Kembali ke Meja Makan
Zaman berubah. Pola interaksi antaranggota keluarga pun berubah. Kesibukan masing-masing anggota keluarga membuat intensitas pertemuan mereka menjadi sangat berkurang. Kalaupun ada kesempatan bertemu, gawai masih banyak menemani perjumpaan mereka.
Rendahnya interaksi dalam keluarga membuat banyak fungsi keluarga hilang. Peran ayah dan ibu terhadap pengawasan anak berkurang. Tak hanya nilai-nilai keluarga tidak bisa diwariskan, berbagai paham menyimpang, radikal maupun kabar bohong pun mudah mengusik keluarga.
Ketahanan keluarga pun berkurang. Padahal, keluarga adalah lingkungan pertama dan paling dasar dalam membentuk kepribadian anak dan bangsa. Lemahnya ketahanan keluarga akan mengancam ketahanan bangsa.
“Lingkungan masyarakat dan negara yang kuat hanya bisa terwujud jika keluarga kuat,” kata Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) M Yani, Sabtu (29/6/2019), di Jakarta.
Karena itu, menyambut Hari Keluarga Nasional yang diperingati tiap 29 Juni, BKKBN mengampanyekan Gerakan Kembali ke Meja Makan. Inti gerakan itu bukan semata mendorong keluarga makan bersama atau makan di meja, tetapi agar seluruh anggota keluarga bisa kumpul bersama.
“Dengan makan bersama, keluarga memiliki waktu untuk berkumpul, berinteraksi, berbagi, dan berdaya,” tambahnya.
Meski makan bersama menjadi momentum paling mudah menyatukan keluarga, namun momentum apapun bisa dimanfaatkan untuk kumpul bersama, mulai dari minum teh, duduk-duduk santai, atau berbagai kegiatan yang disesuaikan dengan kearifan lokal di setiap daerah, seperti beribadah bersama.
Dengan kumpul bersama, ayah dan ibu bisa berinteraksi dengan anak, menanamkan kedisiplinan, ketekunan dan berbagai nilai luhur lainnya. Anak pun bisa mencurahkan perasaannya kepada orangtua mereka.
Dengan kumpul bersama, ayah dan ibu bisa berinteraksi dengan anak, menanamkan kedisiplinan, ketekunan dan berbagai nilai luhur lainnya.
Walau makan bersama seolah sepele, nyatanya banyak keluarga Indonesia tidak memiliki kesempatan untuk makan bersama. Banyak orangtua, khususnya di kota besar, harus berangkat kerja saat anak-anak mereka masih tertidur dan pulang ketika buah hati mereka sudah tidur. Komunikasi pun banyak bergantung pada media sosial dan teknologi yang seringkali sulit menerka emosi lawan bicara.
Orangtua bukan tidak menyadari pentingnya kegiatan makan bersama. Artikel \'Benefits of the Dinner Table Ritual\' di The New York Times, 3 Mei 2005, menyebut 87 persen orangtua menilai makan bersama sebagai aktivitas yang sangat penting. Namun nyatanya, 30-40 persen keluarga tidak makan bersama 5-7 hari seminggu.
Di Indonesia, akhir pekan sering dijadikan momentum keluarga untuk kumpul bersama. Kesempatan itu dijadikan pengganti akibat ketiadaan waktu pada hari kerja. Namun, akhir pekan umumnya juga menjadi waktu dengan banyak agenda bersama keluarga besar atau masyarakat sekitar.
Walau kesempatan untuk makan bersama keluarga itu terbatas, nyatanya banyak anggota keluarga yang sulit meninggalkan gawainya untuk sejenak. Akibatnya, momentum kebersamaan yang langka pun berakhir tanpa kesan.
“Banyak keluarga tidak memiliki batasan yang jelas dalam penggunaan gawai,” kata psikolog anak dan keluarga di Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Anna Surti Ariani.
Banyak keluarga tidak memiliki batasan yang jelas dalam penggunaan gawai.
Manfaat kesehatan
Besarnya manfaat makan bersama membuat banyak ahli mendorong keluarga untuk melakukan itu. Makan bersama sangat bagus bukan hanya bagi kesehatan tubuh, tetapi juga otak dan jiwa.
Menurut Anna, saat makan bersama, yang terjadi sesungguhnya bukanlah fisik yang duduk bersama atau aktifnya indera perasa saja. Dengan makan bersama, indera penglihatan, pendengaran, penciuman dan indera peraba kerja dipaksa aktif mencermati gerak gerik seluruh anggota keluarga.
“Karena itu, saat makan bersama, disarankan untuk membicarakan hal-hal yang ringan karena akan makin menghangatkan keluarga,” katanya. Jika ingin mengobrolkan hal yang serius, maka disarankan dilakukan setelah makan bersama agar tak mengganggu kenikmatan makan, tak merusak momen kebersamaan, dan emosi lebih teredam.
Makan bersama tak hanya memberi manfaat sesaat. Makan bersama memberi manfaat jangka panjang kepada seluruh anggota keluarga.
Studi yang dipublikasikan di jurnal The Archives of Pediatrics and Adolescent Medicine, 2004 menunjukkan frekuensi makan bersama yang tinggi dalam keluarga berkorelasi dengan rendahnya risiko merokok, minum minuman keras, penggunaan ganja, hingga rendahnya risiko depresi dan keinginan bunuh diri pada remaja umur 11-18 tahun.
Frekuensi makan bersama yang tinggi dalam keluarga berkorelasi dengan rendahnya risiko merokok, minum minuman keras, penggunaan ganja, hingga rendahnya risiko depresi dan keinginan bunuh diri pada remaja umur 11-18 tahun.
Survei Pusat Kecanduan dan Penyalahgunaan Zat Terlarang (NCASA) Universitas Columbia, Amerika Serikat pada 2004 menemukan remaja umur 12-17 tahun yang makan bersama dengan keluarga kurang dari dua kali dalam seminggu berpeluang lebih dari 1,5 kali untuk merokok, minum minuman beralkohol dan penggunaan zat terlarang dibanding teman mereka yang lebih sering makan bersama orangtuanya.
“Semakin sering remaja makan malam dengan orangtuanya, semakin kecil peluang mereka memiliki teman yang aktif secara seksual, remaja putri makin sedikit peluangnya memiliki pacar yang berumur dua tahun lebih tua, dan makin sedikit waktu yang dihabiskan remaja dengan pacar mereka,” kata Kepala NCASA Universitas Columbia Joseph A Califano seperti dikutip The New York Times, 3 Mei 2005.
Tak hanya itu, studi Universitas Minnesota, AS pada 2004 juga menemukan remaja putri yang lebih sering makan malam bersama keluarga memiliki peluang mengalami gangguan makan lebih rendah daripada teman mereka yang jarang makan bersama keluarga.
Catherine Snow, profesor pendidikan di Universitas Harvard, AS dalam studinya pada 1996 menemukan makan malam bersama keluarga memberi manfaat lebih besar dalam pengembangan kemampuan berbahasa anak dibanding bermain, bercerita, atau acara keluarga lain. Saat ada lebih ada satu orang dewasa di meja makan, maka pembicaraan menjadi lebih kaya dan menjadi kesempatan besar bagi anak-anak untuk belajar.
Makan malam bersama keluarga memberi manfaat lebih besar dalam pengembangan kemampuan berbahasa anak dibanding bermain, bercerita, atau acara keluarga lain.
Selain terkait kesehatan mental dan perkembangan kemampuan anak, makan bersama juga memiliki dampak besar bagi kesehatan seseorang. Makan bersama keluarga akan meningkatkan konsumsi sayur, buah, serat, biji-bijian, vitamin dan mineral pada anak-anak. Konsumsi anak-anak terhadap gorengan, lemak jenuh dan minuman bersoda juga lebih rendah. Namun, pola makan ini akan sangat bergantung pada peran orangtua sebagai model dalam keluarga.
Anna mengakui membangun kembali kegiatan makan bersama bagi keluarga yang tidak terbiasa bukan upaya mudah. Rasa canggung dan tidak nyaman tentu akan muncul. Walau demikian, orangtua harus mulai membiasakan kembali karena besarnya manfaat makan bersama. Meski sibuk, peluang kumpul bersama itu bisa diciptakan sepanjang ada kemauan.
Peran negara
Di luar itu, negara pun harus ambil peran. Beratnya tantangan yang dihadapi orangtua untuk membangun ketahanan dan keharmonisan keluarga membuat negara tidak bisa menyerahkan persoalan tersebut hanya kepada orangtua.
Negara dapat berperan dengan membangun sistem transportasi umum yang masif dan nyaman atau menekan kemacetan agar orangtua punya waktu lebih banyak bersama keluarga mereka. Sistem yang memudahkan orangtua untuk bekerja di luar kantor supaya bisa segera kembali ke rumah juga bisa diciptakan. Demikian pula dengan sistem jaringan digital yang lebih baik sehingga orangtua bisa bekerja dari mana saja.
Sistem lingkungan sekitar rumah yang bisa saling menjaga antarkeluarga juga bisa dihidupkan kembali. “Meski terkadang kepedulian berlebih tetangga itu mengganggu, namun di sisi lain hal itu juga membantu orangtua untuk membentengi keluarga mereka sekaligus mengingatkan pentingnya keluarga,” kata Anna.
Yani menambahkan, insentif yang diberikan sejumlah negara Skandinavia untuk memperkuat keluarga juga bisa ditiru Indonesia. Negara-negara tersebut memberikan cuti yang panjang untuk ibu yang melahirkan, cuti bagi ayah untuk mengasuh, dan sejumlah kebijakan lain yang membuat orangtua memiliki waktu yang cukup untuk anak-anak mereka. Namun, model itu tentu harus disesuaikan dengan kondisi dan budaya Indonesia.
Insentif yang diberikan sejumlah negara Skandinavia untuk memperkuat keluarga juga bisa ditiru Indonesia.
Apapun tantangannya, orangtua perlu mengingat bahwa keluarga memiliki peran penting dalam membangun bangsa. Negara pun harus mendukung karena investasi pada ketahanan dan kesejahteraan keluarga adalah investasi bagi masa depan bangsa.