JAKARTA, KOMPAS - Desain Pemilu 2019 yang diselenggarakan secara serentak antara pemilu presiden dan pemilu legislatif membawa sejumlah implikasi. Kelelahan penyelenggara pemilu yang memicu kematian, hingga keterlambatan distribusi logistik pun menjadi catatan.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, Senin (1/7/2019) di Jakarta, mengatakan, sistem keserentakan pemilu dengan lima surat suara tidak kompatibel bagi peserta pemilu, penyelenggara, dan pemilih.
Perludem antara lain mengusulkan adanya pemisahan antara pemilu lokal dan pemilu nasional. Pemilu lokal meliputi pemilihan DPRD dan kepala daerah (pilkada), sedangkan pemilihan nasional meliputi pemilihan presiden, DPR, dan DPD.
Untuk mendesain ulang pemilu, menurut Titi, harus dilakukan evaluasi menyeluruh oleh pembuat undang-undang (UU) yang melibatkan pula secara inklusif penyelenggara dan pemangku kepentingan terkait. Harus ada sinkronisasi antara UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU Parpol.
"Dimulai dengan redesain keserentakan pilkada yang menurut Pasal 201 UU 10/2016 akan diserentakkan secara nasional pada bulan November 2024. Belajar dari kompleksitas pemilu 2019, sangat tidak mungkin dilaksanakan. Bagaimana mungkin di tahun yang sama, 2024, kita melaksanakan pileg, pilpres, dan pilkada sekaligus," katanya.
Anggota KPU Wahyu Setiawan mengatakan, usulan untuk menyelenggarakan pemilu lokal dan pemilu nasional secara terpisah itu dipandang relevan dengan kondisi teknis yang harus dihadapi oleh penyelenggara.
"KPU memandang UU Pemilu perlu diperbaharui, terutama yang menyangkut keserentakan pemilu. Kami nanti juga akan menyampaikan masukan dan rekomendasi hasil evaluasi pemilu kepada pembuat kebijakan," kata Wahyu.
Secara teknis, pembagian pemilu lokal dan pemilu nasional akan membuat pembagian tanggung jawab menjadi lebih mudah. Dengan pemilu serentak seperti model tahun 2019, semua beban berada di KPU RI. Dengan adanya pemisahan pemilu lokal dan nasional, akan ada kesempatan pembagian tanggung jawab antara KPU daerah dengan KPU RI.
Di sisi lain, hal-hal teknis yang menyangkut distribusi logistik dan beban pekerjaan oleh kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) akan lebih mudah ditangani.
"Dengan pemilu serentak antara pilpres dan pileg ini, salah satunya yang mendapatkan beban berat ialah KPPS. Mereka harus bekerja lebih dari delapan jam, bahkan sampai dua hari untuk menyelesaikan penghitungan suara. Ini beban pekerjaan yang tidak seimbang dengan kemampuan manusiawi," kata Wahyu.
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja mengatakan, selain mengevaluasi keserentakan pemilu, pembuat kebijakan perlu juga memerhatikan mengenai peran Bawaslu ke depannya. Sebab, saat ini selain menjadi pengawas pemilu, Bawaslu juga menyidangkan sengketa administratif.
"Perlu dilihat apakah nantinya peran Bawaslu tetap seperti sekarang, ataukah diubah dengan adanya pengadilan pemilu. Sebagai contoh, apakah pengawasan dilakukan Bawaslu, lalu putusannya diserahkan kepada pengadilan pemilu," kata Bagja.
Dengan kewenangan yang dimiliki Bawaslu sekarang, menurut Bagja, desain pemilu semakin baik, dan memberi jaminan keadilan elektoral yang lebih baik bagi pencari keadilan. Hanya saja, perlu dipikirkan di dalam revisi UU Pemilu tentang peran ganda Bawaslu sebagai pengawas dan pengadil pelanggaran administratif pemilu.
"Bawaslu yang mengawasi dan melaporkan, lalu Bawaslu pula yang memutus atau mengadili. Dalam konsep ini ada sesuatu perlu diperbaiki. Karena itu, dalam prakteknya, kami memita Bawaslu di tingkatan yang lebih tinggi untuk mengadili pelanggaran administratif di bawaslu atau panwaslu di bawahnya," kata Bagja.
Wacana lain yang mengemuka ialah apakah pengadilan pemilu yang dibentuk nantinya sekaligus menggantikan peran Mahkamah Konstitusi (MK) dalam memutuskan sengketa hasil pemilu. Namun, menurut Bagja, untuk mengubah kewenangan MK harus melalui perubahan konstitusi.