Perayaan Hari Bhayangkara ke-73 yang jatuh pada Senin, 1 Juli, terasa berbeda dibandingkan tahun sebelumnya. Sebab, hari istimewa itu akan menjadi momen puncak setelah Kepolisian Negara RI merampungkan tugas akbar pengamanan Pemilu 2019, sengketa pemilu, hingga penetapan presiden dan wakil presiden terpilih.
Sejak 2018, Polri di bawah kepemimpinan Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian memiliki tugas yang tidak mudah. Indonesia dipercaya menjadi tuan rumah agenda internasional, yaitu Asian Games serta rapat tahunan Dana Moneter Internasional (IMF)-Bank Dunia. Pelaksaan dua agenda multi-bangsa itu berjalan sukses tanpa hambatan.
Selain itu, Polri juga bertanggung jawab menjamin pelaksanaan Pilkada 2018 agar berjalan aman. Hasilnya, pesta demokrasi di sejumlah provinsi rawan, di antaranya Jawa Barat, Kalimantan Barat, dan Sumatera Utara, berjalan lancar dan kehadiran pemimpin baru di daerah itu berlangsung tanpa menyisakan konflik.
Pada tahun ini, Polri bersama Tentara Nasional Indonesia menjadikan agenda Pemilu 2019 sebagai atensi keamanan paling utama. Polarisasi masyarakat akibat perbedaan pilihan politik menjadi perhatian utama aparat kepolisian di seluruh negeri. Di sisi lain, penyebaran berita bohong dan ujaran kebencian di dunia maya yang berpotensi menyalakan api perpecahan juga ditindak secara tegas.
Tahapan kampanye yang berjalan panjang sekitar sembilan bulan, kemudian dilanjutkan proses distribusi logistik pemilu, dan pengamanan tahapan pemungutan suara cenderung tanpa kendala. Masalah signifikan ditemukan di sejumlah kabupaten di Papua yang harus melaksanakan pemungutan suara susulan karena keterlambatan pengiriman logistik pemilu.
Lalu, Polri bersama TNI menghadapi aksi massa seiring penyampaian hasil Pemilihan Presiden 2019 yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum. Meskipun mampu mengawal aksi massa damai di depan kantor Badan Pengawas Pemilu dan mengamankan peristiwa kerusuhan, terdapat catatan yang diberikan sejumlah pihak, terutama organisasi masyarakat sipil, seiring jatuhnya sembilan korban jiwa dari kerusuhan itu. Hingga kini, proses penyelidikan peristiwa itu pun masih berlangsung.
Sidang putusan sengketa pilres di Mahkamah Konstitusi juga berjalan damai. Aksi massa yang dilakukan sekitar 15 kelompok masyarakat berjalan sesuai aturan. Atas dasar itu, Tito mengapresiasi masyarakat yang menaati peraturan yang berlaku dalam menyampaikan pendapat di muka umum.
“Saya berterima kasih kepada semua pihak sehingga proses ini berjalan dengan lancar dari sudut keamanan,” kata Tito, Jumat lalu.
Humanis
Dalam pengamanan selama proses Pemilu, terutama pilpres, langkah-langkah humanis berupaya diutamakan Polri. Sebagai contoh, pengamanan aksi massa 21-22 Mei dan sidang putusan MK dilakukan tanpa menggunakan senjata api dan peluru tajam. Hanya gas air mata dan tameng pelindung yang dibekali kepada petugas pengamanan yang berhadapan langsung dengan masyarakat.
Dalam jurnal bertajuk “The Role of Police in a Democratic Society (1965)”, Frank J Remington menekankan, polisi harus memainkan peran dalam membentuk dan menerapkan kebijakan, terutama penegakan hukum, yang tepat sesuai komunitas masyarakat.
Tito di dalam buku “Democratic Policing (2017)”, yang ditulis bersama Hermawan Sulistyo, juga mengingatkan bahwa konsep pemolisian berkembang dari masyarakat, bukan berasal dari kekuasaan negara. Atas dasar itu, polisi tidak hanya melindungi kekuasaan negara, tetapi juga hadir untuk melindungi masyarakat.
Pendekatan itu pula yang membuat Polri menghindari penggunaan senjata api dan peluru tajam selama pengamanan aksi massa yang memprotes hasil Pilpres 2019. Padahal, penggunaan senjata jamak digunakan dalam tugas penegakan hukum dan esensi aparat kepolisian sebagai sipil yang dipersenjatai.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo menuturkan, pengamanan yang dilakukan selama tahapan pemilu itu mengedepankan dialog dan pendekatan humanis kepada peserta aksi massa. Di sisi lain, aparat kepolisian juga diminta tidak mudah terprovokasi atas segala hasutan-hasutan dari pihak-pihak tertentu.
Lebih lanjut, Tito menyatakan, pihaknya memang telah menghindari adanya upaya paksa kekerasan, kecuali ada pihak-pihak tertentu yang melanggar hukum.
“Kita tidak menindak orangnya, tetapi yang kita tindak adalah perbuatan yang bersangkutan kalau melakukan pelanggaran hukum,” katanya.
Hasilnya, berbagai apresiasi diterima Polri. Sejumlah kelompok masyarakat memberikan makanan berbuka puasa bagi personel Polri ketika ada aksi massa 21-22 Mei. Tak hanya itu, karangan bunga berbentuk dukungan dan apresiasi dikirimkan masyarakat ke Markas Besar Polri, Jakarta, dan asrama brigade mobil Polri di Petamburan, Jakarta.
Menurut Komisioner Kepolisian Nasional, Poengky Indarti, kepemimpinan dari pimpinan Polri dan soliditas dengan TNI menjadi kunci kesuksesan mengawal berbagai agenda besar itu. Ia pun mendukung langkah Polri untuk melakukan tindakan tegas kepada sekelompok masyarakat yang berkeinginan merusak iklim demokrasi di Tanah Air dengan tindakan inkonstitusional.
“Setelah tahapan Pemilu 2019 berakhir, Polri selanjutnya memiliki tugas untuk merekatkan kembali masyarakat agar bersatu untuk bersama membangun di Indonesia,” kata dia.
Polri tentu masih memiliki sejumlah tugas yang perlu diselesaikan pasca tahapan Pemilu 2019, termasuk membuat jelas peristiwa kerushan 21-22 Mei. Meski begitu, tidak ada salahnya Polri merayakan sejenak “keberhasilan” menjamin situasi keamanan dan ketertiban selama pesta demokrasi. Selamat hari Bhayangkara ke-73!