DENPASAR, KOMPAS—Tradisi masyarakat Bali menghormati dan memuliakan air sudah berlangsung sekitar 1000 tahun lalu. Kearifan lokal itu berlanjut terus-menerus hingga saat ini.
Keberadaan candi-candi tebing di sepanjang Tukad atau Sungai Pakerisan seperti tempat pertapaan dan Candi Gunung Kawi merupakan situs-situs yang menjadi bukti nyata tradisi pengelolaan sumber daya air di Bali sejak dahulu kala yang masih tetap utuh keadaannya sampai kini. Candi Gunung Kawi merupakan lokasi petirtaan sekaligus petapaan yang dibangun raja Marakata sekitar tahun 1049- 1077.
Seperti di Candi Gunung Kawi, di Pura Taman Ayun juga terdapat kolam luas yang menampung air untuk keperluas subak para petani setempat. Kolam ini diperkirakan sudah ada sejak abad ke-16.
Di Pura Dalem Sinunggal (Beji atau mata air Pura Taman Ayun), masyarakat setempat mengantisipasi potensi longsor dengan menanam pepohonan di kawasan tersebut. Pemuliaan tanaman ditandai dengan pemasangan kain-kain di pohon.
"Tujuan mereka membuat bangunan-bangunan ini untuk menghindari tragedi kerusakan lingkungan. Kalau tidak ada pura, maka masyarakat akan mudah merusak atau mengubah,” kata I Made Geria, Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dalam acara Focus Group Discussion Penelitian Arkeologi “Peradaban Bali dalam Pengelolaan Sumber Daya Air”, Senin (1/7/2019) di Denpasar, Bali.
Tujuan mereka membuat bangunan-bangunan ini untuk menghindari tragedi kerusakan lingkungan.
Keberlangsungan ke depan
Tak dimungkiri, di sejumlah tempat di Bali terjadi degradasi kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya air. Degradasi yang ada terkait dengan aspek kendala ekonomi serta masuknya pemodal dari luar yang tak sesuai dengan konsep konservasi. Menurut Geria, sekarang kekuatan pertahanan tata kelola air di Bali seperti subak salah satunya adalah ideologi masyarakat.
“Di beberapa daerah, walaupun sawah mereka telah hilang, mereka tetap menjalankan ritual mapag toya,” ucapnya.
Karena itulah, Puslit Arkenas menggelar penelitian khusus terkait keberlangsungan pengelolaan sumber daya air di Bali. Diharapkan dengan pelibatan para ahli dari berbagai disiplin ilmu, apa yang dilakukan dan diwariskan para leluhur di Bali bukan lagi dimaknai sekedar sebagai gugon tuhon (larangan-larangan) semata, tetapi memiliki landasan keilmuwan.
Nana Mulyana, dosen Hidrologi dari Universitas Pertanian Bogor mengatakan, masyarakat Bali sudah memiliki kemandirian air sejak abad ke-11. Menurutnya, ini adalah kerifan lokal yang terbaik di seluruh Indonesia dalam konteks tata kelola sumber daya air.
“Tidak ada organisasi pengelolaan air yang sedetail subak di Bali, mulai dari sisi sosial budaya, kelembagaan, hingga tutupan lahan. Di Bali, mengelola air sudah menjadi bagian dari spirit hidup,” kata dia.
Sejak subak ditetapkan sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO, kawasan Jatiluwih, Tabanan, Bali ramai dikunjungi wisatawan domestik maupun mancanegara. Tokoh subak di Jatiluwih, I Gede Suweden mengungkapkan, kini setiap desa rata-rata mendapatkan penghasilan kotor Rp 1,8 Miliar per tahun dari penjualan tiket.
“Pendapatan itu dibagi secara proporsional untuk pengelola, pemerintah daerah, desa, dan masyarakat di kawasan ‘subak kering’ atau daerah tempat resapan air di atas hulu mata air,” ujarnya.