Sofyan, Direktur Utama PT PLN (Persero) nonaktif, didakwa telah membantu terjadinya suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1 antara pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo dan mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih.
Oleh
Sharon Patricia
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi menolak eksepsi atau keberatan dari tim penasihat hukum terdakwa Sofyan Basir karena dinilai keliru, tidak beralasan hukum, dan tidak relevan. Dengan begitu, para jaksa meminta kepada majelis hakim untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara ini.
Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Budhi Sarumpaet menyebutkan, surat dakwaan Nomor: DAK-66/TUT.01.04/24/6/2019 pada 14 Juni 2019 telah disusun sesuai ketentuan Pasal 143 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Oleh karena itu, surat dakwaan tersebut dapat dijadikan dasar pemeriksaan perkara ini. Kami memohon kepada Majelis Hakim untuk menetapkan bahwa pemeriksaan perkara ini tetap dilanjutkan,” ujarnya dalam sidang dengan agenda pembacaan tanggapan atas eksepsi dakwaan terhadap Sofyan Basir, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (01/07/2019).
Sofyan, Direktur Utama PT PLN (Persero) nonaktif, didakwa telah membantu terjadinya suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1 antara pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo dan mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih. Sofyan dinilai membantu Eni menerima suap dari proyek senilai 900 juta dollar AS atau setara Rp 12,7 triliun tersebut.
Sidang kasus suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1 dengan agenda pembacaan tanggapan atas eksepsi dakwaan terhadap terdakwa Sofyan Basir, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (01/07/2019).Dalam sidang sebelumnya, tim penasihat hukum Sofyan menyampaikan eksepsi atas dakwaan jaksa kepada Sofyan. Terdapat delapan eksepsi atas surat dakwaan yang diajukan.
Salah satu eksepsi yang disampaikan, yakni bahwa surat dakwaan tidak cermat, tidak jelas, atau tidak lengkap terkait dengan perbuatan kejahatan pembantuan yaitu "mempercepat proses kesepakatan" atau "memuluskan perusahaan" yang tidak ada kepastian hukumnya.
Namun, jaksa menilai bahwa keberatan tersebut seyogyanya telah masuk dalam pokok perkara. Bukan merupakan materi dari eksepsi sebagaimana diatur dalam Pasal 156 KUHAP.
Sebab, untuk dapat menyimpulkan adanya usaha untuk mempercepat atau memuluskan proses kesepakatan pembangunan PLTU Mulut Tambang Riau-1 yang dilakukan oleh terdakwa, maka perlu dibuktikan terlebih dahulu dalam pemeriksaan pokok perkara di dalam persidangan.
Tidak tumpang tindih
Atas kasus ini, Sofyan dijerat dengan dua dakwaan alternatif. Pertama, Pasal 12 Huruf a juncto Pasal 15 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 56 Ke-2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Kedua, Pasal 11 juncto Pasal 15 UU Tipikor juncto Pasal 56 Ke-2 KUHP.
Terkait kedua pasal ini, penasihat hukum Sofyan, Soesilo Aribowo, menyampaikan keberatannya. Menurut Soesilo, penerapan Pasal 56 ke-2 KUHP dalam surat dakwaan adalah keliru karena tindak pidana korupsi telah terjadi sebelum dugaan kejahatan pembantuan dituduhkan kepada Sofyan.
Sementara menurut jaksa penuntut umum, tindak pidana suap yang telah terjadi sebelum Sofyan bertemu dengan Eni dan Johannes haruslah dikesampingkan. Sebab, hadiah berupa uang dari Johannes baru diterima Eni dan juga Idrus Marham pada kurun waktu tanggal 18 Desember 2017 sampai 13 Juli 2018.
Penerimaan itu dilakukan setelah Sofyan melakukan pertemuan dengan Eni dan Johannes untuk membahas PLTU MT. Riau-1. “Dengan demikian, alasan atau dalih dari penasihat hukum Sofyan harus dinyatakan ditolak dan dikesampingkan,” kata Budhi.
Selain itu, Sofyan juga didakwa dengan Pasal 15 UU Tipikor yang mengatur mengenai adanya pemufakatan jahat ataupun pembantuan yang dilakukan dalam sebuah tindakan korupsi. Soesilo menilai, penerapan Pasal 15 UU Tipikor yang dihubungkan dengan Pasal 56 Ke-2 KUHP dengan unsur yang sama telah membuat surat dakwaan menjadi kabur.
“Dakwaan semacam ini jadi kabur dan tidak jelas ke mana arahnya. Kami bingung yang satu pakai Pasal 56 Ke-2 KUHP, yang satunya Pasal 15 UU Tipikor. Sebenarnya kan di dalam UU Tipikor sendiri sudah diatur lex specialis (hukum yang bersifat khusus) Pasal 15. Ya sudah mestinya Pasal 15 UU Tipikor saja,” ujar Soesilo.
Penjelasan
Jaksa penuntut umum menjelaskan bahwa Pasal 15 UU Tipikor tidak memuat unsur-unsur perbuatan “pembantuan”. Namun, hanya menitikberatkan pada ancaman hukuman pidana yang disamakan dengan pembuat tindak pidana.
Pasal 15 UU Tipikor menyatakan, “Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14".
Penjelasan atas Pasal 15 UU Tipikor menyebutkan bahwa ketentuan ini merupakan aturan khusus karena ancaman pidana pada percobaan dan pembantuan tindak pidana pada umumnya dikurangi satu pertiga dari ancaman pidananya.
Selain itu, Pasal 15 UU Tipikor juga tidak memuat unsur-unsur tindak pidana pembantuan sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ke-2 KUHP. Pasal 15 UU Tipikor lebih menitikberatkan dalam hal ancaman hukuman pidana saja yang disamakan dengan pelaku tindak pidana korupsi.
Dengan begitu, Budhi menilai bahwa pendapat tim penasihat hukum Sofyan yang menyatakan ada unsur yang sama dalam kedua aturan tersebut hanyalah merupakan penafsiran pribadi. Maka eksepsi ini haruslah dinyatakan ditolak dan dikesampingkan.
Kemudian, penggunaan Pasal 56 Ke-2 KUHP bertujuan untuk memperjelas peran Sofyan dalam perkara ini yang tidak diatur dalam ketentuan Pasal 15 UU Tipikor. Dalam Pasal 56 ke-2 KUHP dinyatakan bahwa “dipidana sebagai pembantu, mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan".
“Dengan demikian, alasan penasihat hukum yang menyatakan bahwa dengan men-juncto-kan Pasal 15 UU Tipikor dengan Pasal 56 Ke-2 KUHP dalam surat dakwaan sangat membingungkan terdakwa adalah tidak beralasan sama sekall,” tegas Budhi.
Bahwa penerapan Pasal 15 UU Tipikor dan Pasal 56 Ke-2 KUHP dalam surat dakwaan merupakan penekanan terhadap unsur pembantuan dan ancaman hukuman pidana. Penerapan ini pun tetap mempertimbangkan kepentingan keadilan substantif tanpa mengorbankan hak-hak terdakwa dalam melakukan pembelaan perkara.
Pada akhir sidang, Ketua Majelis Hakim Hariono menyampaikan bahwa sidang akan dilanjutkan Senin depan pada 8 Juli 2019. Agenda dalam sidang nanti, yakni para Majelis Hakim akan menjatuhkan putusan sela.