Eksklusivitas Beragama Merebak di Perguruan Tinggi Negeri
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gerakan mahasiswa yang menganut eksklusivitas beragama merebak di 10 perguruan tinggi negeri. Eksklusivitas ini berpotensi menimbulkan intoleransi dalam kehidupan beragama mahasiswa di kampus.
Setara Institute melakukan riset terkait dengan tipologi beragama mahasiswa di 10 perguruan tinggi negeri. Kesepuluh perguruan tinggi itu adalah Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Brawijaya, Universitas Airlangga, Universitas Mataram, Universitas Islam Negeri Jakarta, dan Universitas Islam Negeri Bandung.
Riset yang dilakukan pada April-Juni 2019 ini menggunakan metode kuantitatif dengan jumlah responden 1.000 mahasiswa.
Berdasarkan hasil riset itu, mahasiswa yang menganut gerakan agama sangat eksklusif sebanyak 19,5 persen dan eksklusif sebanyak 21,8 persen. Sisanya menganut gerakan agama yang moderat dan inklusif.
Mahasiswa yang menganut gerakan agama sangat eksklusif sebanyak 19,5 persen dan eksklusif sebanyak 21,8 persen. Sisanya menganut gerakan agama yang moderat dan inklusif.
Selain itu, sebanyak 10,9 persen menganut gerakan agama sangat konservatif, 23,4 persen menganut gerakan agama konservatif, dan sisanya menganut gerakan agama sekuler dan sangat sekuler.
”Jumlah mahasiswa yang menganut gerakan eksklusif ini tersebar di 10 perguruan tinggi negeri. Gerakan seperti ini bisa menimbulkan potensi intoleransi dalam kehidupan beragama di kalangan mahasiswa,” ucap Direktur Riset Setara Institute Halili saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (30/6/2019).
Secara umum, gerakan agama yang eksklusif merujuk pada pemahaman agama yang cenderung menutup diri dari keragaman Indonesia dan berniat menyeragamkan Indonesia.
Halili menyampaikan, pola pikir mahasiswa ini dipengaruhi oleh lima faktor, yaitu orangtua, guru agama, literasi yang mereka pelajari, teman sekampus, dan media sosial. Untuk itu, orangtua perlu menjadi contoh utama bagi anaknya ketika di luar kampus.
”Biasanya mahasiswa meniru perilaku dari orangtuanya jika di luar kampus. Selain itu, jika di kampus, para akademisi memiliki peran untuk mengajarkan pentingnya toleransi dalam beragama sehingga gerakan-gerakan radikal bisa diminimalkan,” ucapnya.
Sebelumnya, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (LPPM Unusia) meneliti gerakan Islam eksklusif di delapan perguruan tinggi negeri di Indonesia. Dari hasil penelitian, gerakan itu merebak di ranah kampus melalui sejumlah instrumen yang melibatkan organisasi intra dan ekstra kampus.
Peneliti LPPM Unusia, Naeni Amanulloh, di Jakarta, Selasa (25/6/2019), menyampaikan, penelitian dengan metode kualitatif itu dilakukan pada periode Desember 2018 hingga Januari 2019. Tim LPPM juga mewawancarai semuanya 160 informan atau 20 informan di setiap PTN.
Dari hasil penelitian, Naeni menyatakan, secara garis besar terdapat tiga aktor utama yang menyebarkan gerakan Islam eksklusif. Mereka di antaranya kelompok Tarbiyah, Salafi, dan Hizbut Tahrir. Ketiga kelompok ini menyusup masuk PTN melalui organisasi seperti Lembaga Dakwah Kampus (LDK).
Secara garis besar, terdapat tiga aktor utama yang menyebarkan gerakan Islam eksklusif. Mereka di antaranya kelompok Tarbiyah, Salafi, dan Hizbut Tahrir. Ketiga kelompok ini menyusup masuk PTN melalui organisasi seperti Lembaga Dakwah Kampus (LDK).
Direktur Eksekutif Wahid Foundation Mujtaba Hamdi mengatakan, salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah penyebaran pemahaman Islam eksklusif dengan melibatkan dan memperkuat para aktor yang moderat lewat organisasi mahasiswa dan kelompok lintas agama.
”Strategi lainnya dapat memperkuat lingkungan kampus pro-moderasi dengan mendorong lingkar studi. Dengan ini, pandangan-pandangan moderat akan lebih menguat jika bisa masuk dari dalam kampus sejak awal,” katanya.