Selalu dalam sejarah modern negara-negara di dunia, negara adidaya yang menentukan permainannya. Di era 1980-an, dunia mengalami perang dingin dengan dua kutub dominan bernama Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Sekitar tiga dasawarsa kemudian, setelah permainan lama bubar, permainan baru sedang berlangsung dengan dua kutub dominan dalam posisi diametralnya, yaitu Amerika Serikat dan China. Nama permainannya kini adalah perang dagang yang belakangan dibarengi dengan perang dingin digital. Celakanya, berdampak ke perekonomian global.
”Kalau persoalannya hanya masalah defisit perdagangan, mudah diselesaikan. Namun, ini (perang dagang AS-China) sudah lebih dari itu. Sekarang masalahnya juga sudah menyangkut pride negara,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani kepada Kompas di Osaka, Jepang.
Menyadari itu, dunia tampaknya membutuhkan langkah baru. Pada KTT G-20 di Buenos Aires 2018 dan Osaka 2019, narasi pemecahan mendasar atas munculnya proteksionisme adalah mereformasi Organisasi Perdagangan Dunia. Oleh karena itu, di Osaka, dalam konklusi KTT G-20, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengatakan, para pemimpin G-20 perlu membangun prinsip-prinsip yang solid untuk memandu dunia ke perekonomian di masa depan yang bebas, berkeadilan, dan nondiskriminatif.
Reformasi sistem perdagangan dunia memang diperlukan untuk perekonomian dunia yang lebih berkeadilan. Namun, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice Rachmi Hertanti mengingatkan, wacana reformasi itu bisa menjadi bola liar.
Menurut dia, Indonesia akan masuk dalam pusaran lobi negara maju seperti Amerika Serikat, China, Eropa, dan Jepang. ”Ruang pertarungan perang dagang telah diperluas ke dalam perundingan di WTO. Pengaruh AS dan China dalam agenda reformasi WTO sangat kuat. Dan saat ini posisi negara-negara berkembang menjadi pertaruhannya,” kata Rachmi.
Oleh sebab itu, Indonesia mesti cermat dan lincah di antara tarik-menarik dominasi AS, China, dan negara adidaya lainnya. Prinsip bebas aktif tetap harus dikedepankan.
Di sini kebijakan Pemerintah Indonesia diuji. Indonesia sudah masuk dalam kelompok 20 negara dengan produk domestik bruto terbesar di dunia. Namun, Indonesia belum termasuk kelompok raksasa itu. Apalagi posisinya masih negara berpendapatan menengah.
Selama pemerintahan Presiden Joko Widodo, arus utama diplomasi kebijakan luar negeri Indonesia dalam bahasa paling konkret adalah menarik sebesar-besarnya investasi yang relevan ke Indonesia, membuka seluas-luasnya pasar ekspor produk-produk Indonesia, mendorong stabilitas perekonomian dan keuangan global, serta bersama-sama negara lain aktif mempromosikan sistem perekonomian dunia yang inklusif dan berkeadilan.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan, Presiden Joko Widodo dalam sesi perekonomian global mengusulkan Inclusive Digital and Economic Accelerator (IDEA). Model bisnisnya meliputi tiga area, yakni ekonomi berbagi, digitalisasi tenaga kerja, dan inklusi keuangan.
”Kenapa yang dipilih tiga hal ini? Tiga hal ini pada akhirnya diharapkan dapat mengurangi ketimpangan. Kita kembangkan digital economy, tetapi jangan lupakan tentang inklusivitas. Sebab, pada akhirnya, lompatan teknologi apa pun harus tetap dapat dirasakan manfaatnya bagi setiap orang. Pidato Presiden ditutup dengan harapan: no one left behind,” kata Retno.