PUISI
Aji Ramadhan
Lukisan Tinta Cina
Sepasang ayam sedang berkumpul
dengan semua pitiknya di kertas putih.
”Indah,” ucap seseorang, ”memandang
keluarga saling rekat.”
Seseorang mengangguk ketika ayam jantan
mengawasi mereka. Ayam betina tampak
tenang mengajari semua pitiknya
cara mencucuk makanan.
Semua pitik terlihat riang
di kertas putih.
Tubuh mereka saling bergerombol. Tapi
warna hitam tak sempurna
pada bulu semua pitik menyiratkan
kerapuhan:
Makhluk yang empuk disantap pemangsa.
Musang sering jahat memangsa satu per satu
pitik. Serbakan bau pandan menjadikan
sepasang ayam siap siaga dari kedatangan
musang. Kalau tidak siaga, ayam betina
menangis kehilangan beberapa pitik. Lalu
ayam jantan gagal melenggokkan beberapa
pitik dari santapan musang.
Putaran alam wajib terjadi.
Seseorang enggan membisiki ayam jantan
bahwa ada mata musang mengeker
semua pitik dari celah semak. Barangkali,
sebentar lagi, kertas putih memiliki
warna merah yang mengental jadi daki.
Serbakan bau pandan merasuki darah.
Surakarta, 2019
Hasrat
Di waktu pagi,
aku melahirkan hasrat kekasaran
yang jenjang. Hasrat kekasaran
yang jenjang milikku berkemampuan
membakar siasat lawan.
Di waktu siang,
kau melahirkan hasrat kelembutan
yang bulat. Hasrat kelembutan
yang bulat milikmu berkemampuan
mengacaukan amarah lawan.
Dua hasrat yang harus dipertemukan
di waktu malam.
Ketika hasratku mengendus
keberadaan hasratmu,
jantungku cepat
memompa darah. Ketika
keberadaan hasratmu membuka
dirinya untuk endusan hasratku,
sepasang mata kita
saling menyapa.
(Kondisi ini menurut petuah
merupakan pertengkaran antar-kekasih
yang memperebutkan
cermin nyawa. Aku akan menguasai
hasratmu atau sebaliknya.)
Kita membutuhkan pil pengendali
kelurusan agar kesehatan akal terjaga
dan kekebalan jiwa terjamin.
Kita perlu menjaga dan mengelola
cengkeraman. Kita jangan gampang
kehabisan hasrat sampai
pertengkaran sebelum babak keenam.
Cermin nyawa muncul ketika kita
telah goyah.
Surakarta, 2019
Telunjuk Dewi
Kelembaban musim menelan telunjuk dewi. Kita menyabet
ketinggian rumput dengan arit terbaik. Di pandangan kita,
dewi jangan terjamah puncak tanaman. Kesunyian gunung
menyambut baik niat kita untuk menyisipkan segenggam
wewangian di hadapan dewi. Gelombang takjub air mata
di pipi kita diseka cahaya yang bergetar dari telunjuk dewi.
Surakarta, 2019
Trivia Zirah
Penonton hingar di luar dinding jeruji: Kami melempar seikat bunga
bagi kekasih manis; kalian menabur sejumput garam bagi pahlawan
masam. Sepasang pedang saling bergesek. Percikan api berhambur,
seperti air mancur. Panggung bergejolak demi salah satu urat leher
terpotong. ”Biarkan kematianmu ditukar dengan kehidupanku,” ucap
kekasih manis di hadapan pahlawan masam.
Kami meyakini kekasih manis dapat menyeka debu di tameng ketika
pahlawan masam melupakan ketajaman pedang. Ayunan pedang
pahlawan masam kehilangan tenaga setelah otot lengannya tertarik
kecepatan beban kendali. Kalian mengejek kekasih manis bahwa dia
bebal menghindari serangan pahlawan masam.
Wajah pahlawan masam tengadah ke matahari setelah kehilangan
pedangnya. Cahaya putih yang dilihat pahlawan masam membentuk
anak tangga ke surga. “Tuntunlah aku,” bisik pahlawan masam
sebelum kepalanya terlempar ke tanah.
Kalian menjeriti dan meneriaki kematian pahlawan masam. Kami
memuja dan memuji kekasih manis yang meringkas hiburan.
”Zirah yang membatasi hidup atau mati di panggung adalah tipuan
cintaku sebagai nyanyian penonton,” bisik kekasih manis yang berlari
membawa kepala pahlawan masam di antara kami.
Surakarta, 2019
Kala Hutan
: terkenang wahyu prasetya
Dia memasuki hutan. Medan hutan yang dia masuki begitu lebat dan
sulit. Sebelumnya, dia menyinggahi warung.
Pemilik warung mewanti agar dia jangan gegabah. Sebab hutan
yang dimasukinya sering menidurkan orang-orang. Tapi dia terus
memasuki hutan. Semakin memasuki, dia merasa hutan telah
mengurungnya.
Dia pun memutuskan mencari jalan keluar. Tapi pencarian jalan
keluar tak membuahkan hasil. Dia justru menemukan tebing, seperti
pembatas hutan. Tebing itu begitu tinggi sehingga mustahil
memanjatnya.
Beruntung dia menemukan goa di tebing. Dia berfirasat goa
berujung keluar dari hutan. Dia nekat memasuki goa itu tanpa
pencahayaan. Dia mengandalkan rabaan tangan untuk berjalan.
Berapa jam terlewat lupa dia catat.
Ketika hawa goa makin lembab, dia merasa letih dan lapar. Dia
menyerah dan memilih kembali ke pintu goa. Sampai di pintu goa,
dia kaget melihat tak ada lagi hutan.
Dia justru melihat pematang sawah. Lalu dia mendekati petani yang
sedang beristirahat. Petani heran mendengar pertanyaannya tentang
apa yang terjadi dengan hutan. Petani menyuruh dia agar mencari
jawab di kota. Dia lekas pergi. Dan dia heran memandang wujud
kota yang belum pernah ditemuinya.
Dia memilih singgah lagi di warung. Sebelum duduk di kursi, dia
bahagia memandang potret wajah pemilik warung yang pernah
mewantinya. Dia bertanya kepada pegawai warung tentang sosok
di potret tersebut. Pegawai warung geleng-geleng.
Dia baru sadar bahwa pegawai warung adalah cucu pemilik warung
yang pernah mewantinya. Dia diberitahu pegawai warung bahwa
kakeknya meninggal lima belas tahun yang lalu.
Dia tak yakin, apakah terlalu lama memasuki goa. Atau dia justru
telah ditidurkan hutan.
Surakarta, 2019
Genangan
Setelah bunda bersama ananda melewati jalan sutra di padang kering;
balik kucing dari bukit kesatu menuju ke bukit kedua dan dari bukit
kedua kembali ke bukit kesatu; sampai di daerah gundukan pasir.
Ananda tiba-tiba menangis ketika bunda duduk di sampingnya. Bunda
bangkit menghibur ananda. Dengan tongkat di tangan kanannya,
bunda mengetuk dan mempermainkan gundukan pasir. Ananda tak
menoleh, hanya menangis. Tapi ananda berhenti menangis setelah
gundukan pasir memancarkan mata air.
Malaikat berbisik dari balik awan: Tuhan telah mendengar ananda
menangis sebab enggan menaksir ketekuran bunda. Nikmati pancaran
mata air di hadapan kalian demi kelembaban seperempat lambung.
Bunda bungah memandang ketakjuban. Ananda digendong bunda agar
dapat menggapai ketinggian pancaran mata air yang setinggi bahu
bunda. Kebahagiaan berkilat di antara gerak tubuh bunda dan ananda
yang merayakan diri mereka basah.
Malaikat ikut bahagia dari balik awan. Malaikat tak bosan mengintip
bagaimana bunda menggendong ananda tanpa titik kecemasan di jidat.
Lalu pancaran mata air menghilang. Gundukan pasir sebagian berubah
jadi genangan, seperti penolakan oase disapu kekeringan. Malaikat
kembali berbisik: Tongkat yang sempat dipegang bunda di tangan
kanannya telah tenggelam di dasar genangan. Perjalanan berlanjut.
Tuhan mengganti tongkat dengan genangan mata air agar bunda dan
ananda dapat memetak napas hingga mematok semesta.
Surakarta, 2019
Aji Ramadhan lahir di Gresik, Jawa Timur, 22 Februari 1994. Menyelesaikan studi desain interior di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Sang Perajut Sayap (2011) dan Sepatu Kundang (2012) adalah dua buku puisinya.