat, harga rata-rata bulanan ayam hidup di tingkat peternak kerap di bawah ongkos produksi, yakni 21 bulan dari total 38 bulan selama kurun Januari 2016 hingga Februari 2019.
Ada beberapa faktor pemicu anjloknya harga, tetapi surplus produksi sering dituding sebagai biang utama. Padahal, kelebihan produksi semestinya merupakan prestasi, bukan bencana yang mengubur para pelakunya sendiri. Ironisnya, selain tutupnya sebagian kandang peternak kecil, kelebihan produksi diikuti ”program” pengurangan bibit dan atau afkir dini.
Afkir dini dan pengurangan bibit jadi jurus jangka pendek yang ditempuh pemerintah, asosiasi, dan pelaku usaha untuk menyeimbangkan pasokan dan permintaan. Langkah mubazir ini semestinya bisa dihindari jika ritme produksi di hulu hingga pasar di hilir bisa dijaga dengan baik oleh pemerintah.
Kegagalan mendata dan mengawasi tecermin dari fluktuasi yang masih kerap terjadi. Data inflasi Juni 2019 dan Juli 2018 terkait harga daging dan telur ayam ras, misalnya, bisa jadi cermin. Sama-sama seusai Lebaran, tetapi situasinya serba bertolak belakang. Tahun lalu, harga daging dan telur ayam ras naik dan jadi penyumbang utama inflasi Juli 2018. Sementara pada Juni 2019, dua komoditas itu justru jadi penyumbang deflasi meski secara bulanan terjadi inflasi.
Terkait fluktuasi produksi, akurasi data menjadi kunci. Data produksi biang bibit, calon indukan, dan bibit ayam mesti terintegrasi. Jumlahnya tidak boleh terlalu berlebih atau sangat kurang untuk menjamin stabilitas harga. Problem jagung, harga pakan, dan obat juga menunggu penyelesaian.
Pekerjaan rumah lain yang tidak kalah penting adalah pengembangan usaha di hilir. Peningkatan produksi ayam membutuhkan rumah pemotongan unggas, infrastruktur pendingin, dan industri pengolah yang memadai. Dengan demikian, hasil produksi bisa disimpan, dikelola, dan diolah jadi produk bernilai lebih tinggi.
Demi menjamin segenap fungsi itu, Kementerian Pertanian tak bisa bekerja sendiri untuk mendorong produksi di hulu. Kementerian Perdagangan mesti berperan dalam stabilisasi harga di pasar, sementara Kementerian Perindustrian membangun industri pengolahan.
Jika menilik situasi sepuluh tahun terakhir, kiranya pemerintah perlu memberi perhatian lebih pada peternak mandiri, mereka yang makin rentan tersingkir oleh ketatnya kompetisi. Sejumlah asosiasi menilai, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan membuka peluang persaingan usaha tidak sehat karena penguasaan bibit, pakan, dan obat serta kesempatan budidaya.
Bagaimanapun, industri ini menghidupi jutaan tenaga kerja di pembibitan, budidaya, pabrik pakan, obat, hingga distribusi. Sebagian peternak menghadapi kuldesak (jalan buntu). Jangan sampai makin redup atau mati.