Dewan Perwakilan Rakyat Aceh tengah menggodok qanun atau peraturan daerah tentang perlindungan satwa liar di Aceh.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS - Dewan Perwakilan Rakyat Aceh menggodok qanun atau peraturan daerah tentang perlindungan satwa liar di Aceh. Selain untuk menyelamatkan satwa, regulasi tersebut juga mengatur pengelolaan kawasan dan pemanfaatan konservasi.
Ketua tim perumus rancangan qanun perlindungan satwa liar, Nurzahri, di Banda Aceh, Selasa (2/7/2019), mengatakan, regulasi di tingkat daerah akan memperkuat aturan yang dibuat oleh pemerintah pusat dalam upaya melindungi satwa. Dengan adanya qanun, penganggaran dan kebijakan pembangunan terkait satwa dianggap akan lebih baik.
Nurzahri mengatakan, qanun ini sangat penting untuk memastikan keberlangsungan hidup satwa liar di Aceh, seperti gajah, orangutan, badak, dan harimau. Saat ini, qanun masih dalam bentuk draf, tapi Nurzahri berharap bisa disahkan tahun ini.
Dengan adanya qanun, semua pihak, baik pemerintah dan swasta, memiliki wadah untuk bekerja sama dalam melindungi satwa.
Qanun perlindungan satwa liar itu terdiri dari 15 bab, mulai dari pengelolaan habitat, penanggulangan konflik, penelitian, kemitraan, pembiayaan, hingga sanksi.
"Selama ini, perlindungan telah dilakukan meski belum maksimal. Dengan adanya qanun, semua pihak, baik pemerintah dan swasta, memiliki wadah untuk bekerja sama dalam melindungi satwa," kata Nurzahri.
Nurzahri menambahkan, konflik antara satwa dan manusia di Aceh terjadi kian masif. Rumah dan perkebunan warga rusak karena diamuk gajah, bahkan juga sampai memakan korban jiwa. Di sisi lain, satwa lindung diburu dan dibunuh untuk diperjualbelikan.
Alih fungsi habitat satwa menjadi area budidaya dan pembangunan membuat ruang gerak satwa terbatas. Akibatnya, konflik terbuka kerap terjadi.
Dalam qanun ini, perusahaan yang lokasi kegiatannya bersinggungan dengan satwa harus ikut melindungi.
Nurzahri mengatakan, dalam qanun tersebut, diatur pola pengelolaan kawasan yang menjadi habitat satwa sehingga manusia bisa hidup berdampingan dengan satwa. Misalnya, komoditas pertanian yang ditanam di suatu lokasi harus menyesuaikan dengan karakteristik satwa di kawasan tersebut. Selama ini, tidak sedikit area hutan dijadikan hak guna usaha perusahaan sawit yang memutus jalur lintasan gajah.
"Dalam qanun ini, perusahaan yang lokasi kegiatannya bersinggungan dengan satwa harus ikut melindungi," ujar Nurzahri.
Setelah qanun ini disahkan, akan dibuat cetak biru perlindungan satwa dan pemanfaatan konservasi di Aceh. Nurzahri mengatakan, akan dibentuk lembaga khusus yang bertugas mengkoordinasikan lintas sektor dalam melakukan perlindungan satwa.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh Syahrial mengatakan, qanun yang sedang dibuat perlu dibahas lebih detail agar selaras dengan aturan di atasnya.
Namun, Syahrial mengatakan, penanganan konflik satwa di Aceh selama ini hanya bersifat sementara. Oleh sebab itu, perlu dibuat strategi jangka panjang seperti pembuat kawasan khusus satwa.
Aktivis Flora Fauna Internasional-Aceh Dewa Gumay mengatakan, selama ini negara belum benar-benar hadir dalam penanganan konflik satwa. Warga yang terdampak konflik tidak pernah mendapatkan kompensasi apa pun karena belum ada regulasi yang mewajibkan negara memberikan kompensasi tersebut.
Dalam qanun yang sedang dibuat ini, turut diatur kompensasi bagi korban konflik satwa. Pemberian kompensasi akan mendorong warga untuk ikut melindungi satwa.