Inefisiensi dan Kebutuhan Restrukturisasi Kementerian
Dengan waktu tiga bulan lebih sebelum Joko Widodo-Ma\'ruf Amin dilantik, ada ruang waktu yang cukup untuk mengkaji struktur kementerian yang ada demi lahirnya struktur kementerian yang efektif dan efisien di pemerintahan Jokowi-Amin. Rp 398 triliun per tahun pun bisa diselamatkan.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·5 menit baca
Kompas
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla berfoto bersama menteri-menteri Kabinet Kerja, di halaman Istana Negara, Jakarta, Minggu (26/10/2014).
Struktur kementerian yang tambun saat ini menimbulkan potensi inefisiensi mencapai Rp 398 triliun per tahun. Tiga bulan lebih waktu yang ada sebelum Joko Widodo bersama Ma\'ruf Amin dilantik menjadi Presiden-Wakil Presiden, hendaknya dimanfaatkan untuk mengkaji postur kementerian demi lahirnya pemerintahan yang lebih efektif dan efisien.
Jika melihat postur kabinet pascareformasi, ada kecenderungan Presiden selalu membentuk kabinet dengan jumlah kementerian tidak kurang dari 30 kementerian.
Presiden KH Abdurahman Wahid misalnya, membentuk Kabinet Persatuan Nasional dengan total 32 kementerian di dalamnya. Kemudian Kabinet Gotong Royong bentukan Presiden Megawati Soekarnoputri yang memiliki 30 kementerian. Selanjutnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga membentuk Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) dengan total 34 kementerian.
Pasca-lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang salah satu pasalnya membolehkan jumlah kementerian maksimal 34 kementerian, kian mengukuhkan tradisi kabinet tambun.
Di periode kedua pemerintahan Presiden Yudhoyono, kabinetnya memaksimalkan apa yang dibolehkan oleh UU 39/2008, yaitu 34 kementerian. Begitu pula saat pemerintahan Joko Widodo mulai berkuasa tahun 2014.
Padahal menurut Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Sofian Effendi, Senin (24/6/2019), banyaknya jumlah kementerian dalam sebuah kabinet mengakibatkan kinerja dan urusan pemerintah saling tumpah tindih dan tidak efektif.
Sesuai visi-misi yang dipaparkan saat masa kampanye, Jokowi-Amin menyatakan bakal membenahi kompleksitas fungsi dan kewenangan lembaga dalam pemerintahan agar lebih sinkron dan efisien.
Selain itu, Jokowi berniat melanjutkan penataan kembali lembaga-lembaga yang tumpang tindih dalam fungsi dan kewenangan. Reformasi tata hubungan antar-lembaga akan ditata seefisien dan seefektif mungkin sehingga lebih sinergis.
Jika berkaca pada visi-misi itu, maka ini saat yang tepat bagi Jokowi. Jokowi memiliki waktu tiga bulan untuk mengkaji struktur kementerian yang efektif dan efisien, kemudian mengimplementasikannya pasca-dilantik 20 Oktober mendatang.
Lebih sederhana
Mantan Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Eko Prasojo menuturkan, dalam pemerintahan yang desentralistis, tugas Pemerintah Pusat sebenarnya relatif lebih sederhana. Pasalnya, sebagian kewenangan Pusat telah dilimpahkan ke pemerintah daerah. Dengan begitu, tugas Pusat kini lebih banyak berkaitan dengan pembuatan kebijakan umum.
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Mantan Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Eko Prasojo (kiri).
“Namun sampai sekarang masih tetap seperti dulu. Fungsi pemerintahan berkurang, tapi strukturnya tetap tambun,” ujar Eko.
Keterkaitan antara satu kementerian dengan kementerian lain dan satu direktorat jenderal dengan direktorat jenderal lainnya dalam satu kementerian masih kerap tidak sinkron dan tumpang tindih. Padahal, menurut Eko, apabila pemerintah menargetkan dapat mencapai pertumbuhan ekonomi di angka 6-7 persen, maka strategi di kementerian atau lembaga itu harus terkait.
Banyaknya program dan kegiatan antarkementerian yang saling tumpang tindih itu menyebabkan duplikasi program. Eko mencontohkan, program penanggulangan kemiskinan yang melibatkan 17 kementerian dan lembaga.
“Program ini jalan sendiri-sendiri dan tidak saling menyambung. Di situ ada duplikasi program dan overlapping yang diakibatkan oleh desain struktur organisasi yang tidak berbasis kinerja,” katanya.
Skenario penataan
Eko menjelaskan, Indonesia saat ini mempunyai total 46 urusan yang harus ditangani, seperti pendidikan, agama, dan transportasi. Berangkat dari hal itu, pemerintah bisa saja tetap mempertahankan jumlah kementerian sebanyak 34. Namun diikuti dengan penataan, seperti menyatukan sejumlah direktorat jenderal.
Opsi lain, jumlah kementerian bisa dirampingkan menjadi sekitar 28 kementerian. Perampingan itu diikuti dengan penataan organisasi di masing-masing kementerian untuk menata bisnis prosesnya.
Hasil kajian Tim Pengkaji Arsitektur Kabinet 2014-2019 dari Lembaga Administrasi Negara (LAN) bahkan menunjukkan jumlah kementerian yang efektif dan efisien hanya terdiri atas 20 hingga 24 kementerian, Kompas (9/8/2014). Tim menyusunnya dalam tiga opsi struktur kabinet.
Opsi pertama, opsi ideal yang terdiri dari 20 kementerian dan 1 unit kerja kantor kepresidenan. Kemudian, opsi moderat yang terdiri dari 24 kementerian dan 1 kantor kepresidenan. Terakhir, opsi realis yang terdiri dari 24 kementerian, 2 kementerian koordinator, dan 1 kantor kepresidenan.
Perampingan di tiga opsi itu dilakukan dengan cara menggabung dan menghilangkan sejumlah kementerian. Sementara kantor kepresidenan diperkuat sehingga unit kerja ini memiliki lima fungsi, yaitu sekretariat negara, urusan pembangunan nasional (perencanaan dan anggaran), reformasi administrasi, urusan pengawasan, serta desentralisasi dan otonomi daerah.
Terkait kementerian koordinator, baik di opsi ideal maupun moderat, kementerian itu ditiadakan karena selama ini dinilai tidak banyak berfungsi dalam mengoordinasikan kebijakan dan program kementerian di bawahnya.
Namun, kementerian koordinator tetap dimasukkan di opsi realis. Itu pun hanya dua, yaitu kementerian koordinator yang fokus mengurusi manajemen pemerintahan dan kementerian koordinator bidang sektoral yang mengoordinasikan kerja seluruh kementerian.
Inefisiensi Rp 398 triliun
Menurut Eko Prasojo, perampingan kabinet masih dimungkinkan di tengah sistem multipartai. Namun yang terpenting, desain organisasi mesti berbasis fungsi. Organisasi hanya bisa dibentuk jika bisa berkontribusi bagi suatu program pemerintah.
“Ini butuh keseriusan dan komitmen pemerintah yang sangat tinggi karena berkaitan dengan efisiensi di dalam birokrasi,” ujar Eko.
Jika dapat dilaksanakan, akan ada potensi efisiensi yang bisa diraih. Eko mengatakan, struktur organisasi birokrasi yang tambun saat ini menimbulkan potensi inefisiensi mencapai Rp 398 triliun per tahun. Potensi inefisiensi itu muncul karena struktur organisasi yang gemuk dan program serta kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan pencapaian sasaran kerja pemerintah.
Akan tetapi, rencana untuk membenahi kompleksitas fungsi dan kewenangan lembaga dalam pemerintahan, bukan perkara mudah.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi periode 2011-2014 Azwar Abubakar melihat, tidak mudah untuk merampingkan postur kabinet apalagi di era sistem multipartai seperti saat ini.
Sebab, partai politik pengusung Presiden Jokowi tentu ingin mendapatkan “penghargaan” atas kerja kerasnya memenangkan Jokowi. Dengan demikian, mereka berpotensi menuntut banyak jabatan menteri diisi kader partainya.
Belum lagi adanya kemungkinan partai baru bergabung ke dalam koalisi Jokowi-Amin. Besar kemungkinan partai juga menuntut kursi menteri di kabinet Jokowi-Amin.
Kompas
Mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Abubakar
Selain itu, pengurangan jumlah kementerian, tidak bisa serta merta dilakukan sekaligus.
"Kalau ada perubahan sedemikian drastis akan mengganggu stabilitas pemerintahan. Tiba-tiba sepuluh kementerian dihilangkan misalnya, berapa banyak aparatur sipil negara yang mesti diurus dalam satu waktu. Selain itu kalau langsung dihilangkan sepuluh pasti ada resistensi politik," katanya.
“Jadi bisa bertahap dulu, pengurangan 3 atau 4 kementerian sebagai langkah awal,” tambahnya.
Sekalipun dihadapkan pada jalan terjal, restrukturisasi birokrasi di Pusat bukan berarti tak bisa dilakukan. Butuh langkah berani dari Presiden. Dan tentunya itu yang diharapkan. Bayangkan jika restrukturisasi itu dijalankan, Rp 398 triliun bisa diselamatkan, dan digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.